BAB II
PEMBAHASAN
I.
Pengertian Pertumbuhan dan
Perkembangan
Perkembangan
merupakan serangkaian perubahan progresif yang terjadi sebagai akibat dari
proses kematangan dan pengalaman. Perubahan ini bersifat kualitatif mengenai suatu
proses integrasi dari banyak struktur dan fungsi yang kompleks (Hurlock, 1991).
J.P. Chaplin menemukan empat arti perkembangan: 1) perubahan yang
berkesinambungan yang progresif dalam organism, mulai lahir sampai mati, 2)
pertumbuhan, 3) perubahan dalam bentuk dan dalam integrasi dari bagian-bagian
jasmaniah ke dalam bagian-bagian fungsional, dan 4) kedewasaan atau kemunculan
pola-pola dari tingkah laku yang tidak dipelajari.
Perubahan
dalam diri manusia terdiri atas perubahan kualitatif dan kuantitatif. Perubahan
kualitatif dalam diri manusia merupakan akibat dari perubahan psikis, sedangkan
perubahan kuantitatif pada manusia merupakan akibat dari perubahan fisik. Perubahan
kualitatif sering disebut perkembangan, seperti perubahan dari tidak tahu
menjadi tahu atau dari kekenak-kanakan menjadi dewasa. Perubahan kuantitatif
sering disebut pertumbuhan, seperti perubahan pada tinggi dan berat badan.yang
menjadi topic bahasan dalam psikologi adalah perubahan kualitatif atau
perkembangan.
Pembahasan
mengenai perubahan kualitatif dalam psikologi lebih dalam dibahas pada
psikologi perkembangan. Psikologi perkembangan merupakan salah satu cabang ilmu
psikologi yang membahas mengenai tingkat perkembangan, taraf perkembangan,
tugas-tugas perkembangan, dan hukum-hukum perkembangan.
II.
Periodesasi dan Tugas-Tugas
Perkembangan
Banyak ahli
psikologi yang mengemukakan teori mengenai periodesasi dan tugas-tugas
perkembangan manusia. Sigmund Freud dasi Psikoanalisa, Freud membagi
perkembangan psikis manusia kedalam lima fase. Pertama fase oral, fase ini berlangsung
selama 18 bulan pertama kehidupan. Pada fase ini sumber kenikmatan atau
kesenangan pokok diperoleh dari kegiatan-kegiatan mulut, seperti menyusu kepada
ibu, menghisap, menggigit-gigit, berbicara, mengunyah, makan, dan sebagainya.
Kedua fase
anal, fase ini berlangsung antara usia 1-3 tahun. Sumber kenikmatan berasal
dari anus atau fungsi pengeluaran atau pembersihan yang berasosiasi dengannya.
Tingkah lalu anak tergantung pada peran dan cara ibu dalam pembiasaan akan
kebersihannya. Apabila ibu menggunakan cara yang represif, maka anak akan
melampiaskan pembuangan kotoran pada waktu yang tidak tepat, hal ini mebuat
anak bersifat kikir, keras kepala, kejam, sikap merusak, amarah dan jorok.
Sebaliknya, ibu yang sabar akan manimbulakanefek perkembangan psikologis anak
yang kreatif dan produktif.
Ketiga fase
phalik, fase ini berlangsung antara usia 3-6 tahun. Pusat dinamika perkembangan
pada fase ini berasal pada perasaan-perasaan seksual dan agresif berkaitan
dengan mulai berfungsinya organ-organ genital. Selama fase phalik kenikmatan
berfokus pada alat kelamin, ketika anak menemukan bahwa manipulasi diri dapat
memberikan kenikmatan. Pada fase ini akan muncul Oedipus complex, yaitu dimana anak mengembangkan keinginannya untuk
menggantikan orang tua yang berjenis kelamin sama dengannya dan menikmati
afeksi dari orang tua yang berbeda jenis kelamin dengannya.
Keempat fase
laten, fase ini berlangsung kira-kira antara usia 6 tahun sampai pubertas. Pada
fase ini anak menekan semua minat terhadap seks dan mengambangkan keterampilan
social dan intelektual. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada masa ini
menyalurkan banyak energy kedalam bidang-bidang yang aman secara emosional dan
dapat membantu melupakan konflik pada fase phalik.
Kelima fase
genital, fase ini berlangsung sejak pubertas sampai seterusnya. Fase genital
merupakan masa kebangkitan seksual, sumber kenikmatan seksual berasal dari
orang yang berada di luar keluarganya. Fungsi biologis pokok fase genital
adalah reproduksi. Pada fase ini seseorang mengalami transformasi dari
narsistik menjadi orang dewasa yang memasyarakat dan berorientasi pada
kenyataan.
Erik Erikson mengemukakan bahwa perkembangan
manusia dapat dibagi kedalam delapan tahap perkembangan. Masing-masing tahap
terdiri dari tugas perkembangan yang khas dimana setiap individu akan
dihadapkan dengan suatu krisis yang harus dihadapi. Menurut Erikson, krisis ini
bukan merupakan suatu masalah, melainkan suati titik balik peningkatan
kerentanan dan peningkatan potensi. Bila krisis dapat diatasi dengan baik, maka
perkembangan mereka akan baik/sehat. Berikut delapan tahap perkembangan menurut
Erikson:
No.
|
Tahap
|
Masalah
|
Keutamaan
|
1.
|
Oral, 1-2 tahun
|
Percaya Versus Tidak
Percaya
|
Harapan
|
2.
|
Anal, 2-3 tahun
|
Otonomi Versus Malu Dan Ragu-Ragu
|
Kekuatan kehendak
|
3.
|
Genital, 3-5 tahun
|
Inisiatif Versus Rasa Bersalah
|
Tujuan
|
4.
|
Latensy, 6-pubertas
|
Usaha Versus Rasa Rendah Diri
|
Kemampuan
|
5.
|
Remaja, 10-20 tahun
|
Identitas Versus Kebingungan Identitas
|
Kesetiaan
|
6.
|
Pemuda, 20-30 tahun
|
Intimasi Versus Isolasi
|
Cinta
|
7.
|
Dewasa,40-50tahun
|
Generativitas Versus Stagnasi
|
Perhatian
|
8.
|
Tua, 60 tahun
|
Integritas Diri Versus Putus Asa
|
Kebijaksanaan
|
Rentang
kehidupan manusia yang digambarkan dalam psikologi perkembangan diatas bersifat
rendah dan hanya temporer. Kehidupan manusia hanya sebatas pada kehidupan
dunia, dari pra natal sampai kematian. Manusia seakan-akan hanya hidup dan mati
begitu saja tanpa ada remcana dan /tujuan hidup yang hakiki. Permasalahan yang
muncul kemudian adalah bagaimana eksistensi perilaku manusia yang baik dan yang
buruk.
Dalam
Psikologi Islam, manusia memiliki struktur ruh yang keberadaannya menjadi
esensi manusua. Struktur ruh memiliki alam tersendiri, yang disebut alam arwah,
yang mana alam tersebut berada diluar dan dalam alam dunia. Alam ruh diluar
alam dunia ada kalanya sebelum kehidupan dunia dan ada kalanya sesudahnya. Oleh
sebab itu kehidupan manusia meliputi tiga alam besar, yaitu: alam perjanjian,
alam dunia dan alam akhirat.
Berdasarkan
pemikiran tersebut, periodesasi dalam Psikologi Islam dapat ditentukan sebagai
berikut: pertama, Periode Pra-Konsepsi. Yaitu periode perkembangan manusia
sebelum masa pembuahan sperma dan ovum. Tugas-tugas perkembangan pada periode
ini adalah: 1) mencari pasangan hidup yang baik. Pertimbangkan baik-buruk
pasangan hidup berdasarkan 4 aspek, yaitu kecantikan/ketampanan, kekayaan,
keturunan, dan agama, 2) segera menikah setelah cukup umur dan telah disepakati
oleh berbagai pihak, 3) membangaun keluarga yang damai dan sejahtera diatas
prinsip-prinsip cinta kasih dan kasih saying dengan landasan iman dan takwa, 4)
selalu berdoa kepada allah agar diberikan keturunan yang baik
Berdasarkan
pemikiran tersebut, periodesasi dalam Psikologi Islam, dapat ditentukan sebagai
berikut:
1) Periode
pra-konsepsi
Periode
perkembangan manusia sebelum masa pembuahan sperma dan ovum. Tugas-tugas
perkembangan periode ini yang diperankan oleh orangtua anak adalah
1. Mencari
pasangan hidup yang baik, berdasarkan kecantikan-ketampanan, kekayaan,
keturunan dan agama.
2. Segera
menikah dengan sah setelah cukup umur dan disepakati oleh berbagai pihak.
3. Membangun
keluarga yang sakinah, mawaddah dan
rahmah dengan landasan iman dan taqwa.
4. Selalu
berdoa kepada Allah SWT agar diberikan keturunan yang baik terutama ketika
memulai persetubuhan.
2) Periode
pra-natal
Periode
perkembangan manusia yang dimulai dari pembuahan sperma dan ovum sampai masa
kelahiran. Periode ini dibagi 4 fase yaitu
1.Fase
nuthfah (zigot) yang dimulai sejak pembuahan sampai usia 40 hari dalam
kandungan;
2.Fase
‘alaqah (embrio) selama 40 hari;
3.Fase
mughghah (janin) selama 40 hari;
4.Fase
peniupan ruh ke dalam janin setelah genap 4 bulan, yang mana janin manusia
telah terbentuk secara baik, kemudian ditentukan hukum-hukum perkembangannya
seperti masalah-masalah yang berkaitan dengan perilaku (seperti sifat, karakter
dan bakat), kekayaan, batas usia dan bahagia-celakanya. Fase tersebut
menunjukkan bahwa nyawa kehidupan (al-hayah) telah ada sejak adanya pembuahan,
namun ruh baru ditiupkan setelah usia 4 bulan dalam kandungan. Ruh sifatnya
substantif (jauhar), sedang nyawa bersifat aksiden (‘aradh).
Tugas-tugas
perkembangan yang diperankan orangtua adalah
1. Memelihara
suasana psikologis yang damai dan tentram agar secara psikologis janin dapat
berkembang secara normal. Bayi yang dilahirkan dari keluarga broken home akan
mewarisi sifat-sifat atau karakter orang tua yang buruk
2. Senantiasa
meningkatkan ibadah dan meninggalkan maksiat, terutama bagi ibu agar janinnya
mendapat sinaran cahaya hidayah dari Allah SWT
3. Berdoa
kepada Allah SWT terutama sebelum 4 bulan dalam kandungan, sebab masa-masa itu
hukum-hukum perkembangan akan ditetapkan
3) Periode
kelahiran sampai meninggal dunia
Periode
ketiga ini memiliki beberapa fase. Ada 3 ayat yang memiliki kaitan dengan
periode yaitu Al-Hajj:5, Ar-Ruum:54, Al-Hadid:20
Pada
ayat Al-Hajj:5 dan Ar-Ruum:54 menunjukkan bahwa kehidupan dunia terbagi atas 3
fase, yaitu
1. Fase
kanak-kanak atau fase dimana kondisi seseorang masih lemah (karena bayi atau
anak-anak)
2. Fase
baligh atau fase dimana kondisi seseorang menjadi dewasa dan kuat
3. Fase
usia lanjut yang secara psikologis ditandai dengan kepikunan dan secara
biologis ditandai dengan rambut beruban dan kondisi tubuh yang lemah
Sementara ayat
Al-Hadid:20 menunjukkan 5 fase kehidupan dunia yaitu
1. Fase
permainan (la’ib) dimulai post natal sampai sekitar 5 tahun. Pada fase ini,
anak hanyalah barang permainan (la’ib) yang dimainkan oleh orang dewasa. Ia
tidak memiliki inisiatif hidup, melainkan sekedar mengikuti naluri atau insting
hidup.
2. Fase
main-main (lahw), dimulai sekitar usia 6 tahun sampai usia 13 tahun. Pada fase
ini, kehidupan manusia adalah untuk main-main untuk kesenangan semata, tanpa
memiliki tujuan yang hakiki
3. Menghias
dan mempercantik diri, dimulai usia 14 tahun sampai 24 tahun. Pada fase ini,
hidup adalah untuk mempercantik diri karena masa pubernya mulai tumbuh. Ia
tidak lagi memikirkan dirinya, tetapi bagaimana ia dapat memiliki dan diakui
orang lain.
4. Bermegah-megahan
dimulai sekitar usia 25 tahun sampai 39 tahun. Pada fase ini, kecenderungan seseorang
adalah bermegah-megahan terhadap apa yang telah dirintis dari fase sebelumnya
seperti gelar akademik, pekerjaan, dan peran di dalam masyarakat
5. Memperbanyak
dan menikmati harta dan anak, dimulai fase sekitar usia 40 sampai meninggal
dunia
Dua ayat pertama lebih melihat kepada perkembangan
manusia dari sudut bagaimana seharusnya, sehingga menentukan perkembangan
manusia menurut ukuran mampu-tidaknya menerima taklif (beban kewajiban
religius). Fase-fase yang dikemukakan masih global sehingga terkesan Islam
melupakan fase terpenting dari perkembangan kehidupan manusia yaitu fase
remaja. Sedangkan ayat ketiga lebih melihat perkembangan manusia menurut ukuran
perkembangan psikis manusia. Fase-fase yang dikemukakan hampir mirip dengan
fase-fase yang dikemukakan dalam Psikologi Kontemporer.
Diperoleh kesimpulan bahwa
fase-fase perkembangan pada periode ketiga ini adalah
1. Fase neonatus dimulai kelahiran
sampai kira-kira minggu keempat. Tugas perkembangan yang dilakukan orangtua
adalah
a. Membacakan
azan di telinga kanan dan membacakan iqomah di telingan kiri ketika anak baru
dilahirkan. Hal itu dilakukan agar bayi selalu ingat akan perjanjian di alam
primordial, juga agar suara pertama kali yang didengar dan direkam dalam memori
bayi tidak lain hanyalah kalimat-kalimat yang indah, yang memuat pengagungan
dan mengesakan Allah, pengakuan kerasulan Muhammad serta ajakan sholah agar
menjadi orang yang beruntung
b. Memotong
akikah, 2 kambing untuk bayi laki-laki dan 1 kambing untuk bayi perempuan.
Pemotongan ini bertujuan ucapan syukur kepada Allah juga sebagai lambang atau
simbol pengorbanan dan kepedulian sang orang tua terhadap kelahiran bayinya
agar anak menjadi anak yang sholeh/sholehah.
c. Memberi
nama yang baik yaitu nama yang secara psikologis mengingatkan atau berkorelasi
dengan perilaku baik misalnya nama asmaul husna, nama-nama Nabi, nama-nama
sahabat, nama-nama orang yang sholeh, dll.
d. Membiasakan
hidup yang bersih dan suci
e. Memberikan
ASI selama 2 tahun. ASI yang mengandung gizi yang sesuai dengan kebutuhan bayi,
juga sebagai pelekat hubungan antara ibu dan anak.
2.
Fase kanak-kanak (al-thifl) yaitu fase yang dimulai usia sebulan sampai usia
sekitar 7 tahun. Tugas-tugas perkembangan adalah
a. Pertumbuhan
potensi indera-indera dan psikologis seperti pendengaran, penglihatan dan hati
nurani. Tugas orangtua adalah bagaimana mampu merangsang pertumbuhan berbagai
potensi tesebut agar anaknya mampu berkembang secara maksimal
b. Mempersiapkan
diri dengan cara membiasakan dan melatih hidup yang baik, seperti dalam
berbicara, makan, bergaul, penyesuaian diri dengan lingkungan dan berperilaku.
Pembiasaan ini terutama pada aspek-aspek afektif (al-infi’ali) sebab jika aspek
ini tidak dibiasakan sedini mungkin maka ketika masa dewasanya akan sulit
dilakukan
c. Pengenalan
aspek-aspek doktrinal agama, terutama yang berkaitan dengan keimanan.
3.
Fase tamyiz yaitu fase dimana anak mulai mampu membedakan yang baik dan yang
buruk, yang benar dan yang salah. Fase ini dimulai usia sekitar 7 tahun-12/13
tahun. Tugas-tugas perkembangannya adalah
a. Perubahan
persepsi kongkrit menuju persepsi abstrak, misalnya persepsi mengenai ide-ide
ketuhanan, alam akhirat dan sebagainya.
b. Perkembangan
ajaran-ajaran normatif agama melalui
institusi sekolah, baik yang berkenaan dengan aspek kognitif afektif maupun psikomotorik.
Nabi Muhammad SAW memerintahkan kepada orangtua untuk mendidik anaknya sholat.
Ketika 10 tahun, tingkat kesadaran anak akan perbuatan baik dan buruk, benar
dan salah mendekati sempurna sehingga Nabi memerintahkan orangtua untuk memukul
anaknya yang meninggalkan sholat. Memukul disini bukan memukul kepala atau
anggota tubuh tetapi menggugah kesadaran atau menjatuhkan harga dirinya.
4. Fase baligh yaitu fase dimana usia anak telah
sampai dewasa. Usia ini anak memiliki kesadaran penuh akan dirinya sehingga ia
diberi tanggung jawab terutama tanggung jawab agama dan sosial. Menurut Ikhwan
Al-Shafa, periode ini disebut dengan alam al tsani (alam pertunjukkan kedua)
dimana manusia dituntut untuk mengaktualisasikan perjanjian yang pernah
disepakati pada alam al-ardh al-awal (alam pertunjukkan pertama) yaitu alam
arwah. Sedangkan Al-Ghazali menyebutnya dengan fase ‘aqil, fase dimana tingkat
inteletual seseorang dalam kondisi puncaknya sehingga ia mampu membedakan
perilaku yang benar dan salah, baik dan buruk. Kondisi aqil menjadi salah satu
syarat wajib bagi seseorang untuk menerima suatu beban agama sementara kondisi
gila (junun) menjadi penghalang bagi penerimaan kewajiban agama.
Tugas-tugas perkembangan pada fase ini aadalah
a. Memahami
segalaa titah Allah SWT, dengan memperdalam ilmu pengetahuan (QS Al-Isra’:36,
At-Taubah: 122)
b. Menginternalisasikan
keimanan dan pengetahuannya dalam tingkah laku nyata, baik yang berhubungan
dengan diri sendiri, keluarga, komunitas sosial, alam semesta maupun Tuhan
c. Memiliki
kesediaan untuk mempertanggun jawabkan apa yang diperbuat, sebab pada fase ini
seseorang telah memiliki kesadaran dan kebebasan penuh terhadap apa yang
dilakukan (QS: Al-Isra:36)
d. Membentengi
diri dari segala perbuatan maksiat dan mengisi diri dengan perbuatan baik sebab
pada masa puber merupakan masa dimana dorongan erotis mulai tumbuh dan
berkembang dengan pesat..
5. Fase
kearifan atau fase kebijaksanaan. Dalam fase ini dimana seseorang memiliki
tingkat kesadaran dan kecerdasan emosi, moral, spiritual, dan agama secara
mendalam. Al-Ghazali menyebutnya sebagai fase auliya’ wa anbiya dimana seseorang memang dituntut berperilaku
seperti erilaku yang diperankan oleh para nabi dan kekasih Allah SWT. Fase ini
dimulai pada usia 40 tahun, seperti layaknya Nabi Muhammad SAW yang mendapatkan
kerasulannya pada usia tersebut.
Tugas-tugas pada fase ini yaitu:
1. Transinternalisasi
tugas Rasulullah, yaitu jujur (shidiq), dapat
dipercaya bila diberi kebenaran (amanah),
menyampaikan kebenaran (tabligh), serta
memiliki kecerdasan spiritual (fatanah)
2. Meningkatkan
kesadarannya dalam peran social dengan niatan amal shaleh
3. Semakin
dekat dan takwa kepada Allah SWT (taqarrub), yaitu dengan perluasan diri
melalui pengamalan ibadah-ibadah sunah.
4. Mempesiapkan
diri sebaik mungkin menghadapi kematian.
Jika dalam fase ini seseorang tidak melakukan
sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain dan Tuhannya, maka ia akan menyesal
karena saat menemui ajal ia akan menyadari bahwa ia telah menyia-nyiakan
waktunya. Nabi SAW tidak hanya mengajarkan seseorang untuk meminta dipanjangkan
umurnya, namun yang terpenting adalah bagaimana mempergunakan umur yang telah
diberikan oleh Allah SWT dengan sebaik-baiknya.
6.
Fase kematian, yaitu dimana saat jasad manusia telah dipisahkan dari nyawanya.
Hal ini menandakan bahwa jasad dan ruh manusia telah berpisah. Kematian ada
yang disebabkan karena batas kehidupan (ajal)
yang telah tiba, sehingga meninggal tanpa sebab apapun jika memang ajal
telah tiba (QS.al-A’raf:34, Yunus:49, al-Nahl:61). Ada pula kematian yang disebabkan
karena organ-organ fisik yang vital rusak atau terputus, seperti sakit,
dibunuh, bunuh diri, dll (QS.al-Maidah:106, an-Nisa:29, al-An’am:151,
al-Isra’:31,33).
Tugas-tugas pada fase ini yaitu:
1. Memberikan
wasiat kepada kelarga jika ada urusan yang belum terselesaikan, seperti hutang,
harta yang ingin diwakafkan, dan sebagainya (perhatikan QS.al-Nisa:11-12)
2. Tidak
mengingat apapun kecuali berdzikir kepada Allah SWT
3. Mendengarkan
secara seksama talqin yang dibacakan
keluarganya serta menirukannya.
4. Bagi
orang yang hidup maka diwajibkan untuk memandikan, menshalati, serta mengkafani
mayatnya.
Bagi orang mukmin, fase ini merupakan awal untuk
mendapatkan kebahagiaan yang hakiki. Kematian merupakan pintu masuk bagi
kebahagiaan ruh yang sesungguhnya. Dan jika memag selama kehidupan ia telah
melakukan berbagai macam kebaikan serta menjauhi larangan Allah SWT, maka
insyaAllah yang dicapai adalah husn
al-khatimah (baik akhir hidupnya). Berbeda dengan mereka yang ingkar,
setelah mengalami naza’ (awal
pencabutan oleh Malaikat Izrail), merupakan fase permulaan siksa, dengan adanya
sakrah al-maut (kesulitan/kesakitan
dalam menghadapi kematian).
Alam terakhir dari perkembangan manusa adalah alam
akhirat. Dimulai dari kematian manusia, sampai tiba saatnya kiamat. Alam ini
memiliki beberapa periode:
1. Periode
tiupan sangkakala dan kebangkitan yang disebut dengan yawn ba’ats.
2. Periode
yawn al-hasyr, dimana mereka
dikumpulkan di padang Mahsyar. Semua manusia yang baur bangkit dikumpulkan di padang Mahsyar, dimana saat
itu yang terpenting adalah urusan sendiri sehingga tidak ada yang memperdulikan
oorang lain, termasuk keluarganya sendiri.
3. Periode
perhitungan amal dengan mizan.
Sekecil apapun perbuatan baik akan diperhitungkan dan berbuah surga, begitupun
sebaliknya, perbuatan buruk dan ingkar tempatnya adalah di neraka. Dalam
perhitungan ini yang berbicara bukanlah lagi mulut manusia, melainkan tangan,
kaki serta indera lainnya yang akan bersaksi mengenai segala perbuatan manusia
di dunia, sungguh perhitungannya sangat adil.
4. Periode
melewati titian (shirath). Bagi orang
yang amalannya baik maka ia akan mampu melewatinya secepat kilat, namun jika
amalannya buruk maka ia akan tercebur ke api neraka.
III. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan
A. Aliran Nativisme
Aliran nativisme
adalah suatu aliran yang menitikberatkan pandangannya pada peranan sifat
bawaan, keturunan dan kebakatan sebagai penentu perkembangan tingkah laku
seseorang. 1 Aliran Nativisme memandang hereditas sebagai penentu
tingkah laku. (Suryabrata,1984) Aliran nativisme
berasal dari kata natus (lahir); nativis (pembawaan) yang ajarannya memandang
manusia (anak manusia) sejak lahir telah membawa sesuatu kekuatan yang disebut
potensi (dasar).
Asumsi yang
mendasari aliran ini adalah bahwa pada diri anak dan orangtua terdapat banyak
persamaan, baik fisik maupun psikis. Gen adalah butiran kecil yang terdapat di
dalam sel-sel kelamin manusia yang dopindahkan dari orangtua atau nenek moyang
kepada keturunannya dan merupakan sifat-sifat yang diwariskan.
Seorang anak berkemungkinan
memiliki sifat yang tidak ditemukan pada sifat orangtuanya, tetapi ditemukan
dari sifat nenek moyangnya. Aliran ini dipelopori oleh Arthur Scopenhauer
(1788-1860) seorang psikolog berkebangsaan Jerman. Aliran ini didukung oleh
Frans Joseph Gall (1785-1828).
Manshur Ali Rajab menyebutkan bahwa ada lima macam yang dapat
diwariskan dari orangtua kepada anaknya, yaitu:
y
Pewarisan
yang bersifat jasmaniah : seperti warna kulit, bentuk tubuh yang jangkung atau
cebol, sifat rambut dan sebagainya.
y
Pewarisan
yang bersifat intelektual : seperti kecerdasan dan kebodohan.
y
Pewarisan
yang bersifat tingkah laku : seperti tingkah laku terpuji atau tercela, lemah
lembut atau keras kepala, taat atau durhaka.
y
Pewarisan
yang bersifat alamiah : pewarisan internal yang dibawa sejak kelahiran anak
tanpa pengaruh dari faktor eksternal.
y
Pewarisan
yang bersifat sosiologis : pewarisan yang dipengaruhi oleh faktor eksternal.
Aliran ini dipandang sebagai aliran pesimistik dan deterministic
(mengingkari kehendak bebas) yang melihat manusia ibarat robot. Hukum
deterministic yang dikembangkan dalam aliran ini hanya terbatas, yaitu pengaruh
hereditas. Tingkah laku manusia harus menyerah pada hukum kewarisan yang
diwarisi dari orangtua. Telah dipahami bahwa aliran nativisme yang dikembangkan
dalam Psikologi Barat sebenarnya masih dangkal, karena bercorak antroposentris
(Antroposentrisme menganggap manusia sebagai pusat
dunia, karenanya merasa cukup dengan dirinya sendiri. Manusia antroposentris
merasa menjadi penguasa bagi dirinya sendiri. Tidak hanya itu, ia pun bertindak
lebih jauh, ia ingin menjadi penguasa bagi yang lain. Alam raya pun lalu
menjadi sasaran nafsu berkuasanya yang semakin lama semakin tak terkendali.).
Jadi,
aliran nativisme itu sebenarnya masih identic dengan aliran empirisme.
Nativisme menitikberatkan penentuan tingkah laku dari sudut lingkungan sebelum
anak dilahirkan, sedangkan Empirisme setelah anak dilahirkan. Kesimpulan itu
relevan dengan pendapat Manshur Ali Rajab, bahwa pengaruh lingkungan itu ada
yang bersifat langsung (direct) dan ada juga yang tidak bersifat tidak langsung
(indirect). Pengaruh lingkungan yang bersifat langsungditentukan oleh teori
Empirisme, sedang pengaruh lingkungan yang tidak langsung ditentukan oleh teori
Nativisme.
B. Aliran Empirisme
(Mujib &Mudzakir, 2002) Aliran Empirisme disebut juga aliran
Environmentalisme, yaitu suatu aliran yang menitikberatkan pandangannya pada
peranan lingkungan sebagai penentu perubahan tingkah laku. Aliran ini
dipelopori oleh filosofis kebangsaan Inggris, yaitu John Locke (1632-1704)yang
kemudian dikembangkan oleh George Berkeky (1685-1753) dalam bukunya New Theory
of Vision; David Hume (1711-1776) yang meloporkan paham Asosiasionisme.
Asumsi psikologis yang mendasari aliran ini ialah bahwa manusia
lahir dalam keadaan netral, tidak memiliki pembawaan apapun. Ia bagaikan kertas
putih (tabula rasa) yang bisa ditulis apa saja yang diinginkan. Tingkah laku
terbentuk dari luar yaitu oleh lingkungan. Bayi memiliki kecenderungan yang
sama dengan bayi yang lain. Dia akan menyusu jika bibirnya bersentuhan dengan
puting susu, dia akan menangis jika lapar, sakit dan haus. Jadi, bayi itu
semuanya dalam keadaan kosong, yang membedakan adalah tingkah laku yang muncul
setelah dipengaruhi lingkungan selama proses kehidupannya.
Lingkungan
terdiri dari lima aspek, yaitu:
y
Lingkungan
Geografis, yaitu lingkungan yang ditentukan oleh letak wilayah seperti dataran,
pegunungan dan pesisir pantai; kondisi iklim di gunung sahara, tropic, sedang
dan salju; sumber penghasilan seperti wilayah industry, pertanian, pertambangan
dan perminyakan.
y
Lingkungan
Historis, yaitu lingkungan yang ditentukan oleh ciri suatu masa atau era dengan
segala perkembangan peradabannya.
y
Lingkungan
Sosiologis, yaitu lingkungan yang ditentukan oleh hubungan antar individu dalam
suatu komunitas social. Hubungan ini selalu dikaitkan dengan tradisi,
nilai-nilai, peraturan dan undang-undang.
y
Lingkungan
Kultural, yaitu lingkungan yang ditentukan oleh kultur masyarakat. Kultur ini
meliputi cara berpikir, bertindan, berperasaan dan sebagainya.
y
Lingkungan
Psikologis, yaitu lingkungan yang ditenttukan oleh kondisi kejiwaan, seperti
kondisi rasa tanggung jawab, toleransi, kesadaran, keamanan, kesadaran,
kesejahteraan dan lain sebagainya.
Aliran Empirisme
dikenal sebagai aliran Optimistik dan Positivistik. Karena anggapannya bahwa
suatu tingkah laku akan menjadi baik apabila dirangsang oleh usaha-usaha nyata.
Perkembangan tingkah laku manusia bukanlah seperti robot yang diprogram secara
deterministic, apalagi menyerah pada pembawaan nasibnya.
Melalui teori
belajar, tingkah laku dapat dimodifikasi dan dibentuk sesuai dengan yang
diinginkan. Tetapi satu hal yang tidak mampu dijelaskan oleh teori ini adalah
adanya tingkah laku yang berada di luar kesadaran. Tingkah laku itu muncul secara
tiba-tiba dan tidak ads pengaruh dari lingkungan., bersifat abstrak dan sulit
diprediksi. Dan inilah menjadi kelemahan teori belajar karena tidak mampu
menjelaskannya.
Pada aliran
Empirisme, teori-teori yang banyak dijelaskan bermula pada eksperimen melalui
hewan. Seperti pada kucing, tikus, anjing maupun monyet. Misalnya, ada dua ekor
tikus, yang satu diberikan makanan bergizi dan ditempatkan di tempat yang
diputar music. Sedangkan satu ekor lagi diberikan makan apa adanya dan
ditempatkan di tempat yang gersang. Setelah melewati beberapa tahun, kedua ekor
tikus itu memiliki karakter yang berbeda. Tikus yang diberi makan yang bergizi
dan di tempat yang baik lebih cerdas, disbanding tikus yang diberi makan apa
adanya. Dan setelah dibunuh dan dibedah pun kedua tikus itu memiliki struktur
syaraf yang berbeda. Pada tikus yang cerdas, memiliki struktur syaraf yang
lebih kompleks daripada tikus yang satunya.
Para Psikolog
yang menggunakan obyek penelitian pada hewan bukannya tidak memiliki alasan.
Karena para psikolog tidak mungkin menggunakan manusia sebagai eksperimennya,
karena menyalahi prinsip kemerdekaan dan kebebasan hidup manusia. Karena jika
dipaksakan mengguunakan manusia, maka akan terjadi yang disebut “dehumanisasi”.
C. Aliran
Konvergensi
Teori ini merupakan gabungan dari
teori nativisme dan empirisme yang menyatakan bahwa pembawaan dan pengalaman
memiliki peranan dalam mempengaruhi dan menentukan perkembangan individu.
Asumsi teori ini berdasar eksperimen dari William
Stern terhadap dua anak kembar. Anak kembar memiliki sifat keturunan yang
sama, namun setelah dipisahkan dalam lingkungan yang berbeda anak kembar
tersebut ternyata memiliki sifat yang berbeda. Dari sinilah maka teori ini
menyimpulkan bahwa sifat keturunan atau pembawaan bukanlah faktor mayor yang
menentukan perkembangan individu tapi turut juga disokong oleh faktor
lingkungan. Faktor
pembawaan manusia dalam teori ini disebut sebagai faktor endogen yang meliputi
faktor kejasmanian seperti kulit putih, rambut keriting, rambut warna hitam.
Selain faktor kejasmanian faktor ada juga faktor pembawaan psikologis yang
disebut dengan temperamen. Temperamen berbeda dengan karakter atau watak.
Karakter atau watak adalah keseluruhan dari sifat manusia yang namapak dalam
perilaku sehari-hari sebagai hasil dari pembawaan dan lingkungan dan bersifat
tidak konstan. Jika watak atau karakter bersifat tidak konstan maka temperamen
bersifat konstan. Selain temperamen dan sifat jasmani, faktor endogen lainnya
yang ada pada diri manusia adalah faktor bakat (aptitude). Aptitude adalah
potensi-potensi yang memungkinkan individu berkembang ke satu arah.
Untuk faktor lingkungan yang
dimaksud dalam teori ini disebut sebagai faktor eksogen yaitu faktor yang
datang dari luar diri manusia berupa pengalaman, alam sekitar, pendidikan dan
sebagainya yang populer disebut sebagai milieu. Perbedaan antara lingkungan
dengan pendidikan adalah terletak pada keaktifan proses yang dijalankan. Bila lingkungan
bersifat pasif tidak memaksa bergantung pada individu apakah mau menggunakan
kesempatan dan manfaat yang ada atau tidak. Sedangkan pendidikan bersifat aktif
dan sistematis serta dijalankan penuh kesadaran.
Aliran Konvergensi dipelopori oleh Wlliam Stern
(1871-1939), ia berpedapat bahwa seorang anak dilahirkan di dunia sudah
disertai pembawaan baik maupun pembawaan buruk. Proses perkembangan anak, baik
faktor pembawaan maupun faktor lingkungan sama sama mempunyai peranan sangat
penting. Bakat yang dibawa pada waktu lahir tidak akan berkembang dengan baik
tanpa adanya dukungan lingkungan sesuai untuk perkembangan anak itu.
Kedua-duanya (pembawaan dan lingkungan) mempunyai pengaruh yang sama besar bagi
perkembangan anak. Pendapat ini untuk pertama kalinya dikemukakan oleh William
Stern.
Manusia lahir dengan ‘perbekalan’ agar dia nantinya
mampu hidup dengan baik serta mampu untuk mengembangkan segala potensi yang
dimilikinya. Namun apabila tidak diimbangi dan didukung dengan lingkungan yang
sesuai, maka hal tersebut tidaklah bisa terjadi.
Aliran konvergensi meskipun dapat menjembatani dan
memberikan sintesis antara aliran nativisme dan empirisme, namun sebenarnya
aliran ini tidak memiliki kerangka filosofis tersendiri tentang hakikat
manusia. Ia tiba-tiba muncul dan menetralisir antara kedua belah pihak yang
bertentangan. Aabila dugaan ini benar, berarti keunggulan yang terdapat pada
aliran ini mesti disertai dengan kelemahan-kelemahan yang dimiliki kedua aliran
di atas, sebab ia hanya mengkonvergensikan teori tanpa mengkaji ulang
konstruksi filosofisnya.
Konsep Psikologi Islam yang disumsikan dari struktur
nafsani tidak lantas menerima ketiga aliran tersebut. Disamping terdapat
kelemahan-kelemahan, ketiga aliran tersebut hanya mengorientasikan teorinya
pada pola piker antroposentris. Artinya, perkembangan kepribadian
manusia seakan-akan hanya dipengaruhi oleh factor manusiawi. Manusia dalam
pandangan Psikologi Islam telah memiliki seperangkat potensi, disposisi, dan
karakter unik. Potensi itu paling tidak mencakup keimanan, ketauhidan,
keislaman, keselamatan, keikhlasan, kesucian, kecenderungan, menerima kebenaran
dan kebaikan, dan sifat baik lainnya. Semua potensi itu bukan diturunkn dari
orang tua, melainkan diberikan oleh Allah Swt. sejak di alam perjanjian (mitsq).
Proses pemberian potensi-potensi itu melalui struktur rohani. Oleh sebab itu,
maka struktur ruhani disebut juga fitrah al-munazzalah (yang
diturunkan). Jadi secara potensial, kondisi kejiwaan manusia tidak netral,
apalagi kosong seperti kertas putih, namun secara actual manusia tidak memiliki
kebaikan atau keburukan yang diwarisi, kebaikan dan keburukan sangat bergantung
pada realisasi dirinya.
Factor hereditas boleh menjadi salah satu factor
perkembangan. Hal itu diisyaratkan dalam hadits nabi bahwa pemilihan jodoh itu
harus dilihat dari empat segi, yaitu harta, keturunan, kecantikan dan agama.
Nabi kemudian menganjurkan untuk memilih agamanya agar kelak rumah tangganya
menjadi bahagia dan selamat. Hadits ini menunjukkan pentingnya factor hereditas
dalam perkembangan anak, sehingga jauh-jauh sebelumnya ia telah memilih garis
keturunan yang baik, agar anaknya nanti memiliki bawaan yang baik pula.
Demikian juga Psikologi Islam mengakui adanya peran
lingkungan dalam penentuan perkembangan. Pengakuan ini bukan berarti
mengabaikan factor keturunan dan perbedaan individu. Banyak ayat al-Quran yang
menjelaskan tentang peran lingkungan. Misalnya seruan amar makruf dan nahi
mungkar (Q.S. Ali Imran: 104,110,114), belajar menuntut ilmu agama kemudian mendakwakan
untuk orang lain (Q.S. al-Taubah: 122), seruan kepada orang tua agar memelihara
keluarganya dari tingkah laku yang memasukkan ke dalam neraka (Q.S. al-Tahrim:
6), seruan melaksanakan shalat dan sabar, serta seruan melakukan tilawah,
tazkiyah dan belajar kitab atau hikmah (Q.S. Thaha: 132, al-Baqarah: 151).
Satu lagi factor penentu perkembangan manusia yang
sangat ditonjolkan dalam psikologi Islam, yaitu factor-faktor bawaan yang
merupaka sunnah atau taqdir Allah untuk manusia. Misalnya bawaan memikul amanah
(QS. Al-Ahzab: 72), bawaan menjadi khalifah di muka bumi (QS. Al-Baqarah: 30),
bawaan menjadi hamba Allah agar selalu beribadah kepada-Nya (QS. Al-Zariyat:
56), bawaan untuk mentauhidkan Allah Swt. (QS. Al-A’raf: 172). Dan juga
factor-faktor perbedaan individu, misalnya perbedaan karunia yang diberikan
(QS. An-Nisa: 32), perbedaan kemampuan dan status (QS. Hud: 93, al-An’am: 152,
al-baqarah: 286), perbedaan bakat, minat, dan watak (QS. Al-Isra: 84),
perbedaan jenis kelamin, bangsa dan Negara (QS. Al-Hujurat: 13), perbedaan
bahasa dan warna kulit (QS. Al-Rum: 22).
Diskursus Psikologi Perkembangan Islam, sebagaimana
yang berkembang di dalam tradisi ilmu-ilmu keislaman klasik (terutama disiplin
teologi), lebih banyak menyoroti siapa yang memiliki otoritas dalam menciptakan
perkembangan tingkah laku, bukan lagi mempermasalahkan factor apa yang
mempengaruhi perkembangannya. Permasalahan tersebut dijawab oleh dua paham
besar, yaitu:
Pertama, paham Jabar.
Jabar secara harfiah berarti memaksa. Sedang arti istilahnya adalah
suatu paham yang meyakini bahwa perkembangan tingkah laku itu berasal dari
ciptaan Allah Swt. Allah adalah Zat yang menciptakan potensi sekaligus
menciptakan perkembangan tingkah laku manusia. Penciptaan ini mengenai
ketentuan baik-buruk, bahagia-celaka, kaya-miskin, batas kematian, jodoh, dan
sebagainya.
Alas an yang mendukung paham ini adalah (1) adanya
sejumlah ayat-ayat Al-Quran yang mengisyaratkan kehendak mutlak Allah Swt.
dalam menentukan tingkah laku manusia; (2) Allah memiliki power (qudrah)
dan kehendak (iradah) yang mutlak. Apabila Allah tidak menciptakan
tingkah laku manusia berarti sifat Khaliq-nya tidak sempurna; (3) apabila
manusia memiliki kemampuan untuk bertingkah laku berarti kekuatan Allah
memiliki perserikatan dengan kemampuan manusia; (4) Allah telah mengatur semua
urusan manusia di zaman azali; (5) setiap kehidupan yang temporal sangat
bergantung pada yang mutlak. Tingkah laku manusia merupakan sesuatu yang
mutlak. Berdasarkan alas an di atas maka tingkah laku manusia sesungguhnya
merupakan ciptaan dan bawaan dari Allah Swt. semata.
Kedua, paham Qadar.
Paham ini berkeyakinan bahwa perkembangan tingkah laku itu diciptakan dan
diusahakan oleh manusia sendiri. Manusia memiliki kemampuan (qudrah) dan
kehendak (iradah) penuh untuk menciptakan tingkah lakunya. Iradat dan kudrat
Allah telah dilimpahkan (tafwid) kepada manusia melalui penciptaan potensi dan
daya bawaan. Dengan potensi dan daya bawaan itu manusia mampu bertingkah laku
apa saja yang ia kehendaki.
Alasan yang mendukung paham ini adalah (1) adanya
ayat-ayat al-Quran yang mengisyaratkan kebebasab kehendak (al-burriyat
al-iradat) manusia; (2) Allah Maha Adil. Dia tidak akan menganiaya
manusia. Mungkinkah Allah menentukan perkembangan tingkah laku manusia kemudian
menghakiminya? Apakah penciptaan tingkah laku buruk-Nya itu dilimpahkan
kesalahan pada manusia? Jawabannya tentu tidak; (3) Allah memberikan taklif
(beban melakukan kewajiban), mengutus rasul, memberi hidayah agama dan wahyu,
selanjutnya manusia diserukan untuk mengikutinya. Jika tidak ada kebebasan
berarti semuanya itu sia-sia.
Kedua paham tersebut sebenarnya tidak perlu
dipertentangkan melainkan harus dikonvergensikan. Masing-masing memiliki
kelebihan dan kelemahan tersendiri. Kelebihan paham yang satu untuk menutupi
kelemahan paham yang lain. Sebaliknya kelemahan yang satu dapat ditutupi dengan
kelebihan yang lain.
D. Ibnu
Thufail dan Teori Perkembangannya
Ibnu
Thufail (lahir 1110 M.) seorang psikolog-spekulatif telah menulis karya roman
filosofis. Judul karya yang monumental itu adalah Hayy ibnu Yaqzhan. Dalam
karyanya, ia menceritakan perkembangan seorang anak di kepulauan India. Nama
anak itu adalah Hayy ibnu Yaqzhan. Asal usul anak ini kurang jelas. Konon ia
adalah anak yang diciptakan dari kudrat dan iradat Allah secara langsung dari
tanah. Versi lain dikatakan, bahwa anak itu lahir dari pasangan yang menikah
secara rahasia. Buku ini dianggap orang sebagai ciri khas filsafat Ibnu
Thufail. Ringkasan isi buku itu dapat kita ceritakan sebagai berikut:
Tersebutlah
konon, sebuah pulau di Khatulistiwa yang tanahnya amat subur yang bukan saja
tumbuh-tumbuhan dan hewan dapat hidup dengan baik, tetapi juga seorang anak
manusia tanpa pemeliharaan ibu-bapaknya akan dapat tumbuh dan berkembang dengan
makmur.
Kemudian
tersebut pula tentang lahirnya seorang anak manusia dari perkawinan yang
memalukan. Orang tua anak itu telah melemparkannya ke laut. Akan tetapi, nasib
membawa anak itu terdampar ke tepi pulau yang subur itu. Seekor kijang kemudian
menyusui dan menghidupinya hingga besar. Anak itu oleh Ibnu Thufail diberi nama
Hay bin Yaqadhan.
Penghidupan
Hay kemudian berkembang mengikuti masyarakat yang amat primitive itu mulai dari
langkahnya yang pertama. Dilihatnya semua hewan tertutup auratnya dengan kulit
dan bulu. Lalu ditirunya. Diambilnya bulu-bulu burung dan daun-daun kayu guna
menutup aurat.
Pada
suatu hari terlihat oleh Hay terjadi kebakaran di pulau itu. Api itu
diambilnya, lalu dinyalakannya kayu terus menerus. Dengan api itu dicobanya
membakar burung, lalu terasalah baginya makanan yang lebih lezat setelah
dimasak itu. Dia mulai berburu hewan guna dimasak dan dimakan. Guna teman
berburu itu lalu dipeliharanya seekor anjing. Makanan yang berlebih disimpan
untuk hari berikutnya. Dengan ini timbullah peradabannya yang pertama. Pada
suatu hari kijang yang mengasuhnya sejak kecil sakit dan makin hari makin
lemah, akhirnya tidak bergerak lagi, yaitu mati. Di samping susah, Hay menjadi
heran, sebab belum pernah dia melihat seekor hewan mati dengan sendirinya tanpa
pembunuhan. Akhirnya Hay mulai memikirkan sungguh-sungguh mengapa ada peristiwa
kematian itu. Kemudian badan kijang itu dioperasinya, diperiksanya kalau-kalau
ada anggotanya yang rusak. Ternyata semua masih lengkap, dan akhirnya Hay
mengerti bahwa sebab kematian itu berada di luar badannya. Dia bertanya,
Siapakah yang berkuasa di luar badannya itu? Dengan ini sampailah pemikiran Hay
pengakuan ketuhanan. Dia percaya kepada Tuhan, dan dia juga tidak lagi
mementingkan benar soal makan sebab akhirnya dia juga akan mati.
Selain
itu tersebut pula sebuah pulau lain yang lebih besar dan berpenduduk banyak.
Disana manusia hidup hanya mementingkan keduniaan dan berfoya-foya saja. Karena
penghidupan maksiat itu, seorang penduduknya yang alim mengasingkan diri dari
pulau maksiat itu, lalu melarikan diri ke pulau tempat Hay tinggal.
Di
sana dia berjumpa dengan Hay. Setelah dia mengajari Hay tutur bahasa manusia,
maka mereka berdua pun mengadakan tukar pikiran. Di sinilah Ibnu Thufail
menggambarkan bagaimana alam pikiran Hay yang berkembang sendiri itu dapat saja
sesuai pendapatnya dengan alam pikiran si alim yang terpelajar dari masyarakat
ramai itu.
Suatu
waktu keduanya meninggalkan pulau terasing itu dan mengembara ke sebuah kota
yang ramai. Di sana keduanya mengajari orang banyak agar mereka menjauhi dunia.
Di tengah masyarakat ramai ini Hay malihat bagaimana manusia hidup berfoya-foya
dan mengejar kekayaan semata-mata. Mula-mula Hay mengkritik system zakat yang
dianggapnya menyebabkan orang
berlomba-lomba mengejar kekayaan. Akan tetapi, kritik Hay ini dibantah
oleh temannya bahwa zakat itu malahan yang menuntun orang banyak itu. Kekayaan
mereka diatur oleh agama untuk kebahagiaan orang-orang miskin.
Hay
kemudian mengerti maksud agama yang menuntun langsung cara praktis fitrah dan
keselamatan orang banyak itu. Akhirnya dalam buku ini dikatakan bagaimana Hay
dan temannya pulang kembali ke pulau tempat mereka mengasingkan diri hingga
meninggal.
Hayy
tumbuh sebagaimana lazimnya manusia biasa. Perkembangan kepribadiannya dilalui
melalui tujuh fase:
Fase pertama:
usia bayi sampai usia 7 tahun Hay disusui dan
dipelihara seekor kijang, hingga ia dapat belajar tindak tanduk dan
bahasa hewan sekelilingnya. Ia mulai menutupi tubuhnya, membuat tempat
berteduh, dan mempersenjatai dirinya. Bahkan, ia mulai menyimpan bahan makanan
untuk persiapan.
Fase kedua:
kijang yang memeliharanya mati. Hay berusaha untuk mengetahui penyebab kematian
kijang ini dan kematian binatang-binatang lainnya. Hasil penyelidikannya
menyimpulkan adanya jiwa (roh) yang merupakan daya sentral dan bersifat
immateri. Jiwa tersebut berfungsi sebagai penggerak jasad binatang-binatang.
Hay menemukan hal itu setelah melakukan pembedahan terhadap mayat-mayat
binatang. Pada tahap ini pula ia mengetahui fungsi setiap anggota badan dan
daya yang menggerakkannya.
Fase ketiga:
Hay mulai mengetahui api, kegunaan dan sumbernya. Dan pemikirannya tentang itu,
ia sampai kepada kesimpulan tentang adanya kausalitas yang menyebabkan adanya
tertib alam dan akal budi.
Fase keempat: usia 28 tahun Hay mulai mengetahui kesatuan
dan keberagaman pada jasad dan jiwa yang telah diamatinya. Pada tahap ini, ia
telah sampai kepada generalisasi dan klasifikasi berdasarkan kesatuan dan
keberagaman itu.
Fase kelima:
Hay melihat ke atas dan memperhatikan benda-benda langit. Dari pengamatannya
itu ia mengetahui astronomi. Namun, yang lebih penting lagi, dengan melihat
ketertiban dan keteraturan serta pergerakan dan perubahannya, ia memikirkan
kesamaan dengan bumi atau makhluk bumi dan menyimpulkan kepastian adanya
pergerak tertentu yang sama untuk semuanya.
Fase keenam: usia 28 tahun Hay menegaskan bahwa perbedaan
perjalanan antara jasad yang materi dengan jiwa yang immateri di samping
menemukan kepastian adanya pengerak yang disebut wajib al-wujud. Menurutnya
asal alam materi itu tidak mungkin materi lagi. Karena jika demikian, tentulah
ada rangkaian materi yang tidak pernah berujung (tasalsul). Jadi, asal pertama
ini haruslah immateri dan wajib al-wujud. Jasad itu berbeda perjalanannya
dengan jiwa. Jiwa yang immateri itulah yang dapat mengetahui wajib al-wujud dan
selalu tunduk kepada-Nya, dengan begitu jiwa tersebut akan abadi. Sebaliknya,
jiwa yang tidak . Jadi, asal pertama ini haruslah immateri dan wajib al-wujud.
Jasad itu berbeda perjalanannya dengan jiwa. Jiwa yang immateri itulah yang
dapat mengetahui wajib al-wujud dan selalu tunduk kepada-Nya, dengan begitu
jiwa tersebut akan abadi. Sebaliknya, jiwa yang tidak mengenal dan tunduk
kepada-Nya akan hancur. Hay memikirkan hal seperti itu hingga memasuki fase
ketujuh.
Fase ketujuh: Hay
berkesimpulan bahwa Tuhan itu pasti baik dan bijaksana, sempurna, penuh rahmat,
dan menjadi tujuan setiap manusia. Karena itu puncak kebahagiaan menurutnya
hanya dapat dicapai bila seseorang selalu berhubungan jiwanya dengan Tuhan
tanpa henti, selalu merenungkan dan memikirkannya serta melepaskan diri dari
dunia materi. Dengan perenungan yang demikian, seseorang akan sampai kepada
objek pengetahuan yang paling tinggi, yakni wajib al-wujud tadi, dan itulah
puncak yang senantiasa didambakan setiap manusia.
Kisah
Hayy yang ditulis oleh Ibnu Thufail ini memiliki implikasi tersendiri dalam
teori psikologi Perkembangan Islam. Implikasi itu diantaranya adalah : Pertama,
Manusia secara kodrati dan fitri telah memiliki potensi dasar untuk mengetahui,
memikirkan, dan merasakan sesuatu. Potensi itu dapat actual dan menjadi suatu
kepribadian apabila diusahakan. Tanpa diusahakan ia tidak akan menjadi actual.
Jadi manusia bukanlah netral apalagi kosong dari potensi atau kecenderungan; Kedua,
Perkembangan kepribadian manusia seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan
potensi nafsaniahnya. Artinya, pertumbuhan aspek fisik manusia memiliki
korelasi dengan perkembangan aspek psikis. Semakin tua usia fisik manusia maka
semakin meningkat tingkat kualitas pengetahuan dan pemikirannya.
Ketiga,
Lingkungan (seperti masyarakat, pendidikan dan kebudayaan) bukan satu-satunya
factor yang mempengaruhi dan membentuk kepribadian. Hayy merupakan sosok yang
hidup di hutan tanpa teman sesame manusia. Ia hanya berteman dengan binatang,
tetapi ia mampu mengembangkan kepribadiannya secara maksimal, bahkan lebih
unggul daripada masyarakat yang telah berbudaya dan beradab waktu itu; Keempat,
Manusia dan hewan memiliki kodrat dan potensi bawaan yang berbeda. Keduanya
walaupun hidup dalam satu ekosistem tetapi masing-masing akan memiliki hokum
perkembangan sendiri-sendiri. Perbedaan kepribadian itu bukan ditentukan oleh
kodrat dan potensi bawaannya. Oleh sebab itu, temuan-temuan dari hasil
eksperimentasi hewan tidak selalu dapat digunakan untuk mempelajari kepribadian
manusia, sebab keduanya memiliki substansi dan esensi yang berbeda.
Kelima,
Tuhan sebagai wajib al-wujud merupakan asal dan tujuan dari segala
perkembangan hidup manusia. Sebab Dia-lah yang menciptakan dan memberi potensi
bawaan. Manusia yang tidak memiliki kepribadian ilahiah berarti ia belum mampu
memfungsikan potensi dasarnya secara maksimal; Keenam, Kisah Hayy
tersebut mengandung tujuan yang lebih tinggi, bahwa agama bagi masyarakat maju
sama pentingnya dengan filsafat dan psikologi (=tasawuf). Teori perkembangan
seharusnya tidak hanya didasarkan atas pemikiran falsafi dan psikologi semata,
tetapi juga perlu ditemukan dengan konsep-konsep agama. Apabila konsep agama
belum mampu diintegrasikan dalam system psikologi kepribadian maka paling tidak
ia dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan, perbandingan, sehingga pada saat
agama menjadi frame of reference atau menjadi salah satu corak atau
mazhab dalam Psikologi Perkembangan.
Daftar Pustaka
Abdul Mujib, Jusuf Mudzakir, 2002, Nuansa-nuansa Psikologi Islam,
Raja Grafindo Persada, Jakarta