Social Icons

Kamis, 06 Juni 2013

PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN MANUSIA DALAM PSIKOLOGI ISLAM

BAB II
PEMBAHASAN

       I.            Pengertian Pertumbuhan dan Perkembangan
Perkembangan merupakan serangkaian perubahan progresif yang terjadi sebagai akibat dari proses kematangan dan pengalaman. Perubahan ini bersifat kualitatif mengenai suatu proses integrasi dari banyak struktur dan fungsi yang kompleks (Hurlock, 1991). J.P. Chaplin menemukan empat arti perkembangan: 1) perubahan yang berkesinambungan yang progresif dalam organism, mulai lahir sampai mati, 2) pertumbuhan, 3) perubahan dalam bentuk dan dalam integrasi dari bagian-bagian jasmaniah ke dalam bagian-bagian fungsional, dan 4) kedewasaan atau kemunculan pola-pola dari tingkah laku yang tidak dipelajari.
Perubahan dalam diri manusia terdiri atas perubahan kualitatif dan kuantitatif. Perubahan kualitatif dalam diri manusia merupakan akibat dari perubahan psikis, sedangkan perubahan kuantitatif pada manusia merupakan akibat dari perubahan fisik. Perubahan kualitatif sering disebut perkembangan, seperti perubahan dari tidak tahu menjadi tahu atau dari kekenak-kanakan menjadi dewasa. Perubahan kuantitatif sering disebut pertumbuhan, seperti perubahan pada tinggi dan berat badan.yang menjadi topic bahasan dalam psikologi adalah perubahan kualitatif atau perkembangan.
Pembahasan mengenai perubahan kualitatif dalam psikologi lebih dalam dibahas pada psikologi perkembangan. Psikologi perkembangan merupakan salah satu cabang ilmu psikologi yang membahas mengenai tingkat perkembangan, taraf perkembangan, tugas-tugas perkembangan, dan hukum-hukum perkembangan.
    II.            Periodesasi dan Tugas-Tugas Perkembangan
Banyak ahli psikologi yang mengemukakan teori mengenai periodesasi dan tugas-tugas perkembangan manusia. Sigmund Freud dasi Psikoanalisa, Freud membagi perkembangan psikis manusia kedalam lima fase. Pertama fase oral, fase ini berlangsung selama 18 bulan pertama kehidupan. Pada fase ini sumber kenikmatan atau kesenangan pokok diperoleh dari kegiatan-kegiatan mulut, seperti menyusu kepada ibu, menghisap, menggigit-gigit, berbicara, mengunyah, makan,  dan sebagainya.
Kedua fase anal, fase ini berlangsung antara usia 1-3 tahun. Sumber kenikmatan berasal dari anus atau fungsi pengeluaran atau pembersihan yang berasosiasi dengannya. Tingkah lalu anak tergantung pada peran dan cara ibu dalam pembiasaan akan kebersihannya. Apabila ibu menggunakan cara yang represif, maka anak akan melampiaskan pembuangan kotoran pada waktu yang tidak tepat, hal ini mebuat anak bersifat kikir, keras kepala, kejam, sikap merusak, amarah dan jorok. Sebaliknya, ibu yang sabar akan manimbulakanefek perkembangan psikologis anak yang kreatif dan produktif.
Ketiga fase phalik, fase ini berlangsung antara usia 3-6 tahun. Pusat dinamika perkembangan pada fase ini berasal pada perasaan-perasaan seksual dan agresif berkaitan dengan mulai berfungsinya organ-organ genital. Selama fase phalik kenikmatan berfokus pada alat kelamin, ketika anak menemukan bahwa manipulasi diri dapat memberikan kenikmatan. Pada fase ini akan muncul Oedipus complex, yaitu dimana anak mengembangkan keinginannya untuk menggantikan orang tua yang berjenis kelamin sama dengannya dan menikmati afeksi dari orang tua yang berbeda jenis kelamin dengannya.
Keempat fase laten, fase ini berlangsung kira-kira antara usia 6 tahun sampai pubertas. Pada fase ini anak menekan semua minat terhadap seks dan mengambangkan keterampilan social dan intelektual. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada masa ini menyalurkan banyak energy kedalam bidang-bidang yang aman secara emosional dan dapat membantu melupakan konflik pada fase phalik.
Kelima fase genital, fase ini berlangsung sejak pubertas sampai seterusnya. Fase genital merupakan masa kebangkitan seksual, sumber kenikmatan seksual berasal dari orang yang berada di luar keluarganya. Fungsi biologis pokok fase genital adalah reproduksi. Pada fase ini seseorang mengalami transformasi dari narsistik menjadi orang dewasa yang memasyarakat dan berorientasi pada kenyataan.
Erik Erikson mengemukakan bahwa perkembangan manusia dapat dibagi kedalam delapan tahap perkembangan. Masing-masing tahap terdiri dari tugas perkembangan yang khas dimana setiap individu akan dihadapkan dengan suatu krisis yang harus dihadapi. Menurut Erikson, krisis ini bukan merupakan suatu masalah, melainkan suati titik balik peningkatan kerentanan dan peningkatan potensi. Bila krisis dapat diatasi dengan baik, maka perkembangan mereka akan baik/sehat. Berikut delapan tahap perkembangan menurut Erikson:
No.
Tahap
Masalah
Keutamaan
1.
Oral, 1-2 tahun
Percaya Versus  Tidak Percaya
Harapan
2.
Anal, 2-3 tahun
Otonomi Versus Malu Dan Ragu-Ragu
Kekuatan kehendak
3.
Genital, 3-5 tahun
Inisiatif Versus Rasa Bersalah
Tujuan
4.
Latensy, 6-pubertas
Usaha Versus Rasa Rendah Diri
Kemampuan
5.
Remaja, 10-20 tahun
Identitas Versus Kebingungan Identitas
Kesetiaan
6.
Pemuda, 20-30 tahun
Intimasi Versus Isolasi
Cinta
7.
Dewasa,40-50tahun
Generativitas Versus Stagnasi
Perhatian
8.
Tua, 60 tahun
Integritas Diri Versus Putus Asa
Kebijaksanaan
Rentang kehidupan manusia yang digambarkan dalam psikologi perkembangan diatas bersifat rendah dan hanya temporer. Kehidupan manusia hanya sebatas pada kehidupan dunia, dari pra natal sampai kematian. Manusia seakan-akan hanya hidup dan mati begitu saja tanpa ada remcana dan /tujuan hidup yang hakiki. Permasalahan yang muncul kemudian adalah bagaimana eksistensi perilaku manusia yang baik dan yang buruk.
Dalam Psikologi Islam, manusia memiliki struktur ruh yang keberadaannya menjadi esensi manusua. Struktur ruh memiliki alam tersendiri, yang disebut alam arwah, yang mana alam tersebut berada diluar dan dalam alam dunia. Alam ruh diluar alam dunia ada kalanya sebelum kehidupan dunia dan ada kalanya sesudahnya. Oleh sebab itu kehidupan manusia meliputi tiga alam besar, yaitu: alam perjanjian, alam dunia dan alam akhirat.
Berdasarkan pemikiran tersebut, periodesasi dalam Psikologi Islam dapat ditentukan sebagai berikut: pertama, Periode Pra-Konsepsi. Yaitu periode perkembangan manusia sebelum masa pembuahan sperma dan ovum. Tugas-tugas perkembangan pada periode ini adalah: 1) mencari pasangan hidup yang baik. Pertimbangkan baik-buruk pasangan hidup berdasarkan 4 aspek, yaitu kecantikan/ketampanan, kekayaan, keturunan, dan agama, 2) segera menikah setelah cukup umur dan telah disepakati oleh berbagai pihak, 3) membangaun keluarga yang damai dan sejahtera diatas prinsip-prinsip cinta kasih dan kasih saying dengan landasan iman dan takwa, 4) selalu berdoa kepada allah agar diberikan keturunan yang baik
Berdasarkan pemikiran tersebut, periodesasi dalam Psikologi Islam, dapat ditentukan sebagai berikut:
1)      Periode pra-konsepsi
Periode perkembangan manusia sebelum masa pembuahan sperma dan ovum. Tugas-tugas perkembangan periode ini yang diperankan oleh orangtua anak adalah
1.      Mencari pasangan hidup yang baik, berdasarkan kecantikan-ketampanan, kekayaan, keturunan dan agama.
2.      Segera menikah dengan sah setelah cukup umur dan disepakati oleh berbagai pihak.
3.      Membangun keluarga yang sakinah, mawaddah dan  rahmah dengan landasan iman dan taqwa.
4.      Selalu berdoa kepada Allah SWT agar diberikan keturunan yang baik terutama ketika memulai persetubuhan.

2)      Periode pra-natal
Periode perkembangan manusia yang dimulai dari pembuahan sperma dan ovum sampai masa kelahiran. Periode ini dibagi 4 fase yaitu
1.Fase nuthfah (zigot) yang dimulai sejak pembuahan sampai usia 40 hari dalam kandungan;
2.Fase ‘alaqah (embrio) selama 40 hari;
3.Fase mughghah (janin) selama 40 hari;
4.Fase peniupan ruh ke dalam janin setelah genap 4 bulan, yang mana janin manusia telah terbentuk secara baik, kemudian ditentukan hukum-hukum perkembangannya seperti masalah-masalah yang berkaitan dengan perilaku (seperti sifat, karakter dan bakat), kekayaan, batas usia dan bahagia-celakanya. Fase tersebut menunjukkan bahwa nyawa kehidupan (al-hayah) telah ada sejak adanya pembuahan, namun ruh baru ditiupkan setelah usia 4 bulan dalam kandungan. Ruh sifatnya substantif (jauhar), sedang nyawa bersifat aksiden (‘aradh).

Tugas-tugas perkembangan yang diperankan orangtua adalah
1.      Memelihara suasana psikologis yang damai dan tentram agar secara psikologis janin dapat berkembang secara normal. Bayi yang dilahirkan dari keluarga broken home akan mewarisi sifat-sifat atau karakter orang tua yang buruk
2.      Senantiasa meningkatkan ibadah dan meninggalkan maksiat, terutama bagi ibu agar janinnya mendapat sinaran cahaya hidayah dari Allah SWT
3.      Berdoa kepada Allah SWT terutama sebelum 4 bulan dalam kandungan, sebab masa-masa itu hukum-hukum perkembangan akan ditetapkan

3)      Periode kelahiran sampai meninggal dunia
Periode ketiga ini memiliki beberapa fase. Ada 3 ayat yang memiliki kaitan dengan periode yaitu Al-Hajj:5, Ar-Ruum:54, Al-Hadid:20
Pada ayat Al-Hajj:5 dan Ar-Ruum:54 menunjukkan bahwa kehidupan dunia terbagi atas 3 fase, yaitu
1.      Fase kanak-kanak atau fase dimana kondisi seseorang masih lemah (karena bayi atau anak-anak)
2.      Fase baligh atau fase dimana kondisi seseorang menjadi dewasa dan kuat
3.      Fase usia lanjut yang secara psikologis ditandai dengan kepikunan dan secara biologis ditandai dengan rambut beruban dan kondisi tubuh yang lemah

Sementara ayat Al-Hadid:20 menunjukkan 5 fase kehidupan dunia yaitu
1.      Fase permainan (la’ib) dimulai post natal sampai sekitar 5 tahun. Pada fase ini, anak hanyalah barang permainan (la’ib) yang dimainkan oleh orang dewasa. Ia tidak memiliki inisiatif hidup, melainkan sekedar mengikuti naluri atau insting hidup.
2.      Fase main-main (lahw), dimulai sekitar usia 6 tahun sampai usia 13 tahun. Pada fase ini, kehidupan manusia adalah untuk main-main untuk kesenangan semata, tanpa memiliki tujuan yang hakiki
3.      Menghias dan mempercantik diri, dimulai usia 14 tahun sampai 24 tahun. Pada fase ini, hidup adalah untuk mempercantik diri karena masa pubernya mulai tumbuh. Ia tidak lagi memikirkan dirinya, tetapi bagaimana ia dapat memiliki dan diakui orang lain.
4.      Bermegah-megahan dimulai sekitar usia 25 tahun sampai 39 tahun. Pada fase ini, kecenderungan seseorang adalah bermegah-megahan terhadap apa yang telah dirintis dari fase sebelumnya seperti gelar akademik, pekerjaan, dan peran di dalam masyarakat
5.      Memperbanyak dan menikmati harta dan anak, dimulai fase sekitar usia 40 sampai meninggal dunia
Dua ayat pertama lebih melihat kepada perkembangan manusia dari sudut bagaimana seharusnya, sehingga menentukan perkembangan manusia menurut ukuran mampu-tidaknya menerima taklif (beban kewajiban religius). Fase-fase yang dikemukakan masih global sehingga terkesan Islam melupakan fase terpenting dari perkembangan kehidupan manusia yaitu fase remaja. Sedangkan ayat ketiga lebih melihat perkembangan manusia menurut ukuran perkembangan psikis manusia. Fase-fase yang dikemukakan hampir mirip dengan fase-fase yang dikemukakan dalam Psikologi Kontemporer.
Diperoleh kesimpulan bahwa fase-fase perkembangan pada periode ketiga ini adalah
1. Fase neonatus dimulai kelahiran sampai kira-kira minggu keempat. Tugas perkembangan yang dilakukan orangtua adalah
a.       Membacakan azan di telinga kanan dan membacakan iqomah di telingan kiri ketika anak baru dilahirkan. Hal itu dilakukan agar bayi selalu ingat akan perjanjian di alam primordial, juga agar suara pertama kali yang didengar dan direkam dalam memori bayi tidak lain hanyalah kalimat-kalimat yang indah, yang memuat pengagungan dan mengesakan Allah, pengakuan kerasulan Muhammad serta ajakan sholah agar menjadi orang yang beruntung
b.      Memotong akikah, 2 kambing untuk bayi laki-laki dan 1 kambing untuk bayi perempuan. Pemotongan ini bertujuan ucapan syukur kepada Allah juga sebagai lambang atau simbol pengorbanan dan kepedulian sang orang tua terhadap kelahiran bayinya agar anak menjadi anak yang sholeh/sholehah.
c.       Memberi nama yang baik yaitu nama yang secara psikologis mengingatkan atau berkorelasi dengan perilaku baik misalnya nama asmaul husna, nama-nama Nabi, nama-nama sahabat, nama-nama orang yang sholeh, dll.
d.      Membiasakan hidup yang bersih dan suci
e.       Memberikan ASI selama 2 tahun. ASI yang mengandung gizi yang sesuai dengan kebutuhan bayi, juga sebagai pelekat hubungan antara ibu dan anak.
2. Fase kanak-kanak (al-thifl) yaitu fase yang dimulai usia sebulan sampai usia sekitar 7 tahun. Tugas-tugas perkembangan adalah
a.       Pertumbuhan potensi indera-indera dan psikologis seperti pendengaran, penglihatan dan hati nurani. Tugas orangtua adalah bagaimana mampu merangsang pertumbuhan berbagai potensi tesebut agar anaknya mampu berkembang secara maksimal
b.      Mempersiapkan diri dengan cara membiasakan dan melatih hidup yang baik, seperti dalam berbicara, makan, bergaul, penyesuaian diri dengan lingkungan dan berperilaku. Pembiasaan ini terutama pada aspek-aspek afektif (al-infi’ali) sebab jika aspek ini tidak dibiasakan sedini mungkin maka ketika masa dewasanya akan sulit dilakukan
c.       Pengenalan aspek-aspek doktrinal agama, terutama yang berkaitan dengan keimanan.
3. Fase tamyiz yaitu fase dimana anak mulai mampu membedakan yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah. Fase ini dimulai usia sekitar 7 tahun-12/13 tahun. Tugas-tugas perkembangannya adalah
a.       Perubahan persepsi kongkrit menuju persepsi abstrak, misalnya persepsi mengenai ide-ide ketuhanan, alam akhirat dan sebagainya.
b.      Perkembangan ajaran-ajaran  normatif agama melalui institusi sekolah, baik yang berkenaan dengan aspek kognitif afektif maupun psikomotorik. Nabi Muhammad SAW memerintahkan kepada orangtua untuk mendidik anaknya sholat. Ketika 10 tahun, tingkat kesadaran anak akan perbuatan baik dan buruk, benar dan salah mendekati sempurna sehingga Nabi memerintahkan orangtua untuk memukul anaknya yang meninggalkan sholat. Memukul disini bukan memukul kepala atau anggota tubuh tetapi menggugah kesadaran atau menjatuhkan harga dirinya.
4.  Fase baligh yaitu fase dimana usia anak telah sampai dewasa. Usia ini anak memiliki kesadaran penuh akan dirinya sehingga ia diberi tanggung jawab terutama tanggung jawab agama dan sosial. Menurut Ikhwan Al-Shafa, periode ini disebut dengan alam al tsani (alam pertunjukkan kedua) dimana manusia dituntut untuk mengaktualisasikan perjanjian yang pernah disepakati pada alam al-ardh al-awal (alam pertunjukkan pertama) yaitu alam arwah. Sedangkan Al-Ghazali menyebutnya dengan fase ‘aqil, fase dimana tingkat inteletual seseorang dalam kondisi puncaknya sehingga ia mampu membedakan perilaku yang benar dan salah, baik dan buruk. Kondisi aqil menjadi salah satu syarat wajib bagi seseorang untuk menerima suatu beban agama sementara kondisi gila (junun) menjadi penghalang bagi penerimaan kewajiban agama.
Tugas-tugas perkembangan pada fase ini aadalah
a.       Memahami segalaa titah Allah SWT, dengan memperdalam ilmu pengetahuan (QS Al-Isra’:36, At-Taubah: 122)
b.      Menginternalisasikan keimanan dan pengetahuannya dalam tingkah laku nyata, baik yang berhubungan dengan diri sendiri, keluarga, komunitas sosial, alam semesta maupun Tuhan
c.       Memiliki kesediaan untuk mempertanggun jawabkan apa yang diperbuat, sebab pada fase ini seseorang telah memiliki kesadaran dan kebebasan penuh terhadap apa yang dilakukan (QS: Al-Isra:36)
d.      Membentengi diri dari segala perbuatan maksiat dan mengisi diri dengan perbuatan baik sebab pada masa puber merupakan masa dimana dorongan erotis mulai tumbuh dan berkembang dengan pesat..
5. Fase kearifan atau fase kebijaksanaan. Dalam fase ini dimana seseorang memiliki tingkat kesadaran dan kecerdasan emosi, moral, spiritual, dan agama secara mendalam. Al-Ghazali menyebutnya sebagai fase auliya’ wa anbiya dimana seseorang memang dituntut berperilaku seperti erilaku yang diperankan oleh para nabi dan kekasih Allah SWT. Fase ini dimulai pada usia 40 tahun, seperti layaknya Nabi Muhammad SAW yang mendapatkan kerasulannya pada usia tersebut.
Tugas-tugas pada fase ini yaitu:
1.      Transinternalisasi tugas Rasulullah, yaitu jujur (shidiq), dapat dipercaya bila diberi kebenaran (amanah), menyampaikan kebenaran (tabligh), serta memiliki kecerdasan spiritual (fatanah)
2.      Meningkatkan kesadarannya dalam peran social dengan niatan amal shaleh
3.      Semakin dekat dan takwa  kepada Allah SWT (taqarrub), yaitu dengan perluasan diri melalui pengamalan ibadah-ibadah sunah.
4.      Mempesiapkan diri sebaik mungkin menghadapi kematian.
Jika dalam fase ini seseorang tidak melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain dan Tuhannya, maka ia akan menyesal karena saat menemui ajal ia akan menyadari bahwa ia telah menyia-nyiakan waktunya. Nabi SAW tidak hanya mengajarkan seseorang untuk meminta dipanjangkan umurnya, namun yang terpenting adalah bagaimana mempergunakan umur yang telah diberikan oleh Allah SWT dengan sebaik-baiknya.
6. Fase kematian, yaitu dimana saat jasad manusia telah dipisahkan dari nyawanya. Hal ini menandakan bahwa jasad dan ruh manusia telah berpisah. Kematian ada yang disebabkan karena batas kehidupan (ajal) yang telah tiba, sehingga meninggal tanpa sebab apapun jika memang ajal telah tiba (QS.al-A’raf:34, Yunus:49, al-Nahl:61). Ada pula kematian yang disebabkan karena organ-organ fisik yang vital rusak atau terputus, seperti sakit, dibunuh, bunuh diri, dll (QS.al-Maidah:106, an-Nisa:29, al-An’am:151, al-Isra’:31,33).
Tugas-tugas pada fase ini yaitu:
1.      Memberikan wasiat kepada kelarga jika ada urusan yang belum terselesaikan, seperti hutang, harta yang ingin diwakafkan, dan sebagainya (perhatikan QS.al-Nisa:11-12)
2.      Tidak mengingat apapun kecuali berdzikir kepada Allah SWT
3.      Mendengarkan secara seksama talqin yang dibacakan keluarganya serta menirukannya.
4.      Bagi orang yang hidup maka diwajibkan untuk memandikan, menshalati, serta mengkafani mayatnya.
Bagi orang mukmin, fase ini merupakan awal untuk mendapatkan kebahagiaan yang hakiki. Kematian merupakan pintu masuk bagi kebahagiaan ruh yang sesungguhnya. Dan jika memag selama kehidupan ia telah melakukan berbagai macam kebaikan serta menjauhi larangan Allah SWT, maka insyaAllah yang dicapai adalah husn al-khatimah (baik akhir hidupnya). Berbeda dengan mereka yang ingkar, setelah mengalami naza’ (awal pencabutan oleh Malaikat Izrail), merupakan fase permulaan siksa, dengan adanya sakrah al-maut (kesulitan/kesakitan dalam menghadapi kematian).
Alam terakhir dari perkembangan manusa adalah alam akhirat. Dimulai dari kematian manusia, sampai tiba saatnya kiamat. Alam ini memiliki beberapa periode:
1.      Periode tiupan sangkakala dan kebangkitan yang disebut dengan yawn ba’ats.
2.      Periode yawn al-hasyr, dimana mereka dikumpulkan di padang Mahsyar. Semua manusia yang baur bangkit  dikumpulkan di padang Mahsyar, dimana saat itu yang terpenting adalah urusan sendiri sehingga tidak ada yang memperdulikan oorang lain, termasuk keluarganya sendiri.
3.      Periode perhitungan amal dengan mizan. Sekecil apapun perbuatan baik akan diperhitungkan dan berbuah surga, begitupun sebaliknya, perbuatan buruk dan ingkar tempatnya adalah di neraka. Dalam perhitungan ini yang berbicara bukanlah lagi mulut manusia, melainkan tangan, kaki serta indera lainnya yang akan bersaksi mengenai segala perbuatan manusia di dunia, sungguh perhitungannya sangat adil.
4.      Periode melewati titian (shirath). Bagi orang yang amalannya baik maka ia akan mampu melewatinya secepat kilat, namun jika amalannya buruk maka ia akan tercebur ke api neraka.

III. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan
A.    Aliran Nativisme
            Aliran nativisme adalah suatu aliran yang menitikberatkan pandangannya pada peranan sifat bawaan, keturunan dan kebakatan sebagai penentu perkembangan tingkah laku seseorang. 1 Aliran Nativisme memandang hereditas sebagai penentu tingkah laku. (Suryabrata,1984) Aliran nativisme berasal dari kata natus (lahir); nativis (pembawaan) yang ajarannya memandang manusia (anak manusia) sejak lahir telah membawa sesuatu kekuatan yang disebut potensi (dasar).
            Asumsi yang mendasari aliran ini adalah bahwa pada diri anak dan orangtua terdapat banyak persamaan, baik fisik maupun psikis. Gen adalah butiran kecil yang terdapat di dalam sel-sel kelamin manusia yang dopindahkan dari orangtua atau nenek moyang kepada keturunannya dan merupakan sifat-sifat yang diwariskan.
            Seorang anak berkemungkinan memiliki sifat yang tidak ditemukan pada sifat orangtuanya, tetapi ditemukan dari sifat nenek moyangnya. Aliran ini dipelopori oleh Arthur Scopenhauer (1788-1860) seorang psikolog berkebangsaan Jerman. Aliran ini didukung oleh Frans Joseph Gall (1785-1828).
Manshur Ali Rajab menyebutkan bahwa ada lima macam yang dapat diwariskan dari orangtua kepada anaknya, yaitu:
y       Pewarisan yang bersifat jasmaniah : seperti warna kulit, bentuk tubuh yang jangkung atau cebol, sifat rambut dan sebagainya.
y       Pewarisan yang bersifat intelektual : seperti kecerdasan dan kebodohan.
y       Pewarisan yang bersifat tingkah laku : seperti tingkah laku terpuji atau tercela, lemah lembut atau keras kepala, taat atau durhaka.
y       Pewarisan yang bersifat alamiah : pewarisan internal yang dibawa sejak kelahiran anak tanpa pengaruh dari faktor eksternal.
y       Pewarisan yang bersifat sosiologis : pewarisan yang dipengaruhi oleh faktor eksternal.
Aliran ini dipandang sebagai aliran pesimistik dan deterministic (mengingkari kehendak bebas) yang melihat manusia ibarat robot. Hukum deterministic yang dikembangkan dalam aliran ini hanya terbatas, yaitu pengaruh hereditas. Tingkah laku manusia harus menyerah pada hukum kewarisan yang diwarisi dari orangtua. Telah dipahami bahwa aliran nativisme yang dikembangkan dalam Psikologi Barat sebenarnya masih dangkal, karena bercorak antroposentris (Antroposentrisme menganggap manusia sebagai pusat dunia, karenanya merasa cukup dengan dirinya sendiri. Manusia antroposentris merasa menjadi penguasa bagi dirinya sendiri. Tidak hanya itu, ia pun bertindak lebih jauh, ia ingin menjadi penguasa bagi yang lain. Alam raya pun lalu menjadi sasaran nafsu berkuasanya yang semakin lama semakin tak terkendali.).
Jadi, aliran nativisme itu sebenarnya masih identic dengan aliran empirisme. Nativisme menitikberatkan penentuan tingkah laku dari sudut lingkungan sebelum anak dilahirkan, sedangkan Empirisme setelah anak dilahirkan. Kesimpulan itu relevan dengan pendapat Manshur Ali Rajab, bahwa pengaruh lingkungan itu ada yang bersifat langsung (direct) dan ada juga yang tidak bersifat tidak langsung (indirect). Pengaruh lingkungan yang bersifat langsungditentukan oleh teori Empirisme, sedang pengaruh lingkungan yang tidak langsung ditentukan oleh teori Nativisme.

B.     Aliran Empirisme
(Mujib &Mudzakir, 2002) Aliran Empirisme disebut juga aliran Environmentalisme, yaitu suatu aliran yang menitikberatkan pandangannya pada peranan lingkungan sebagai penentu perubahan tingkah laku. Aliran ini dipelopori oleh filosofis kebangsaan Inggris, yaitu John Locke (1632-1704)yang kemudian dikembangkan oleh George Berkeky (1685-1753) dalam bukunya New Theory of Vision; David Hume (1711-1776) yang meloporkan paham Asosiasionisme.
Asumsi psikologis yang mendasari aliran ini ialah bahwa manusia lahir dalam keadaan netral, tidak memiliki pembawaan apapun. Ia bagaikan kertas putih (tabula rasa) yang bisa ditulis apa saja yang diinginkan. Tingkah laku terbentuk dari luar yaitu oleh lingkungan. Bayi memiliki kecenderungan yang sama dengan bayi yang lain. Dia akan menyusu jika bibirnya bersentuhan dengan puting susu, dia akan menangis jika lapar, sakit dan haus. Jadi, bayi itu semuanya dalam keadaan kosong, yang membedakan adalah tingkah laku yang muncul setelah dipengaruhi lingkungan selama proses kehidupannya. 
Lingkungan terdiri dari lima aspek, yaitu:
y       Lingkungan Geografis, yaitu lingkungan yang ditentukan oleh letak wilayah seperti dataran, pegunungan dan pesisir pantai; kondisi iklim di gunung sahara, tropic, sedang dan salju; sumber penghasilan seperti wilayah industry, pertanian, pertambangan dan perminyakan.
y       Lingkungan Historis, yaitu lingkungan yang ditentukan oleh ciri suatu masa atau era dengan segala perkembangan peradabannya.
y       Lingkungan Sosiologis, yaitu lingkungan yang ditentukan oleh hubungan antar individu dalam suatu komunitas social. Hubungan ini selalu dikaitkan dengan tradisi, nilai-nilai, peraturan dan undang-undang.
y       Lingkungan Kultural, yaitu lingkungan yang ditentukan oleh kultur masyarakat. Kultur ini meliputi cara berpikir, bertindan, berperasaan dan sebagainya.
y       Lingkungan Psikologis, yaitu lingkungan yang ditenttukan oleh kondisi kejiwaan, seperti kondisi rasa tanggung jawab, toleransi, kesadaran, keamanan, kesadaran, kesejahteraan dan lain sebagainya.
            Aliran Empirisme dikenal sebagai aliran Optimistik dan Positivistik. Karena anggapannya bahwa suatu tingkah laku akan menjadi baik apabila dirangsang oleh usaha-usaha nyata. Perkembangan tingkah laku manusia bukanlah seperti robot yang diprogram secara deterministic, apalagi menyerah pada pembawaan nasibnya.
            Melalui teori belajar, tingkah laku dapat dimodifikasi dan dibentuk sesuai dengan yang diinginkan. Tetapi satu hal yang tidak mampu dijelaskan oleh teori ini adalah adanya tingkah laku yang berada di luar kesadaran. Tingkah laku itu muncul secara tiba-tiba dan tidak ads pengaruh dari lingkungan., bersifat abstrak dan sulit diprediksi. Dan inilah menjadi kelemahan teori belajar karena tidak mampu menjelaskannya.
            Pada aliran Empirisme, teori-teori yang banyak dijelaskan bermula pada eksperimen melalui hewan. Seperti pada kucing, tikus, anjing maupun monyet. Misalnya, ada dua ekor tikus, yang satu diberikan makanan bergizi dan ditempatkan di tempat yang diputar music. Sedangkan satu ekor lagi diberikan makan apa adanya dan ditempatkan di tempat yang gersang. Setelah melewati beberapa tahun, kedua ekor tikus itu memiliki karakter yang berbeda. Tikus yang diberi makan yang bergizi dan di tempat yang baik lebih cerdas, disbanding tikus yang diberi makan apa adanya. Dan setelah dibunuh dan dibedah pun kedua tikus itu memiliki struktur syaraf yang berbeda. Pada tikus yang cerdas, memiliki struktur syaraf yang lebih kompleks daripada tikus yang satunya.
            Para Psikolog yang menggunakan obyek penelitian pada hewan bukannya tidak memiliki alasan. Karena para psikolog tidak mungkin menggunakan manusia sebagai eksperimennya, karena menyalahi prinsip kemerdekaan dan kebebasan hidup manusia. Karena jika dipaksakan mengguunakan manusia, maka akan terjadi yang disebut “dehumanisasi”.
C. Aliran Konvergensi
Teori ini merupakan gabungan dari teori nativisme dan empirisme yang menyatakan bahwa pembawaan dan pengalaman memiliki peranan dalam mempengaruhi dan menentukan perkembangan individu. Asumsi teori ini berdasar eksperimen dari William Stern terhadap dua anak kembar. Anak kembar memiliki sifat keturunan yang sama, namun setelah dipisahkan dalam lingkungan yang berbeda anak kembar tersebut ternyata memiliki sifat yang berbeda. Dari sinilah maka teori ini menyimpulkan bahwa sifat keturunan atau pembawaan bukanlah faktor mayor yang menentukan perkembangan individu tapi turut juga disokong oleh faktor lingkungan. Faktor pembawaan manusia dalam teori ini disebut sebagai faktor endogen yang meliputi faktor kejasmanian seperti kulit putih, rambut keriting, rambut warna hitam. Selain faktor kejasmanian faktor ada juga faktor pembawaan psikologis yang disebut dengan temperamen. Temperamen berbeda dengan karakter atau watak. Karakter atau watak adalah keseluruhan dari sifat manusia yang namapak dalam perilaku sehari-hari sebagai hasil dari pembawaan dan lingkungan dan bersifat tidak konstan. Jika watak atau karakter bersifat tidak konstan maka temperamen bersifat konstan. Selain temperamen dan sifat jasmani, faktor endogen lainnya yang ada pada diri manusia adalah faktor bakat (aptitude). Aptitude adalah potensi-potensi yang memungkinkan individu berkembang ke satu arah.
Untuk faktor lingkungan yang dimaksud dalam teori ini disebut sebagai faktor eksogen yaitu faktor yang datang dari luar diri manusia berupa pengalaman, alam sekitar, pendidikan dan sebagainya yang populer disebut sebagai milieu. Perbedaan antara lingkungan dengan pendidikan adalah terletak pada keaktifan proses yang dijalankan. Bila lingkungan bersifat pasif tidak memaksa bergantung pada individu apakah mau menggunakan kesempatan dan manfaat yang ada atau tidak. Sedangkan pendidikan bersifat aktif dan sistematis serta dijalankan penuh kesadaran.
Aliran Konvergensi dipelopori oleh Wlliam Stern (1871-1939), ia berpedapat bahwa seorang anak dilahirkan di dunia sudah disertai pembawaan baik maupun pembawaan buruk. Proses perkembangan anak, baik faktor pembawaan maupun faktor lingkungan sama sama mempunyai peranan sangat penting. Bakat yang dibawa pada waktu lahir tidak akan berkembang dengan baik tanpa adanya dukungan lingkungan sesuai untuk perkembangan anak itu. Kedua-duanya (pembawaan dan lingkungan) mempunyai pengaruh yang sama besar bagi perkembangan anak. Pendapat ini untuk pertama kalinya dikemukakan oleh William Stern.
Manusia lahir dengan ‘perbekalan’ agar dia nantinya mampu hidup dengan baik serta mampu untuk mengembangkan segala potensi yang dimilikinya. Namun apabila tidak diimbangi dan didukung dengan lingkungan yang sesuai, maka hal tersebut tidaklah bisa terjadi.
Aliran konvergensi meskipun dapat menjembatani dan memberikan sintesis antara aliran nativisme dan empirisme, namun sebenarnya aliran ini tidak memiliki kerangka filosofis tersendiri tentang hakikat manusia. Ia tiba-tiba muncul dan menetralisir antara kedua belah pihak yang bertentangan. Aabila dugaan ini benar, berarti keunggulan yang terdapat pada aliran ini mesti disertai dengan kelemahan-kelemahan yang dimiliki kedua aliran di atas, sebab ia hanya mengkonvergensikan teori tanpa mengkaji ulang konstruksi filosofisnya.
Konsep Psikologi Islam yang disumsikan dari struktur nafsani tidak lantas menerima ketiga aliran tersebut. Disamping terdapat kelemahan-kelemahan, ketiga aliran tersebut hanya mengorientasikan teorinya pada pola piker antroposentris. Artinya, perkembangan kepribadian manusia seakan-akan hanya dipengaruhi oleh factor manusiawi. Manusia dalam pandangan Psikologi Islam telah memiliki seperangkat potensi, disposisi, dan karakter unik. Potensi itu paling tidak mencakup keimanan, ketauhidan, keislaman, keselamatan, keikhlasan, kesucian, kecenderungan, menerima kebenaran dan kebaikan, dan sifat baik lainnya. Semua potensi itu bukan diturunkn dari orang tua, melainkan diberikan oleh Allah Swt. sejak di alam perjanjian (mitsq). Proses pemberian potensi-potensi itu melalui struktur rohani. Oleh sebab itu, maka struktur ruhani disebut juga fitrah al-munazzalah (yang diturunkan). Jadi secara potensial, kondisi kejiwaan manusia tidak netral, apalagi kosong seperti kertas putih, namun secara actual manusia tidak memiliki kebaikan atau keburukan yang diwarisi, kebaikan dan keburukan sangat bergantung pada realisasi dirinya.
Factor hereditas boleh menjadi salah satu factor perkembangan. Hal itu diisyaratkan dalam hadits nabi bahwa pemilihan jodoh itu harus dilihat dari empat segi, yaitu harta, keturunan, kecantikan dan agama. Nabi kemudian menganjurkan untuk memilih agamanya agar kelak rumah tangganya menjadi bahagia dan selamat. Hadits ini menunjukkan pentingnya factor hereditas dalam perkembangan anak, sehingga jauh-jauh sebelumnya ia telah memilih garis keturunan yang baik, agar anaknya nanti memiliki bawaan yang baik pula.
Demikian juga Psikologi Islam mengakui adanya peran lingkungan dalam penentuan perkembangan. Pengakuan ini bukan berarti mengabaikan factor keturunan dan perbedaan individu. Banyak ayat al-Quran yang menjelaskan tentang peran lingkungan. Misalnya seruan amar makruf dan nahi mungkar (Q.S. Ali Imran: 104,110,114), belajar menuntut ilmu agama kemudian mendakwakan untuk orang lain (Q.S. al-Taubah: 122), seruan kepada orang tua agar memelihara keluarganya dari tingkah laku yang memasukkan ke dalam neraka (Q.S. al-Tahrim: 6), seruan melaksanakan shalat dan sabar, serta seruan melakukan tilawah, tazkiyah dan belajar kitab atau hikmah (Q.S. Thaha: 132, al-Baqarah: 151).
Satu lagi factor penentu perkembangan manusia yang sangat ditonjolkan dalam psikologi Islam, yaitu factor-faktor bawaan yang merupaka sunnah atau taqdir Allah untuk manusia. Misalnya bawaan memikul amanah (QS. Al-Ahzab: 72), bawaan menjadi khalifah di muka bumi (QS. Al-Baqarah: 30), bawaan menjadi hamba Allah agar selalu beribadah kepada-Nya (QS. Al-Zariyat: 56), bawaan untuk mentauhidkan Allah Swt. (QS. Al-A’raf: 172). Dan juga factor-faktor perbedaan individu, misalnya perbedaan karunia yang diberikan (QS. An-Nisa: 32), perbedaan kemampuan dan status (QS. Hud: 93, al-An’am: 152, al-baqarah: 286), perbedaan bakat, minat, dan watak (QS. Al-Isra: 84), perbedaan jenis kelamin, bangsa dan Negara (QS. Al-Hujurat: 13), perbedaan bahasa dan warna kulit (QS. Al-Rum: 22).
Diskursus Psikologi Perkembangan Islam, sebagaimana yang berkembang di dalam tradisi ilmu-ilmu keislaman klasik (terutama disiplin teologi), lebih banyak menyoroti siapa yang memiliki otoritas dalam menciptakan perkembangan tingkah laku, bukan lagi mempermasalahkan factor apa yang mempengaruhi perkembangannya. Permasalahan tersebut dijawab oleh dua paham besar, yaitu:
Pertama, paham Jabar. Jabar secara harfiah berarti memaksa. Sedang arti istilahnya adalah suatu paham yang meyakini bahwa perkembangan tingkah laku itu berasal dari ciptaan Allah Swt. Allah adalah Zat yang menciptakan potensi sekaligus menciptakan perkembangan tingkah laku manusia. Penciptaan ini mengenai ketentuan baik-buruk, bahagia-celaka, kaya-miskin, batas kematian, jodoh, dan sebagainya.
Alas an yang mendukung paham ini adalah (1) adanya sejumlah ayat-ayat Al-Quran yang mengisyaratkan kehendak mutlak Allah Swt. dalam menentukan tingkah laku manusia; (2) Allah memiliki power (qudrah) dan kehendak (iradah) yang mutlak. Apabila Allah tidak menciptakan tingkah laku manusia berarti sifat Khaliq-nya tidak sempurna; (3) apabila manusia memiliki kemampuan untuk bertingkah laku berarti kekuatan Allah memiliki perserikatan dengan kemampuan manusia; (4) Allah telah mengatur semua urusan manusia di zaman azali; (5) setiap kehidupan yang temporal sangat bergantung pada yang mutlak. Tingkah laku manusia merupakan sesuatu yang mutlak. Berdasarkan alas an di atas maka tingkah laku manusia sesungguhnya merupakan ciptaan dan bawaan dari Allah Swt. semata.
Kedua, paham Qadar. Paham ini berkeyakinan bahwa perkembangan tingkah laku itu diciptakan dan diusahakan oleh manusia sendiri. Manusia memiliki kemampuan (qudrah) dan kehendak (iradah) penuh untuk menciptakan tingkah lakunya. Iradat dan kudrat Allah telah dilimpahkan (tafwid) kepada manusia melalui penciptaan potensi dan daya bawaan. Dengan potensi dan daya bawaan itu manusia mampu bertingkah laku apa saja yang ia kehendaki.
Alasan yang mendukung paham ini adalah (1) adanya ayat-ayat al-Quran yang mengisyaratkan kebebasab kehendak (al-burriyat al-iradat) manusia; (2) Allah Maha Adil. Dia tidak akan menganiaya manusia. Mungkinkah Allah menentukan perkembangan tingkah laku manusia kemudian menghakiminya? Apakah penciptaan tingkah laku buruk-Nya itu dilimpahkan kesalahan pada manusia? Jawabannya tentu tidak; (3) Allah memberikan taklif (beban melakukan kewajiban), mengutus rasul, memberi hidayah agama dan wahyu, selanjutnya manusia diserukan untuk mengikutinya. Jika tidak ada kebebasan berarti semuanya itu sia-sia.
Kedua paham tersebut sebenarnya tidak perlu dipertentangkan melainkan harus dikonvergensikan. Masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahan tersendiri. Kelebihan paham yang satu untuk menutupi kelemahan paham yang lain. Sebaliknya kelemahan yang satu dapat ditutupi dengan kelebihan yang lain.
D. Ibnu Thufail dan Teori Perkembangannya
Ibnu Thufail (lahir 1110 M.) seorang psikolog-spekulatif telah menulis karya roman filosofis. Judul karya yang monumental itu adalah Hayy ibnu Yaqzhan. Dalam karyanya, ia menceritakan perkembangan seorang anak di kepulauan India. Nama anak itu adalah Hayy ibnu Yaqzhan. Asal usul anak ini kurang jelas. Konon ia adalah anak yang diciptakan dari kudrat dan iradat Allah secara langsung dari tanah. Versi lain dikatakan, bahwa anak itu lahir dari pasangan yang menikah secara rahasia. Buku ini dianggap orang sebagai ciri khas filsafat Ibnu Thufail. Ringkasan isi buku itu dapat kita ceritakan sebagai berikut:
Tersebutlah konon, sebuah pulau di Khatulistiwa yang tanahnya amat subur yang bukan saja tumbuh-tumbuhan dan hewan dapat hidup dengan baik, tetapi juga seorang anak manusia tanpa pemeliharaan ibu-bapaknya akan dapat tumbuh dan berkembang dengan makmur.
Kemudian tersebut pula tentang lahirnya seorang anak manusia dari perkawinan yang memalukan. Orang tua anak itu telah melemparkannya ke laut. Akan tetapi, nasib membawa anak itu terdampar ke tepi pulau yang subur itu. Seekor kijang kemudian menyusui dan menghidupinya hingga besar. Anak itu oleh Ibnu Thufail diberi nama Hay bin Yaqadhan.
Penghidupan Hay kemudian berkembang mengikuti masyarakat yang amat primitive itu mulai dari langkahnya yang pertama. Dilihatnya semua hewan tertutup auratnya dengan kulit dan bulu. Lalu ditirunya. Diambilnya bulu-bulu burung dan daun-daun kayu guna menutup aurat.
Pada suatu hari terlihat oleh Hay terjadi kebakaran di pulau itu. Api itu diambilnya, lalu dinyalakannya kayu terus menerus. Dengan api itu dicobanya membakar burung, lalu terasalah baginya makanan yang lebih lezat setelah dimasak itu. Dia mulai berburu hewan guna dimasak dan dimakan. Guna teman berburu itu lalu dipeliharanya seekor anjing. Makanan yang berlebih disimpan untuk hari berikutnya. Dengan ini timbullah peradabannya yang pertama. Pada suatu hari kijang yang mengasuhnya sejak kecil sakit dan makin hari makin lemah, akhirnya tidak bergerak lagi, yaitu mati. Di samping susah, Hay menjadi heran, sebab belum pernah dia melihat seekor hewan mati dengan sendirinya tanpa pembunuhan. Akhirnya Hay mulai memikirkan sungguh-sungguh mengapa ada peristiwa kematian itu. Kemudian badan kijang itu dioperasinya, diperiksanya kalau-kalau ada anggotanya yang rusak. Ternyata semua masih lengkap, dan akhirnya Hay mengerti bahwa sebab kematian itu berada di luar badannya. Dia bertanya, Siapakah yang berkuasa di luar badannya itu? Dengan ini sampailah pemikiran Hay pengakuan ketuhanan. Dia percaya kepada Tuhan, dan dia juga tidak lagi mementingkan benar soal makan sebab akhirnya dia juga akan mati.
Selain itu tersebut pula sebuah pulau lain yang lebih besar dan berpenduduk banyak. Disana manusia hidup hanya mementingkan keduniaan dan berfoya-foya saja. Karena penghidupan maksiat itu, seorang penduduknya yang alim mengasingkan diri dari pulau maksiat itu, lalu melarikan diri ke pulau tempat Hay tinggal.
Di sana dia berjumpa dengan Hay. Setelah dia mengajari Hay tutur bahasa manusia, maka mereka berdua pun mengadakan tukar pikiran. Di sinilah Ibnu Thufail menggambarkan bagaimana alam pikiran Hay yang berkembang sendiri itu dapat saja sesuai pendapatnya dengan alam pikiran si alim yang terpelajar dari masyarakat ramai itu.
Suatu waktu keduanya meninggalkan pulau terasing itu dan mengembara ke sebuah kota yang ramai. Di sana keduanya mengajari orang banyak agar mereka menjauhi dunia. Di tengah masyarakat ramai ini Hay malihat bagaimana manusia hidup berfoya-foya dan mengejar kekayaan semata-mata. Mula-mula Hay mengkritik system zakat yang dianggapnya menyebabkan orang  berlomba-lomba mengejar kekayaan. Akan tetapi, kritik Hay ini dibantah oleh temannya bahwa zakat itu malahan yang menuntun orang banyak itu. Kekayaan mereka diatur oleh agama untuk kebahagiaan orang-orang miskin.
Hay kemudian mengerti maksud agama yang menuntun langsung cara praktis fitrah dan keselamatan orang banyak itu. Akhirnya dalam buku ini dikatakan bagaimana Hay dan temannya pulang kembali ke pulau tempat mereka mengasingkan diri hingga meninggal.
Hayy tumbuh sebagaimana lazimnya manusia biasa. Perkembangan kepribadiannya dilalui melalui tujuh fase:
Fase pertama: usia bayi sampai usia 7 tahun Hay disusui dan  dipelihara seekor kijang, hingga ia dapat belajar tindak tanduk dan bahasa hewan sekelilingnya. Ia mulai menutupi tubuhnya, membuat tempat berteduh, dan mempersenjatai dirinya. Bahkan, ia mulai menyimpan bahan makanan untuk persiapan.
Fase kedua: kijang yang memeliharanya mati. Hay berusaha untuk mengetahui penyebab kematian kijang ini dan kematian binatang-binatang lainnya. Hasil penyelidikannya menyimpulkan adanya jiwa (roh) yang merupakan daya sentral dan bersifat immateri. Jiwa tersebut berfungsi sebagai penggerak jasad binatang-binatang. Hay menemukan hal itu setelah melakukan pembedahan terhadap mayat-mayat binatang. Pada tahap ini pula ia mengetahui fungsi setiap anggota badan dan daya yang menggerakkannya.
Fase ketiga: Hay mulai mengetahui api, kegunaan dan sumbernya. Dan pemikirannya tentang itu, ia sampai kepada kesimpulan tentang adanya kausalitas yang menyebabkan adanya tertib alam dan akal budi.
Fase keempat:  usia 28 tahun Hay mulai mengetahui kesatuan dan keberagaman pada jasad dan jiwa yang telah diamatinya. Pada tahap ini, ia telah sampai kepada generalisasi dan klasifikasi berdasarkan kesatuan dan keberagaman itu.
Fase kelima: Hay melihat ke atas dan memperhatikan benda-benda langit. Dari pengamatannya itu ia mengetahui astronomi. Namun, yang lebih penting lagi, dengan melihat ketertiban dan keteraturan serta pergerakan dan perubahannya, ia memikirkan kesamaan dengan bumi atau makhluk bumi dan menyimpulkan kepastian adanya pergerak tertentu yang sama untuk semuanya.
Fase keenam:  usia 28 tahun Hay menegaskan bahwa perbedaan perjalanan antara jasad yang materi dengan jiwa yang immateri di samping menemukan kepastian adanya pengerak yang disebut wajib al-wujud. Menurutnya asal alam materi itu tidak mungkin materi lagi. Karena jika demikian, tentulah ada rangkaian materi yang tidak pernah berujung (tasalsul). Jadi, asal pertama ini haruslah immateri dan wajib al-wujud. Jasad itu berbeda perjalanannya dengan jiwa. Jiwa yang immateri itulah yang dapat mengetahui wajib al-wujud dan selalu tunduk kepada-Nya, dengan begitu jiwa tersebut akan abadi. Sebaliknya, jiwa yang tidak . Jadi, asal pertama ini haruslah immateri dan wajib al-wujud. Jasad itu berbeda perjalanannya dengan jiwa. Jiwa yang immateri itulah yang dapat mengetahui wajib al-wujud dan selalu tunduk kepada-Nya, dengan begitu jiwa tersebut akan abadi. Sebaliknya, jiwa yang tidak mengenal dan tunduk kepada-Nya akan hancur. Hay memikirkan hal seperti itu hingga memasuki fase ketujuh.
Fase ketujuh: Hay berkesimpulan bahwa Tuhan itu pasti baik dan bijaksana, sempurna, penuh rahmat, dan menjadi tujuan setiap manusia. Karena itu puncak kebahagiaan menurutnya hanya dapat dicapai bila seseorang selalu berhubungan jiwanya dengan Tuhan tanpa henti, selalu merenungkan dan memikirkannya serta melepaskan diri dari dunia materi. Dengan perenungan yang demikian, seseorang akan sampai kepada objek pengetahuan yang paling tinggi, yakni wajib al-wujud tadi, dan itulah puncak yang senantiasa didambakan setiap manusia.
Kisah Hayy yang ditulis oleh Ibnu Thufail ini memiliki implikasi tersendiri dalam teori psikologi Perkembangan Islam. Implikasi itu diantaranya adalah : Pertama, Manusia secara kodrati dan fitri telah memiliki potensi dasar untuk mengetahui, memikirkan, dan merasakan sesuatu. Potensi itu dapat actual dan menjadi suatu kepribadian apabila diusahakan. Tanpa diusahakan ia tidak akan menjadi actual. Jadi manusia bukanlah netral apalagi kosong dari potensi atau kecenderungan; Kedua, Perkembangan kepribadian manusia seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi nafsaniahnya. Artinya, pertumbuhan aspek fisik manusia memiliki korelasi dengan perkembangan aspek psikis. Semakin tua usia fisik manusia maka semakin meningkat tingkat kualitas pengetahuan dan pemikirannya.
Ketiga, Lingkungan (seperti masyarakat, pendidikan dan kebudayaan) bukan satu-satunya factor yang mempengaruhi dan membentuk kepribadian. Hayy merupakan sosok yang hidup di hutan tanpa teman sesame manusia. Ia hanya berteman dengan binatang, tetapi ia mampu mengembangkan kepribadiannya secara maksimal, bahkan lebih unggul daripada masyarakat yang telah berbudaya dan beradab waktu itu; Keempat, Manusia dan hewan memiliki kodrat dan potensi bawaan yang berbeda. Keduanya walaupun hidup dalam satu ekosistem tetapi masing-masing akan memiliki hokum perkembangan sendiri-sendiri. Perbedaan kepribadian itu bukan ditentukan oleh kodrat dan potensi bawaannya. Oleh sebab itu, temuan-temuan dari hasil eksperimentasi hewan tidak selalu dapat digunakan untuk mempelajari kepribadian manusia, sebab keduanya memiliki substansi dan esensi yang berbeda.
Kelima, Tuhan sebagai wajib al-wujud merupakan asal dan tujuan dari segala perkembangan hidup manusia. Sebab Dia-lah yang menciptakan dan memberi potensi bawaan. Manusia yang tidak memiliki kepribadian ilahiah berarti ia belum mampu memfungsikan potensi dasarnya secara maksimal; Keenam, Kisah Hayy tersebut mengandung tujuan yang lebih tinggi, bahwa agama bagi masyarakat maju sama pentingnya dengan filsafat dan psikologi (=tasawuf). Teori perkembangan seharusnya tidak hanya didasarkan atas pemikiran falsafi dan psikologi semata, tetapi juga perlu ditemukan dengan konsep-konsep agama. Apabila konsep agama belum mampu diintegrasikan dalam system psikologi kepribadian maka paling tidak ia dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan, perbandingan, sehingga pada saat agama menjadi frame of reference atau menjadi salah satu corak atau mazhab dalam Psikologi Perkembangan.



Daftar Pustaka
Abdul Mujib, Jusuf Mudzakir, 2002, Nuansa-nuansa Psikologi Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta



 
Blogger Templates