Social Icons

Featured Posts

Selasa, 20 Januari 2015

Hubungan Individu Dengan Organisasi Keagamaan

Proses menjadi relijius masih tetap menarik perhatian para ahli ilmu social dan menimbulkan banyak perdebatan, baik yang bersifat teoritis maupun yang bersifat empiric. Fakta sederhana yang dapat dikemukakan di sini adalah bahwa semua orang tidak dilahirkan religious tetapi mereka mengalami proses menjadi religious. Proses menjadi religious ini menimbulkan banyak kemungkinan. Misalnya, seseorang dilahirkan di tengah keluarga yang menganut agama tertentu, dan tersosialisasi untuk mengadopsi agama dan keyakinan tersebut sebagai agamanya; seseorang bisa saja dilahirkan di tengah agama tertentu lalu berubah menjadi penganut agama yang lain; seseorang mungkin mengalami konversi keimanan, baik secara bertahap maupun secara tiba-tiba; atau bisa saja seseorang yang pada mulanya tidak beriman sama sekali akhirnya menjadi orang yang beriman. Dalam konteks ini, lembaga-lembaga keagamaan juga mengalami pasang surut sebagaimana yang terjadi pada manusia (Spilka B, 1985).
Para ahli psikologi mendefinisikan komitmen agama dalam pengertian yang sangat individual, tetapi harus dikatakan bahwa komitmen keagamaan tidak berlangsung dalam suatu ruang social yang sama sekali kosong. Komitmen relijius sebagian besar orang ditujukan kepada suatu keimanan yang sama dengan orang lain dan pada tingkat tertentu dikendalikan oleh organisasi keagamaan, penegasan Whitehead (1926, dalam Spilka, 2003) tentang imajinasi relijius tokoh-tokoh besar seperti Nabi Muhammad yang bertapa di Gua Hira, Buddha yang bersemedi di bawah pohon Bodha dan Yesus yang disalib diseimbangkan oleh fakta bahwa tokoh-tokoh besar tersebut memelihara pentingnya nillai relijius mereka melalui tradisi besar yang dipelihara oleh generasi-generasi yang beriman dan terorganisir di dalam organisasi keagamaan termasuk masjid dan gereja. Oleh karena itu, setidaknyauntuk menjadi orang yang religious kadang-kadang berkaitan dengan organisasi keagamaan pada hal-hal tertentu. Maka, mengubah komitmen relijius seringkali berhubungan dengan mengubah organisasi keagamaan (Spilka, 2003).
Finke & Starke (1992, dalam McCollough, 1995) mengemukakan bahwa agama adalah produk budaya, dan organisasi keagamaan adalah penyedia produk yang dimaksudkan. Jika agama sebagai produk budaya mengandung banyak hal seperti ikatan social, kepastian eksistensial, kerangka moral dan lain-lain maka organisasi keagamaan bertugas menyediakan semua itu. Starke & Finke (2000) menyatakan bahwa fungsi utama organisasi keagamaan adalah untuk membentuk norma, nilai dan perilaku anggotanya. Ada beberapa bukti ilmiah yang menunjukkan betapa pentingnya peran organisasi keagamaan dalam membentuk sikap dan mental keagamaan penganutnya. Misalnya, pada kalangan agama Kristen, sejumlah kelompok keagamaan seperti Adven Hari Ketujuh, mendorong para pengikutnya untuk melakukan praktek diet dan menghindari konsumsi tembakau.
Pengaruh organisasi keagamaan atau kelompok keagamaan terhadap pilihan perilaku seseorang dibuktikan oleh penelitian Herd (1996) yang menyatakan bahwa ada komponen social yang ikut memainkan peran. Secara khusus dia menekankan bahwa modeling social dan pengaruh informal dari anggota rakan kelompok keagamaan, dalam hal ini anggota kelompok gereja, yang dapat menjelaskan hubungan antara keikutsertaan seseorang dalam suatu kelompok keagamaan dengan perilaku konsumsi alcohol. Gagasan tersebut konsisten dengan proposisi dasar yang dikembangkan oleh Starke dan Finke dalam teori konprehensif mareka tantang agama. Mereka secara khusus menyatakan bahwa keyakinan individu terhadap penjelasan atau ajaran agama diperkuat sampai pada batas tertentu oleh ungkapan keyakinan orang lain terhadap mereka. (Krause N., 2003).
Dengan penjelasan yang lain, dapat dikatakan bahwa keyakinan seseorang tentang suatu ajaran agama, misalnya berupa larangan atau perintah, disebabkan oleh pengaruh orang lain yang turut menyatakan keyakinannya dalam interaksi social sehari-hari. Artinya, seseorang memerlukan kehadiran orang lain dan interaksi dengan orang lain untuk mempertegas sikap atau pilihannya terhadap ajaran agama tertentu. Tanpa itu, sulit bagi seseorang untuk mengambil suatu keputusan atau sikap khusus. Jadi, yang penting dicatat di sini adalah bahwa bukan hanya keanggotaan seseorang dalam kelompok keagamaan tertentu yang berpengaruh terhadap keyakinannya, tetapi sejauh mana dia berinteraksi dan saling bertukar pendapat dan gagasan dengan orang lain sesame anggota jamaah mengenai ajaran atau faham keagamaan.
Agama sangat universal, permanen, dan mengatur dalam kehidupan, sehingga bila tidak memahami agama, maka akan sulit memahami masyarakat. Hal yang harus diketahui dalam memahami lembaga agama adalah apa dan mengapa agama ada, unsur-unsur dan bentuknya serta fungsi dan struktur dari agama. Dimensi ini mengidentifikasikan pengaruh-pengaruh kepercayaan, praktek, pengalaman, dan pengetahuan keagamaan dalam kehidupan sehari-hari. Dimensi-dimensi ini dapat diterima sebagai dalil atau dasar analitis, tapi hubungan antara empat dimensi itu tidak dapat diungkapkan tanpa data empiris.
Menurut Elizabeth K. Nottingham (1954), kaitan agama dalam masyarakat dapat mencerminkan beberapa tipe, meskipun tidak menggambarkan keseluruhannya secara utuh.

a.       Masyarakat yang Terbelakang dan Nilai-nilai Sakral
Masyarakat tipe ini kecil, terisolasi, dan terbelakang. Anggota masyarakatnya menganut agama yang sama. Sebab itu, keanggotaan mereka dalam masyarakat dan dalam kelompok keagamaan adalah sama. Agama menyusup ke dalam kelompok aktivitas yang lain. Sifat-sifatnya:
1.      Agama memasukkan pengaruhnya yang sakral ke dalam sistem masyarakat secara mutlak.
2.      Nilai agama sering meningkatkan konservatisme dan menghalangi perubahan dalam masyarakat dan agama menjadi fokus utama pengintegrasian dan persatuan masyarakat secra keseluruhan yang berasal dari keluarga yang belum berkembang.
b.      Mayarakat-masyarakat Praindustri yang Sedang Berkembang
Masyarakatnya tidak terisolasi, ada perkembangan teknologi. Agama memberi arti dan ikatan kepada sistem nilai dalam tiap masyarakat, pada saat yang sama, lingkungan yang sakral dan yang sekular masih dapat dibedakan. Fase kehidupan sosial diisi dengan upacara-upacara tertentu. Di pihak lain, agama tidak memberikan dukungan sempurna terhadap aktivitas sehari-hari, agama hanya memberikan dukungan terhadap adat-istiadat.

Pendekatan rasional terhadap agama dengan penjelasan ilmiah biasanya akan mengacu dan berpedoman pada tingkah laku yang sifatnya ekonomis dan teknologis dan tentu akan kurang baik. Karena adlam tingkah laku, tentu unsur rasional akan lebih banyak, dan bila dikaitkan dengan agama yang melibatkan unsur-unsur pengetahuan di luar jangkauan manusia (transdental), seperangkat symbol dan keyakinan yang kuat, dan hal ini adalah keliru. Karena justru sebenarnya, tingkah laku agama yang sifatnya tidak rasional memberikan manfaat bagi kehidupan manusia.
Agama melalui wahyu atau kitab sucinya memberikan petunjuk kepada manusia untuk memenuhi kebutuhan mendasar, yaitu selamat di dunia dan akhirat. Dalam perjuangannya, tentu tidak boleh lalai. Untuk kepentingan tersebut, perlu jaminan yang memberikan rasa aman bagi pemeluknya. Maka agama masuk dalam sistem kelembagaan dan menjadi sesuatu yang rutin. Agama menjadi salah satu aspek kehiduapan semua kelompok sosial, merupakan fenomena yang menyebar mulai dari bentuk perkumpulan manusia, keluarga, kelompok kerja, yang dalam beberapa hal penting bersifat keagamaan. Adanya organisasi keagamaan, akan meningkatkan pembagian kerja dan spesifikasi fungsi juga memberikan kesempatan untuk memuaskan kebutuhan ekspresif dan adatif.

Senin, 17 November 2014

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kebahagiaan (Happiness)


Diener (dalam Carr, 2004) menyebutkan bahwa untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berkontribusi pada kebahagiaan bukanlah merupakan hal yang mudah. Tetapi pada kebanyakan penelitian menyebutkan bahwa faktor kepribadian dan demografis merupakan faktor utama yang menyebabkan dan berhubungan dengan kebahgaiaan (Carr, 2004; Argyle, 1999). Berikut ini adalah beberapa faktor yang mempengaruhi kebahagiaan seseorang (Argyle, 1999; Carr, 2004; Eddington & Shuman, 2005):

1.      Kepribadian
Berdasarkan penelitian mengenai kebahagiaan menunjukkan bahwa orang yang bahagia dan tidak bahagia memiliki profil kepribadian yang berbeda (Diener dkk dalam Carr, 2004). Hubungan antara trait kepribadian dan kebahagiaan tidak bersifat universal pada semua budaya. Pada budaya barat yang individualistik, orang yang bahagia adalah yang memiliki trait ekstraversi, optimis, harga diri yang tinggi dan locus of control internal. Sedangkan orang yang tidak bahagia adalah orang yang memiliki tingkat neurotik yang tinggi. Hal tersebut berbeda dengan orang-orang di budaya timur yang menganut budaya kolektivistik dimana faktor-faktor tersebut tidak berhubungan dengan kebahagiaan. Jadi nilai budaya menentukan trait kepribadian yang mempengaruhi kebahagiaan (Carr, 2004). Menurut Eddington & Shuman (2005) kepribadian menunjukkan peran yang lebih signifikan dibandingkan dengan peristiwa hidup spesifik lainnya dalam menentukan SWB.

2.      Variabel demografis
Faktor lain yang juga mempengaruhi kebahagiaan adalah variabel demografis dan lingkungan (Eddington & Shuman, 2005). Faktor-faktor demografis itu adalah:
a.       Jenis Kelamin
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perbedaan jenis kelamin merupakan faktor yang sangat kecil dalam menentukan kebahagiaan dan kepuasan hidup seseorang (Inglehart & Michalos dalam Eddington & Shuman, 2005).
b.      Usia
Pada banyak penelitian dan survey menunjukkan bahwa pengaruh usia terhadap kebahagiaan adalah kecil (Argyle, 1999).
c.       Pendidikan
Hubungan antara pendidikan dan kebahagiaan adalah kecil tetapi signifikan (Campbell, Cantril, Diener et al dalam Eddington & Shuman, 2005). Namun hubungan antara pendidikan dan kebahagiaan merupakan hasil dari korelasi antara pendidikan dengan status pekerjaan dan pendapatan (Campbell, Witter et al dalam Eddington & Shuman, 2005; Argyle, 1999).
d.      Pendapatan
Banyak penelitian yang menyebutkan bahwa pendapatan berhubungan dengan kebahagiaan Diener et al (1999). Secara umum, orang yang lebih kaya akan merasa lebih bahagia dibandingkan dengan orang yang lebih miskin (Eddington & Shuman, 2005).
e.       Perkawinan
Orang yang menikah memiliki kebahagiaan lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang tidak pernah menikah, bercerai, berpisah, atau janda (Eddington & Shuman, 2005). Pada beberapa negara, pasangan yang hidup ber­sama (kohabitasi) secara signifikan lebih bahagia dibandingkan dengan orang yang tinggal seorang diri (Kurdek, Mastekaasa dalam Eddington & Shu­­man, 2005). Perkawinan sering ditemukan menjadi salah satu fakrot ter­kuat yang berkorelasi dengan kebahagiaan (Glenn & Weaver dalam Argyle, 1­999),
f.       Pekerjaan
Orang yang bekerja akan lebih bahagia dibandingkan dengan orang yang tidak bekerja (Argyle, 1999; Eddington & Shuman, 2005). Orang yang tidak bekerja mempunyai tingkat stress yang lebih tinggi, kepuasan hidup yang lebih rendah dan kemungkinan bunuh diri yang lebih tinggi dibandinkan dengan orang yang bekerja (Eddington & Shuman, 2005).
g.      Kesehatan
Hubungan yang kuat antara kesehatan dan kebahagiaan muncul pada pengukuran kesehatan melalui self-report, tidak pada penilaian secara objektif oleh ahli. Maka dapat disimpulkan bahwa persepsi akan kesehatan menjadi lebih penting daripada kesehatan secara objektif dalam mempengaruhi kebahagiaan (Eddington & Shuman, 2005).
h.      Agama
Banyak survey yang menunjukkan bahwa kebahagiaan berkorelasi secara signifikan dengan agama, hubungan seseorang dengan Tuhan, pengalaman doa dan partisipasi di dalam aspek keagamaan (Eddington & Shuman, 2005).
i.        Waktu luang
Veenhoven et al (dalam Eddington & Shuman, 2005; Argyle, 1999) menunjukan bahwa kebahagiaan berkorelasi cukup tinggi dengan kepuasan waktu luang dan tingkatan aktivitas di waktu luang. Kegiatan yang dilakukan pada waktu luang dapat meningkatkan kebahagiaan, seperti aktivitas menyenangkan bersama teman, kegiatan olah raga, dan liburan. Sedangkan kegiatan menonton televisi di waktu luang terutama tontonan yang berat  kurang dapat meningkatkan bahagia (Eddington & Shuman, 2005; Argyle, 1999).
j.        Etnis
Etnis minoritas di suatu negara memiliki kebahagiaan yang lebih kecil karena berdasarkan pada rendahnya pendapatan, pendidikan, dan status pekerjaan yang diperoleh (Argyle, 1999).
k.      Peristiwa kehidupan
Intensitas peristiwa positif yang terjadi tidak banyak mempengaruhi kebahagiaan sebagian karena jarang terjadi (Argyle, 1999 Eddington & Shuman, 2005).
l.        Kompetensi
  Penelitian menunjukkan bahwa korelasi antara kompetensi inteligensi dan kebahagiaan sangat kecil tetapi positif. Kebahagiaan juga berhubungan dengan kerja sama, kepemimpinan dan kemampuan heteroseksual (Argyle, 1999 Eddington & Shuman, 2005).

Rabu, 22 Oktober 2014

Pulau Bira, Kepulauan Seribu

Pemandangan pulau bira di Kepulauan Seribu, Jakarta ini sungguh indah. Pasirnya yang putih, deburan ombak, dan I feel free :D

Kami menginap di pulau kelapa, siang hari kami berkunjung di Pulau Bira ini. Karena kami datang berlibur bukan di hari libur, pulaunya serasa milik sendiri saja.


Bagi kamu yang mencintai keindahan alam, kunjungi saja ke Pulau Bira yang sangat indah ini. Gak bakalan nyesel, yang ada hanya mengagumi keindahan alamnya. Pas saya di pulau ini, mulai muncul keisengan saya yang mengumpulkan kerang-kerang yang warnanya ungu dan lucu menurut saya. Dan saya bawa pulang kerang itu lalu disimpan di aquarium. (sstt jangan ditiru).
 
Blogger Templates