Proses menjadi relijius masih tetap
menarik perhatian para ahli ilmu social dan menimbulkan banyak perdebatan, baik
yang bersifat teoritis maupun yang bersifat empiric. Fakta sederhana yang dapat
dikemukakan di sini adalah bahwa semua orang tidak dilahirkan religious tetapi
mereka mengalami proses menjadi religious. Proses menjadi religious ini
menimbulkan banyak kemungkinan. Misalnya, seseorang dilahirkan di tengah
keluarga yang menganut agama tertentu, dan tersosialisasi untuk mengadopsi
agama dan keyakinan tersebut sebagai agamanya; seseorang bisa saja dilahirkan
di tengah agama tertentu lalu berubah menjadi penganut agama yang lain;
seseorang mungkin mengalami konversi keimanan, baik secara bertahap maupun
secara tiba-tiba; atau bisa saja seseorang yang pada mulanya tidak beriman sama
sekali akhirnya menjadi orang yang beriman. Dalam konteks ini, lembaga-lembaga
keagamaan juga mengalami pasang surut sebagaimana yang terjadi pada manusia
(Spilka B, 1985).
Para ahli
psikologi mendefinisikan komitmen agama dalam pengertian yang sangat
individual, tetapi harus dikatakan bahwa komitmen keagamaan tidak berlangsung
dalam suatu ruang social yang sama sekali kosong. Komitmen relijius sebagian
besar orang ditujukan kepada suatu keimanan yang sama dengan orang lain dan
pada tingkat tertentu dikendalikan oleh organisasi keagamaan, penegasan
Whitehead (1926, dalam Spilka, 2003) tentang imajinasi relijius tokoh-tokoh
besar seperti Nabi Muhammad yang bertapa di Gua Hira, Buddha yang bersemedi di
bawah pohon Bodha dan Yesus yang disalib diseimbangkan oleh fakta bahwa
tokoh-tokoh besar tersebut memelihara pentingnya nillai relijius mereka melalui
tradisi besar yang dipelihara oleh generasi-generasi yang beriman dan
terorganisir di dalam organisasi keagamaan termasuk masjid dan gereja. Oleh
karena itu, setidaknyauntuk menjadi orang yang religious kadang-kadang
berkaitan dengan organisasi keagamaan pada hal-hal tertentu. Maka, mengubah
komitmen relijius seringkali berhubungan dengan mengubah organisasi keagamaan
(Spilka, 2003).
Finke &
Starke (1992, dalam McCollough, 1995) mengemukakan bahwa agama adalah produk
budaya, dan organisasi keagamaan adalah penyedia produk yang dimaksudkan. Jika
agama sebagai produk budaya mengandung banyak hal seperti ikatan social,
kepastian eksistensial, kerangka moral dan lain-lain maka organisasi keagamaan
bertugas menyediakan semua itu. Starke & Finke (2000) menyatakan bahwa
fungsi utama organisasi keagamaan adalah untuk membentuk norma, nilai dan
perilaku anggotanya. Ada beberapa bukti ilmiah yang menunjukkan betapa
pentingnya peran organisasi keagamaan dalam membentuk sikap dan mental
keagamaan penganutnya. Misalnya, pada kalangan agama Kristen, sejumlah kelompok
keagamaan seperti Adven Hari Ketujuh, mendorong para pengikutnya untuk
melakukan praktek diet dan menghindari konsumsi tembakau.
Pengaruh
organisasi keagamaan atau kelompok keagamaan terhadap pilihan perilaku
seseorang dibuktikan oleh penelitian Herd (1996) yang menyatakan bahwa ada
komponen social yang ikut memainkan peran. Secara khusus dia menekankan bahwa
modeling social dan pengaruh informal dari anggota rakan kelompok keagamaan,
dalam hal ini anggota kelompok gereja, yang dapat menjelaskan hubungan antara
keikutsertaan seseorang dalam suatu kelompok keagamaan dengan perilaku konsumsi
alcohol. Gagasan tersebut konsisten dengan proposisi dasar yang dikembangkan
oleh Starke dan Finke dalam teori konprehensif mareka tantang agama. Mereka
secara khusus menyatakan bahwa keyakinan individu terhadap penjelasan atau
ajaran agama diperkuat sampai pada batas tertentu oleh ungkapan keyakinan orang
lain terhadap mereka. (Krause N., 2003).
Dengan
penjelasan yang lain, dapat dikatakan bahwa keyakinan seseorang tentang suatu
ajaran agama, misalnya berupa larangan atau perintah, disebabkan oleh pengaruh
orang lain yang turut menyatakan keyakinannya dalam interaksi social
sehari-hari. Artinya, seseorang memerlukan kehadiran orang lain dan interaksi
dengan orang lain untuk mempertegas sikap atau pilihannya terhadap ajaran agama
tertentu. Tanpa itu, sulit bagi seseorang untuk mengambil suatu keputusan atau
sikap khusus. Jadi, yang penting dicatat di sini adalah bahwa bukan hanya
keanggotaan seseorang dalam kelompok keagamaan tertentu yang berpengaruh
terhadap keyakinannya, tetapi sejauh mana dia berinteraksi dan saling bertukar
pendapat dan gagasan dengan orang lain sesame anggota jamaah mengenai ajaran
atau faham keagamaan.
Agama sangat universal, permanen, dan mengatur dalam kehidupan,
sehingga bila tidak memahami agama, maka akan sulit memahami masyarakat. Hal
yang harus diketahui dalam memahami lembaga agama adalah apa dan mengapa agama
ada, unsur-unsur dan bentuknya serta fungsi dan struktur dari agama.
Dimensi
ini mengidentifikasikan pengaruh-pengaruh kepercayaan, praktek, pengalaman, dan
pengetahuan keagamaan dalam kehidupan sehari-hari. Dimensi-dimensi ini dapat
diterima sebagai dalil atau dasar analitis, tapi hubungan antara empat dimensi
itu tidak dapat diungkapkan tanpa data empiris.
Menurut Elizabeth K. Nottingham (1954), kaitan agama dalam
masyarakat dapat mencerminkan beberapa tipe, meskipun tidak menggambarkan
keseluruhannya secara utuh.
a. Masyarakat yang Terbelakang dan
Nilai-nilai Sakral
Masyarakat tipe ini kecil, terisolasi,
dan terbelakang. Anggota masyarakatnya menganut agama yang sama. Sebab itu,
keanggotaan mereka dalam masyarakat dan dalam kelompok keagamaan adalah sama.
Agama menyusup ke dalam kelompok aktivitas yang lain. Sifat-sifatnya:
1. Agama memasukkan pengaruhnya yang
sakral ke dalam sistem masyarakat secara mutlak.
2. Nilai agama sering meningkatkan
konservatisme dan menghalangi perubahan dalam masyarakat dan agama menjadi
fokus utama pengintegrasian dan persatuan masyarakat secra keseluruhan yang
berasal dari keluarga yang belum berkembang.
b. Mayarakat-masyarakat Praindustri
yang Sedang Berkembang
Masyarakatnya tidak terisolasi, ada
perkembangan teknologi. Agama memberi arti dan ikatan kepada sistem nilai dalam
tiap masyarakat, pada saat yang sama, lingkungan yang sakral dan yang sekular
masih dapat dibedakan. Fase kehidupan sosial diisi dengan upacara-upacara
tertentu. Di pihak lain, agama tidak memberikan dukungan sempurna terhadap
aktivitas sehari-hari, agama hanya memberikan dukungan terhadap adat-istiadat.
Pendekatan rasional terhadap agama dengan penjelasan ilmiah
biasanya akan mengacu dan berpedoman pada tingkah laku yang sifatnya ekonomis
dan teknologis dan tentu akan kurang baik. Karena adlam tingkah laku, tentu
unsur rasional akan lebih banyak, dan bila dikaitkan dengan agama yang
melibatkan unsur-unsur pengetahuan di luar jangkauan manusia (transdental),
seperangkat symbol dan keyakinan yang kuat, dan hal ini adalah keliru. Karena
justru sebenarnya, tingkah laku agama yang sifatnya tidak rasional memberikan
manfaat bagi kehidupan manusia.
Agama melalui wahyu atau kitab sucinya
memberikan petunjuk kepada manusia untuk memenuhi kebutuhan mendasar, yaitu
selamat di dunia dan akhirat. Dalam perjuangannya, tentu tidak boleh lalai.
Untuk kepentingan tersebut, perlu jaminan yang memberikan rasa aman bagi
pemeluknya. Maka agama masuk dalam sistem kelembagaan dan menjadi sesuatu yang
rutin. Agama menjadi salah satu aspek kehiduapan semua kelompok sosial,
merupakan fenomena yang menyebar mulai dari bentuk perkumpulan manusia,
keluarga, kelompok kerja, yang dalam beberapa hal penting bersifat keagamaan.
Adanya organisasi keagamaan, akan meningkatkan pembagian kerja dan spesifikasi
fungsi juga memberikan kesempatan untuk memuaskan kebutuhan ekspresif dan
adatif.