GANGGUAN DISOSIATIF DAN SOMATOFORM
- GANGGUAN
SOMATOFORM
I. Definisi
Kata
somatoform di ambil dari bahasa Yunani soma yang berarti “tubuh”. Dalam
gangguan somatoform masalah-masalah psikologi muncul dalam bentuk gangguan
fisik (misalnya, nyeri, mual dan pusing). Simtom-simtom fisik gangguan
somatoform yang tidak dapat dijelaskan secara fisiologis dan tidak berada dalam
kesadaran, diduga terkait dengan faktor-faktor psikologis yaitu kecemasan,
sehingga diasumsikan memiliki penyebab psikologis.
Menurut
(Nevid, dkk, 2005), gangguan somatoform (somatoform disorder) adalah
suatu kelompok gangguan yang ditandai oleh keluhan tentang masalah atau simtom
fisik yang tidak dapat dijelaskan oleh penyebab kerusakan fisik. Pada gangguan
ini, orang memiliki simtom fisik yang mengingatkan pada gangguan fisik, namun
tidak ada abnormalitas organik yang dapat ditemkan sebagai penyebabnya. Gejala
dan keluhan somatik menyebabkan penderitaan emosional/gangguan pada kemampuan
pasien untuk berfungsi di dalam peranan sosial atau pekerjaan. Gangguan
somatoform tidak disebabkan oleh pura-pura yang disadari atau gangguan buatan.
II.
Jenis Gangguan
Somatoform
Gangguan Nyeri,
Gangguan Dismorfik Tubuh, dan Gangguan Hipokondriasis
Pada
gangguan nyeri seseorang mengalami rasa sakit atau nyeri yang
menyebabkan distress dan kerusakan signifikan, faktor psikologis dianggap
berperan penting terhadap muncul, menetap dan parahnya rasa nyeri. Bahkan
pasien tidak mampu bekerja dan obat penenang atau penghilang rasa sakit tidak
berpengaruh lagi. Rasa nyeri dapat memiliki keterkaitan temporal dengan semacam
konflik atau stres, atau mungkinkan individu menghindari aktivitas yang tidak
menyenangkan dan mendapatkan perhatian serta simpati yang tidak diperoleh saat
individu dalam keadaan sehat. Diagnosis akurat sulit ditegakkan karena
pengalaman rasa nyeri subjektif selalu merupakan fenomena yang dipengaruhi
secara psikologis, yaitu rasa nyeri bukan sekedar pengalaman sensori, seperti
pengelihatan dan pendengaran. Dengan demikian, untuk memutuskan apakah rasa
nyeri yg diderita adalah rasa nyeri somatoform atau rasa nyeri yang berkaitan
dengan gejala fisik merupakan hal yang sulit. Namun, pada pasien yang rasa
sakitnya dilandasi gangguan fisik, mereka dapat menunjukkan bagian yangs akit
secara spesifik, dapat memberikan deskripsi sensori rasa sakitnya secara lebih
rinci, dan dapat mengaitkan rasa sakit tersebut secara lebih jelas dengan
berbagai kondisi yang meningkatkan atau mengurangi rasa sakit (Adler dkk,
1997).
Pada
gangguan dismorfik tubuh, seseorang dipenuhi kekhawatiran dengan
kerusakan penampilan yang hanya dalam bayangannya atau dilebih-lebihkan,
seringkali pada wajah-contohnya, kerutan wajahm bulu di wajah yang lebat, bentuk
atau ukuran hidung. Wanita cenderung
pula fokus pada bagian kulit, pinggang, dada, dan kaki, sedangkan pria lebih
cenderung memiliki kepercayaan bahwa mereka bertubuh pendek, ukuran penisnya
terlalu kecil atau mereka memiliki terlalu banyak rambut di tubuhnya (Perugi
dkk, 1997). Beberapa individu
yang mengalami gangguan ini secara kompulsif akan menghabiskan berjam-jam
setiap harinya untuk memperhatikan kekurangannya dengan berkaca di cermin. Ada
pula yang menghindari cermin agar tidak diingatkan mengenai kekurangan mereka,
atau mengkamuflasekan kekurangan mereka dengan, misalnya, mengenakan baju yang
sangat longgar (Albertini & Philip, 1999).
Beberapa bahkan mengurung diri di rumah untuk
menghindari orang lain melihat kekurangan yang dibayangkannya. Hal ini sangat
mengganggu dan terkadang dapat mengerah pada bunuh diri; seringnya konsultasi
pada dokter bedah plastik dan beberapa individu yang mengalami hal ini bahkan
melakukan operasi sendiri pada tubuhnya. Sayangnya, operasi plastik berperan
kecil dalam menghilangkan kekhawatiran mereka (Veale, 2000). Body dysmorphic
disorder muncul kebanyakan pada wanita, biasanya dimulai pada akhir masa
remaja, dan biasanya berkaitan dengan depresi, fobia social, gangguan
kepribadian (Phillips&McElroy, 2000; Veale et al.,1996). Faktor social dan
budaya memainkan peranan penting pada bagaimana seseorang merasa apakah ia
menarik atau tidak, seperti pada gangguan pola makan.
Hipokondriasis bersal dari istilh medis lama “hypochondrium”,
yang berarti di bawah tulang rusuk, dan merefleksikan gangguan pada bagian
perut yang sering dikeuhkan pasien hipokondriasis. Hipokondriasis adalah hasil
interpretasi pasien yang tiak realistis dan tidakk akurat terhadap simtom atau
sensasi, sehngga mengarah pada preokupasi dan ketakutan bahwa mereka memiliki
ganggguan yang arah, bahkan meskipun
tidak ada penyebab medis yang ditemukan. Psien yakin bahwa mereka mengalami
penyakit yang serius dan belum dapat dideteksi, dan tidak dapat dibantah dengan
mnunjukkan kebalikannya (Kaplan, Sadock, dan Grebb, 1994).
Gangguan ini biasanya dimulai pada awal masa
remaja dan cenderung terus berlanjut. Individu yang mengalami hal ini biasanya
merupakan konsumen yang seringkali menggunakan pelayanan kesehatan; bahkan
terkadang mereka manganggap dokter mereka tidak kompeten dan tidak perhatian
(Pershing et al., 2000). Dalam teori disebutkan bahwa mereka bersikap
berlebihan pada sensasi fisik yang umum dan gangguan kecil, seperti detak
jantung yang tidak teratur, berkeringat, batuk yang kadang terjadi, rasa sakit,
sakit perut, sebagai bukti dari kepercayan mereka. Hypochondriasis seringkali
muncul bersamaan dengan gangguan kecemasan dan mood.
a. Gangguan
Konversi
Pada conversion disorder, gejala sensorik dan motorik, seperti hilangnya
penglihatan atau kelumpuhan secara tiba-tiba, menimbulkan penyakit yang
berkaitan dengan rusaknya sistem saraf, padahal organ tubuh dan sistem saraf
individu tersebut baik-baik saja. Individu dapat mengalami kelumpuhan separuh
atau seluruhnya pada lengan atau kaki, kejang dan gangguan koordinasi, kulit
serasa tertusuk, perih atau menggeletar, insertistivitas terhadap rasa sakit,
hilang atau lemahnya pengindraan atau anesthesia (walaupun secara fisiologis
mereka normal). Penglihatan dapat mengalami kerusakan parah, orang yang
bersangkuan dapat separuh atau sepenuhnya buta (tunnel vision), di mana
bidang pengelihatan menjadi terbatas seperti bila seseorang melihat melalui
lobang pipa. Aphonia, hilangnya suara dan hanya bisa berbicara dnegan berbisik, dan ansomia
hilang atau melemahnya indra penciuman, dan simtim-simtom konversi lainnya.
Aspek psikologis dari gejala conversion ini
ditunjukkan dengan fakta bahwa biasanya gangguan ini muncul secara tiba-tiba
dalam situasi yang tidak menyenangkan. Biasanya hal ini memungkinkan individu
untuk menghindari beberapa aktivitas atau tanggung jawab atau individu sangat
ingin mendapatkan perhatian. Istilah conversion, pada dasarnya berasal dari
Freud, dimana disebutkan bahwa energi dari instink yang di repress dialihkan
pada aspek sensori-motor dan mengganggu fungsi normal. Untuk itu, kecemasan dan
konflik psikologis diyakini dialihkan pada gejala fisik.
Gejala conversion biasanya berkembang pada masa
remaja atau awal masa dewasa, dimana biasanya muncul setelah adanya kejadian
yang tidak menyenangkan dalam hidup. Prevalensi dari conversion disorder kurang
dari 1 %, dan biasanya banyak dialami oleh wanita (Faravelli et
al.,1997;Singh&Lee, 1997). Conversion disorder biasanya berkaitan dengan
diagnosis Axis I lainnya seperti depresi dan penyalahgunaan zat-zat terlarang,
dan dengan gangguan kepribadian, yaitu borderline dan histrionic personality
disorder (Binzer, Anderson&Kullgren, 1996;Rechlin, Loew&Jorashky,
1997).
b. Gangguan
Somatisasi
Pada
tahun 1859 seorang dokter berkebangsaan Prancis, Pierre Briquet menggambarkan
suatu sindrom yang pada walnya diberi nama sesua dengan namanya, sindrom
Briquet. Kini dalam DSM-IV-TR disebut dengan gangguan somatisasi.
Keluhan somatik yang berulang dan banyak memerlukan perhatian medis, namun
tidak memiliki sebab fisik yang jelas. Untuk memenuhi kriterian diagnostik,
yang bersagkutan harus mengalami keempat hal dibawah ini:
1. Empat
simptom rasa sakit di bagian yang berbeda (kepala, punggung, sendi);
2. Dua
simptom gastrointestinal (diare, mual);
3. Satu
simptom seksual selain rasa sakit (tidak berminat pada hubungan seksual,
disfungsi erektil);
4. Satu
simptom pseudineurologis (seperti yang terjadi dalam gangguan konversi).
Simptom-simptom tersebut yang lebih
pervasif dibanding keluhan hipokondriasis, biasanya menyebabkan hendaya, terutama
dalam pekerjaan. Dalam DSM-IV-TR mencatat bahwa, simptom-simptom spesifik
gangguan ini dapat bervariasi antarbudaya. Sebagai contoh, tangan terbakar atau
sperti ada semut yang berjalan di bawah lutut, hal ini sering terjadi di Asia
dan Afrika dibanding di Amerika Utara. Terlebih lagi gangguan tersebut dinilai
sering terjadi pada budaya yang tidak mendorong ekspresi emosi secara terbuka
(Ford, 1995).
Gangguan somatisasi dan gangguan
konversi memiliki banyak persamaan simptom, dan keduanya dapat ditegakkan pada
pasien yang sama (Ford & Folks, 1985). Kunjungan ke dokter, kadangkala ke
banyak dokter pada waktu bersamaan, sering kali dilakukan, juga penggunaan
obat-obatan. Perawatan di rumah sakit bahkan operasi menajdi hal umum (Guz2,
1967). Masalah menstruasi dan hambatan seksual sering terjadi (Swartz dkk,
1986). Para pasien umumnya menyampaikan keluhan secara berlebihan atau sebagai
riwayat kesehatan yang panajng dan penuh komplikasi. Banyak yang meyakini bahwa
mereka telah mengalami penyakit sepanjang hidupnya.
Prevalensi
dari somatiation disorder diperkirakan kurang dari 0.5% dari populasi Amerika,
biasanya lebih sering muncul pada wanita, khususnya wanita African American dan
Hispanic (Escobar et al., 1987) dan pada pasien yang sedang menjalani pengibatan
medis. Prevalensi ini lebih tinggi pada beberapa negara di Amerika Selatan dan
di Puerto Rico (Tomassson, Kent&Coryell , 1991). Somatizaton disorder
biasanya dimulai pada awal masa dewasa (Cloninger et al., 1986).
III.
Etilogi
Sebagian besar teori mengenai gangguan somatoform
hanya diarahkan pada pemahaman histeria sebagaimana dikonseptualisasi oleh
Freud. Konsekuensinya, teori ini memfokuskan pada penjelassan gangguan
konversi. Di bawah ini akan dijelaskan secara singkat pemikiern tentang
etiologi gangguan somatisasi.
Pendapat mengatakan bahwa para pasien penderita
gangguan somatisasi lebih sensitif terhadap sensasi fisik, memberikan perhatian
berlebihan tehadap sensasi tersebut, atau menginterpretasikannya sebagai sesuau
yang membahayakan (Kirmayer dkk.,1994; Rief dkk.,1998). Kemungkinan lain adalah
mereka memiliki sensasi fisik yanglebih kuat dibanding orang lain (Rief &
Aurer, 2001). Sebuah pandangan perilaku mengenai gangguan somatisasi menyatakan
bahwa berbagai macam rasa sakit dan nyeri, rasa tidak nyaman, dan disfungsi
merupakan manifestasi kecemasan yang tidak realistis dalam sistem-sistem tubuh.
Sejalan dengan pemikirian bahwa terdapat faktor kecemasan yang tinggi, pasien
penderita gangguan somatisasi memiliki level kortiso tinggi, suatu indikasi
bahwa mereka di bawah tekanan (Rief dkk., 1998). Mungkin ketegangan ekstrem
yang yang dialami individu terpusat pada otot-otot perut, mengakibatkan rasa
mual atau muntah. Bila keberfungsian normal terganggu, pola maladaptif akan
menguat karena menghasilkan perhatian dan alasan untuk menghindari sesuatu.
Teori Psikoanalisis Mengenai Gangguan Konversi.
Gangguan Konversi menempati posisi utama dalam teori psikoanalisis karena
ketika menangani kasus-kasus inilah Freud mengembangkan sebagian besar konsep
utama psikoanalisis. Gangguan konversi memberikan kesempatan besar baginya
untuk menggali konsep ketidaksadaran. Pertimbangkanlah selama beberapa saat
bagaimana Anda akan berusaha memahami penuturan pasien bahwa suatu pagi ia
bangun dan tidur dengan tangan kiri yang lumpuh. Reaksi pertama Anda mungkin
memberikan serangkaian tes neurologis untuk mencari kemungkinan penyebab
biologis kelumpuhana tersebut. Kita asumsikan hasil tes tersebut negatif; tidak
ada bukti terjadinya gangguan neurologis. Anda sekarang dihadapkan pada pilihan
apakah akan mempercayai atau meragukan penuturan pasien. Di satu sisi, dia
mungkin berbohong; sebenarnya dia mungkin mengetahui bahwa tangannya tidak
lumpuh, namun memutuskan untuk berpura-pura lumpuh untuk mencapai suatu tujuan.
Ini menjadi contoh malingering.
IV.
Terapi
Karena gangguan somatoform lebih jarang terjadi
dibanding asalah-masalah lain yang dihadapi para profesional kesehatan mental,
hanya terdapat sedikit penelitian terkendali mengenai efektivitas relatif
berbagai penanganan. Laporan-laporan kasus dan spekulasi klinis untuk saat ini
merupakan sumber informasi utama mengenai bagaimana menolong orang-orang yang
mengalami gangguan yang membingungkan ini. Contohnya, tidak terdapat penelitian
terkendali mengenai penanganan gangguan konversi. Berbagai studi kasus
menunjukkan bahwa biasanya bukan suatu ide yang baik untuk berusaha menyakinkan
pasien bahwa simtom-simtom konversi yang dialami berkaitan dengan faktor-faktor
psikologis. Kebijakan klinis menyarankan pendekatan halus dan suportif seraya
memberikan penghargaan kepada pasien atau setiap perbaikan kondisi sekecil apa
pun yang berhasil dicapai (Simon, 19980).
Terapi untuk Somatisasi: Para ahli klinis kognitif
dan perilaku percaya bahwa tingkat kecemasan yang tinggi yang berkaitan dengan
gangguan somatisasi dipicu oleh beberapa situasi spesifik. Sebagai contoh, Alice,
wanita yang dikisahkan sebelumnya, mengungkapkan bahwa ia sangat cemas terhadap
perkawinannya yang goyah dan berbagai situasi di mana orang lain mungkin akan
menilainya. Beberapa teknik seperti pemaparan atau terapi kognitif dapat
digunakan untuk mengatasi ketakutannya, berkurangnya rasa takut tersebut dapat
membantu mengurangi berbagai keluhan somatik.
Terapi untuk Hipokondriasis: Secara umum, pendekatan
kognitif-behavioral telah terbukti efektif untuk mengurangi berbagai masalah
hipokondriasis. Penelitian menunjukkan bahwa para pasien hipokondriasis
menunjukkan penyimpangan kognitif dengan menganggu masalah kesehatan yang
muncul sebagai suatu ancaman. Terapi kognitif-behavioral dapat ditujukan untuk
menstrukturisasikan pemikiran pesimistis semacam itu. Salain itu, penanganan
dapat mencakup beberapa strategi seperti semacam itu. Selain itu, penanganan
dapat mencakup beberapa strategi seperti mengarahkan perhatian selektif pasien
ke simtom-simtom fisik dan tidak mendorong pasien mencari kepastian medis bahwa
tidak sakit.
Terapis untuk Rasa Nyeri. Berdasarkan pemikiran
mutakhir, biasanya tidak ada gunanya membuat perbedaan yang tajam antara rasa
nyerib psikogenik dan rasa nyeri yang benar-benar disebabkan oleh faktor medis,
seperti cedera jaringan otot. Umumnya diasumsikan bahwa rasa nyeri selalu
mengandung kedua komponen tersebut. Penanganan yang efektif cenderung terdiri
dari hal-hal berikut:
1. Melakukan
validasi bahwa rasa nyeri memang nyata, dan tidak hanya dalam pikiran pasien
2. Pelatihan
relaksasi
3. Menghadiahi
pasien karena berperilaku yang tidak sejalan dengan rasa nyeri (menahan rasa
nyeri)
B. GANGGUAN DISOSIATIF
I. Definisi
Gangguan disosiatif adalah gangguan yang ditandai
dengan adanya perubahan perasaan individu tentang identitas, memori, atau
kesadarannya. Individu yang mengalami gangguan ini memperoleh kesulitan untuk
mengingat peristiwa-peristiwa penting yang pernah terjadi pada dirinya,
melupakan identitas dirinya bahkan membentuk identitas baru
(Davidson&Neale,2001).
Disosiasi psikologis
adalah perubahan kesadaran mendadak yang mempengaruhi memori dan identitas.
Para individu yang menderita gangguan disosiatif tidak mampu mengingat berbagai
peristiwa pribadi penting atau selama beberapa saat lupa akan identitasnya atau
bahkan membentuk identitas baru.
Secara umum gangguan disosiatif (dissociative disorders)
bisa didefinisikan sebagai adanya kehilangan (sebagian atau seluruh) dari
integrasi normal (di bawah kendali sadar) yang meliputi ingatan masa lalu,
kesadaran identitas dan penginderaanan segera (awareness of identity and immediate
sensations), serta control terhadap gerak tubuh.
Dalam penegakan diagnosis Gangguan Disosiatif harus ada gangguan
yang menyebabkan kegagalan mengoordinasikan identitas, memori persepsi ataupun
kesadaran, dan menyebabkan gangguan yang bermakna dalam fungsi sosial,
pekerjaan dan memanfaatkan waktu senggang.
Gejala utama gangguan ini adalah adanya kehilangan (sebagian atau
seluruh dari integrasi normal (dibawah kendali kesadaran) antara lain:
- ingatan masa lalu
- kesadaran identitas dan penginderaan (awareness of
identity and immediate sensations)
- kontrol terhadap gerakan tubuh
II.
Etilogi
Gangguan Disosiatif belum dapat diketahui penyebab pastinya,
namun biasanya terjadi akibat trauma masa lalu yang berat, namun tidak ada
gangguan organik yang dialami. Gangguan ini terjadi pertama pada saat anak-anak
namun tidak khas dan belum bisa teridentifikasikan, Dalam perjalanan
penyakitnya gangguan disosiatif ini bisa terjadi sewaktu-waktu dan trauma masa
lalu pernah terjadi kembali, dan berulang-ulang sehingga terjadinya gejala
gangguan disosiatif.
Dalam beberapa referensi
menyebutkan bahwa trauma yang terjadi berupa :
·
Kepribadian yang
labil
·
Pelecehan seksual
·
Pelecehan fisik
·
Kekerasan dalam rumah
tangga (ayah dan ibu cerai)
·
Lingkungan social yang
sering memperlihatkan kekerasan
III.
Tanda dan Gejala
Pada Gangguan disosiatif, kemampuan kendali dibawah kesadaran dan
kendali selektif tersebut terganggu sampai taraf yang dapat berlangsung dari
hari kehari atau bahkan jam ke jam.
Gejala umum untuk seluruh tipe
gangguan disosiatif, meliputi :
·
Hilang ingatan (amnesia) terhadap periode waktu tertentu, kejadian
dan orang
·
Masalah gangguan mental, meliputi depresi dan kecemasan
·
Persepsi terhadap orang dan benda di sekitarnya tidak nyata
(derealisasi)
·
Identitas yang buram
·
Depersonalisasi
Gangguan disosiatif selalu dihubungkan dengan penyulit yang
signifikan. Orang-orang
dengan kondisi seperti ini sering tidak dapat mengelola emosi dan stress dengan baik. Dan reaksi disosiatifnya dapat menyebabkan teman-temannya mengaggap dirinya aneh.
dengan kondisi seperti ini sering tidak dapat mengelola emosi dan stress dengan baik. Dan reaksi disosiatifnya dapat menyebabkan teman-temannya mengaggap dirinya aneh.
FAKTOR
RESIKO
Orang-orang dengan pengalaman
gangguan psikis kronik, seksual ataupun emosional semasa kecil sangat berisko
besar mengalami gangguan disosiatif. Anak-anak dan dewasa yang juga memiliki
pengalaman kejadian yang traumatic, semisalnya perang, bencana, penculikan, dan
prosedur medis yang infasif juga dapat menjadi faktor resiko terjadinya
gangguan disosiatif ini.
IV.
Jenis Gangguan Disosiatif
Gangguan
disosiatif mencakup 4 gangguan yakni;
- Amnesia
Disosiatif
- Fugue
Disosiatif
- Gangguan
Depersonalisasi
- Gangguan
Identitas Disosiatif
- Amnesia
Disosiatif
Amnesia disosiatif dipercaya sebagai tipe yang paling umum dari
gangguan disosiatif. Amnesia diambil dari akar kata Yunani a-, berarti “tanpa”,
dan mnasthai, berarti ”untuk mengingat”. Seseorang yang menderita amnesia
disosiatif tidak mampu mengingat informasi pribadi yang penting, biasanya
setelah suatu episode yang penuh stress. Informasi-informasi itu tidak hilang
secara permanen, namun tidak dapat diingat kembali saat episode amnesia.
Ingatan yang hilang dalam amnesia disosiatif dapat kembali, meski gangguan ini
bisa berlangsung selama beberapa hari, minggu, atau bahkan tahun. Mengingat
kembali dalam amnesia disosiatif dapat terjadi secara bertahap tetapi
seringkali muncul secara tiba-tiba dan spontan, seperti saat seorang tentara
tidak dapat mengingat pertarungan, beberapa hari setelahnya tiba-tiba dapat
mengingat pengalamannya setelah pindah ke rumah sakit yang jauh dari medan
perang. Sering kali memori yang hilang mencakup semua peristiwa selama kurun
waktu tertentu setelah suatu kejadian traumatic. Sangat jarang amnesia hanya
mencakup beberapa peristiwa tertentu dalam periode penderitaan tertentu,
berlangsung secara terus-menerus sejak terjadinya peristiwa traumatic hingga
saat ini, atau secara menyeluruh, mencakup seluruh kehidupan seseorang (Coons
& Milstein, 1992).
- Fugue
Disosiatif
Dalam Fugue Disosiatif (berasal dari bahasa latin
fugere, yang berarti melarikan diri) hilangnya memori lebih besar disbanding
dalam amnesia disosiatif. Orang yang bersangkutan tidak hanya mengalami amnesia
total, namun tiba-tiba meninggalkan rumah dan bekerja dengan menggunakan
identitas baru. Kadangkala orang tersebut mempunyai nama baru, rumah baru,
pekerjaan baru, dan bahkan serangkaian karakteristik kepribadian baru. Fugue
umumnya terjadi setelah seseorang mengalami stress berat, sepert pertengkaran
dengan sumai/istri, penolakan diri, masalah keuangan atau pekerjaan, bertugas
dalam peperangan, atau bencana alam. Walaupun memerlukan waktu yang lamanya
bervariasi, namun biasanya individu dapat pulih secara total; individu yang
bersangkutan tidak dapat mengingat apa yang terjadi selama ia mengalami
amnesia.
Ciri-ciri
Dissociative Fugue antara lain:
·
Pergi jauh dari rumah atau
tempat kerja secara tiba-tiba dan tidak mampu mengingat masa lalunya.
·
Secara mendadak dan tidak
terduga, individu pergi meninggalkan rumah dan pekerjaannya. Gejala ini muncul
bersamaan dengan ketidakmampuannya mengingat masa lalu.
·
Bingung terhadap identitas
pribadi atau mendapatkan identitas baru secara persial atau total.
·
Gangguan tidak terjadi secara
eksklusif selama berlangsungnya gangguan identitas dissosiative, dan bukan
disebabkan oleh substansi tertentu atau kondisi medis secara umum
·
Gangguan menyebabkan distress
atau daya ingat significant untuk berfungsi secara normal.
- Gangguan
Depersonalisasi
Gangguan Depersonalisasi, dimana persepsi atau
pengalaman seseorang terhadap diri sendiri berubah secara menyedihkan dan
mengganggu, juga tercantum salam DSM-IV-TR sebagai gangguan disosiatif. Dalam
episode depersonalisasi, yang umum dipicu oleh stress, individu secara mendadak
kehilangan rasa diri mereka. Mereka mengalami pengalaman sensori yang tidak
biasa; contohnya, ukuran tangan dan kaki mereka tampak berubah secara drastic
atau suara mereka terdengar asing bagi mereka sendiri. Mereka merasa berada
diluar tubuh mereka, menatap diri mereka sendiri dari kejauhan. Kadangkala
mereka merasa seperti mesin, seolah-olah mereka dan orang-orang lain adalah
robot, atau mereka seolah bergerak didunia yang tidak nyata. Gangguan
depersonalisasi biasanya berawal pada
masa remaja dan perjalanannya bersifat kronis, yaitu, dialami dalam waktu yang
lama. Komorbiditas dengan gangguan kepribadian sering terjadi, juga gangguan
anxietas dan depresi (Simeon dkk., 1997).
a. Pengalaman
yang berulang-ulang atau persisten dari depersonalisasi, yang ditandai oleh
perasaan terpisah dari proses mental atau tubuh seseorang, seolah-olah
seseorang menjadi pengamat luar dari dirinya sendiri. Pengalaman ini dapat
memiliki karakteristik seperti mimpi.
b. Individu tersebut mampu mempertahankan pengujian realitas (contohnya, membedakan kenyataan dan ketidaknyataan) saat keadaan depersonalisasi.
c. Pengalaman depersonalisasi menyebabkan distres atau hendaya pribadi yang signifikan pada satu atau lebih area fungsi yang penting, seperti fungsi sosial dan pekerjaan.
d. Merasa dirinya bukanlah dirinya yang sesungguhnya. Pengalaman bahwa diri sendiri telah berubah.
b. Individu tersebut mampu mempertahankan pengujian realitas (contohnya, membedakan kenyataan dan ketidaknyataan) saat keadaan depersonalisasi.
c. Pengalaman depersonalisasi menyebabkan distres atau hendaya pribadi yang signifikan pada satu atau lebih area fungsi yang penting, seperti fungsi sosial dan pekerjaan.
d. Merasa dirinya bukanlah dirinya yang sesungguhnya. Pengalaman bahwa diri sendiri telah berubah.
e. Perasaan
yang berulang ataupun menetap tentang adanya pemisahan diri dari fisik ataupun
pikiran. Merasa bahwa fisik atau pikirannya bukanlah miliknya lagi (Davidson
& Neale, 2001).
- Gangguan
Identitas Disosiatif
Menurut DSM-IV-TR, diagnosis gangguan identitas
disosiatif (GID) dapat ditegakkan bila seseorang memiliki sekurang-kurangnya
dua kondisi ego yang terpisah, atau berubah-moda yang berbeda dalam keberadaan,
perasaan, dan tindakan yang satu sama lain tidak saling mempengaruhi dan yang
muncul serta memegang kendali pada waktu yang berbeda. Umumnya terdapat dua
hingga empat kepribadian pada saat diagnosis ditegakkan, namun selama
berlangsungnya terapi sering kali muncul beberapa kepribadian baru. Gangguan
identitas disosiatif biasanya berawal pada masa kanak-kanak, namun jarang
didiagnosis hingga usia dewasa. GID umumnya disertai sakit kepala,
penyalahgunaan zat, fobia, halusinasi, upaya bunuh diri, disfungsi seksual,
perilaku melukai diri sendiri, dan juga
simtom-simtom disosiatif lain seperti amnesia dan depersonalisasi (Scrappo
dkk., 1998).
Kriteria
DSM-IV-TR untuk DID, diantaranya :
1)
Harus ada dua atau lebih identitas atau kesadaran yang
berbeda di dalam diri orang tersebut.
2)
Kepribadian-kepribadian ini secara berulang mengambil alih perilaku orang
tersebut (Switching).
3)
Ada ketidakmampuan untuk mengingat informasi penting yang
berkenaan dengan dirinya yang terlalu luar biasa untuk dianggap hanya sebagai
lupa biasa.
4)
Gangguan-gangguan yang terjadi ini tidak terjadi karena efek
psikologis dari substansi seperti alkohol atau obat-obatan atau karena kondisi
medis seperti demam.
V.
Terapi
Gangguan disosiatif menunjukan, mungkin lebih baik
dibanding semua gangguan lain, kemungkinan teori psikoanalisis. Dalam tiga
gangguan disosiatif-amnesia, fugue, dan gangguan identitas disosiatif- para
penderita menunjukan perilaku yang secara sangat meyakinkan menunjukan bahwa
mereka tidak dapat mengakses berbagai bagian kehidupan pada masa lalu yang terlupakan.
Dan karena pada saat yang sama mereka tidak menyadari bahwa mereka lupa akan
bagian dari masa lalu mereka, hipotesis bahwa terdapat bagian besar dalam
kehidupan mereka yang direpres atau didisosiasi merupakan hipotesis yang
meyakinkan (MacGregor, 1996).
Konsekuensinya, terapi psikoanalisis mungkin lebih
banyak dipilih untuk gangguan disosiatif disbanding masalah-masalah psikologis
lain. Tujuan untuk mengangkat represi menjadi hokum sehari-hari, dicapai
melalui penggunaan berbagai teknik psikoanalitik dasar.
Para
pasien GID sangat mudah dihipnotis, dan diyakini bahwa mudahnya mereka
dihipnotis dimanfaatkan oleh mereka (tanpa disadari) untuk mengatasi stress
dengan menciptakan kondisi disosiatif yang mirip dengan trance untuk mencegah
munculnya ingatan yang menakutkan tentang berbagai macam kejadian traumatis
(Butler dkk., 1996).
BAB 3
KESIMPULAN