Social Icons

Senin, 17 November 2014

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kebahagiaan (Happiness)


Diener (dalam Carr, 2004) menyebutkan bahwa untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berkontribusi pada kebahagiaan bukanlah merupakan hal yang mudah. Tetapi pada kebanyakan penelitian menyebutkan bahwa faktor kepribadian dan demografis merupakan faktor utama yang menyebabkan dan berhubungan dengan kebahgaiaan (Carr, 2004; Argyle, 1999). Berikut ini adalah beberapa faktor yang mempengaruhi kebahagiaan seseorang (Argyle, 1999; Carr, 2004; Eddington & Shuman, 2005):

1.      Kepribadian
Berdasarkan penelitian mengenai kebahagiaan menunjukkan bahwa orang yang bahagia dan tidak bahagia memiliki profil kepribadian yang berbeda (Diener dkk dalam Carr, 2004). Hubungan antara trait kepribadian dan kebahagiaan tidak bersifat universal pada semua budaya. Pada budaya barat yang individualistik, orang yang bahagia adalah yang memiliki trait ekstraversi, optimis, harga diri yang tinggi dan locus of control internal. Sedangkan orang yang tidak bahagia adalah orang yang memiliki tingkat neurotik yang tinggi. Hal tersebut berbeda dengan orang-orang di budaya timur yang menganut budaya kolektivistik dimana faktor-faktor tersebut tidak berhubungan dengan kebahagiaan. Jadi nilai budaya menentukan trait kepribadian yang mempengaruhi kebahagiaan (Carr, 2004). Menurut Eddington & Shuman (2005) kepribadian menunjukkan peran yang lebih signifikan dibandingkan dengan peristiwa hidup spesifik lainnya dalam menentukan SWB.

2.      Variabel demografis
Faktor lain yang juga mempengaruhi kebahagiaan adalah variabel demografis dan lingkungan (Eddington & Shuman, 2005). Faktor-faktor demografis itu adalah:
a.       Jenis Kelamin
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perbedaan jenis kelamin merupakan faktor yang sangat kecil dalam menentukan kebahagiaan dan kepuasan hidup seseorang (Inglehart & Michalos dalam Eddington & Shuman, 2005).
b.      Usia
Pada banyak penelitian dan survey menunjukkan bahwa pengaruh usia terhadap kebahagiaan adalah kecil (Argyle, 1999).
c.       Pendidikan
Hubungan antara pendidikan dan kebahagiaan adalah kecil tetapi signifikan (Campbell, Cantril, Diener et al dalam Eddington & Shuman, 2005). Namun hubungan antara pendidikan dan kebahagiaan merupakan hasil dari korelasi antara pendidikan dengan status pekerjaan dan pendapatan (Campbell, Witter et al dalam Eddington & Shuman, 2005; Argyle, 1999).
d.      Pendapatan
Banyak penelitian yang menyebutkan bahwa pendapatan berhubungan dengan kebahagiaan Diener et al (1999). Secara umum, orang yang lebih kaya akan merasa lebih bahagia dibandingkan dengan orang yang lebih miskin (Eddington & Shuman, 2005).
e.       Perkawinan
Orang yang menikah memiliki kebahagiaan lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang tidak pernah menikah, bercerai, berpisah, atau janda (Eddington & Shuman, 2005). Pada beberapa negara, pasangan yang hidup ber­sama (kohabitasi) secara signifikan lebih bahagia dibandingkan dengan orang yang tinggal seorang diri (Kurdek, Mastekaasa dalam Eddington & Shu­­man, 2005). Perkawinan sering ditemukan menjadi salah satu fakrot ter­kuat yang berkorelasi dengan kebahagiaan (Glenn & Weaver dalam Argyle, 1­999),
f.       Pekerjaan
Orang yang bekerja akan lebih bahagia dibandingkan dengan orang yang tidak bekerja (Argyle, 1999; Eddington & Shuman, 2005). Orang yang tidak bekerja mempunyai tingkat stress yang lebih tinggi, kepuasan hidup yang lebih rendah dan kemungkinan bunuh diri yang lebih tinggi dibandinkan dengan orang yang bekerja (Eddington & Shuman, 2005).
g.      Kesehatan
Hubungan yang kuat antara kesehatan dan kebahagiaan muncul pada pengukuran kesehatan melalui self-report, tidak pada penilaian secara objektif oleh ahli. Maka dapat disimpulkan bahwa persepsi akan kesehatan menjadi lebih penting daripada kesehatan secara objektif dalam mempengaruhi kebahagiaan (Eddington & Shuman, 2005).
h.      Agama
Banyak survey yang menunjukkan bahwa kebahagiaan berkorelasi secara signifikan dengan agama, hubungan seseorang dengan Tuhan, pengalaman doa dan partisipasi di dalam aspek keagamaan (Eddington & Shuman, 2005).
i.        Waktu luang
Veenhoven et al (dalam Eddington & Shuman, 2005; Argyle, 1999) menunjukan bahwa kebahagiaan berkorelasi cukup tinggi dengan kepuasan waktu luang dan tingkatan aktivitas di waktu luang. Kegiatan yang dilakukan pada waktu luang dapat meningkatkan kebahagiaan, seperti aktivitas menyenangkan bersama teman, kegiatan olah raga, dan liburan. Sedangkan kegiatan menonton televisi di waktu luang terutama tontonan yang berat  kurang dapat meningkatkan bahagia (Eddington & Shuman, 2005; Argyle, 1999).
j.        Etnis
Etnis minoritas di suatu negara memiliki kebahagiaan yang lebih kecil karena berdasarkan pada rendahnya pendapatan, pendidikan, dan status pekerjaan yang diperoleh (Argyle, 1999).
k.      Peristiwa kehidupan
Intensitas peristiwa positif yang terjadi tidak banyak mempengaruhi kebahagiaan sebagian karena jarang terjadi (Argyle, 1999 Eddington & Shuman, 2005).
l.        Kompetensi
  Penelitian menunjukkan bahwa korelasi antara kompetensi inteligensi dan kebahagiaan sangat kecil tetapi positif. Kebahagiaan juga berhubungan dengan kerja sama, kepemimpinan dan kemampuan heteroseksual (Argyle, 1999 Eddington & Shuman, 2005).

Rabu, 22 Oktober 2014

Pulau Bira, Kepulauan Seribu

Pemandangan pulau bira di Kepulauan Seribu, Jakarta ini sungguh indah. Pasirnya yang putih, deburan ombak, dan I feel free :D

Kami menginap di pulau kelapa, siang hari kami berkunjung di Pulau Bira ini. Karena kami datang berlibur bukan di hari libur, pulaunya serasa milik sendiri saja.


Bagi kamu yang mencintai keindahan alam, kunjungi saja ke Pulau Bira yang sangat indah ini. Gak bakalan nyesel, yang ada hanya mengagumi keindahan alamnya. Pas saya di pulau ini, mulai muncul keisengan saya yang mengumpulkan kerang-kerang yang warnanya ungu dan lucu menurut saya. Dan saya bawa pulang kerang itu lalu disimpan di aquarium. (sstt jangan ditiru).

Senin, 08 September 2014

Holiday in Bandung

Sengaja saya posting beberapa foto ketika jalan-jalan. Kali ini saya bersama rekan-rekan berkunjung ke Bandung. Kami berenam pergi bersama-sama naik mobil avanza dan menyetir secara bergantian. Disinilah mulainya kami backpaker.. mulai dari mandi di SPBU, menginap di rumah saudara teman, sampai siang-siang tidur di masjid karena ngantuk akibat begadang. ulah anak muda jaman sekarang ya.. cckckck
Awal mula memasuki kawasan Bandung itu menjelang subuh. Kami berangkat dari Jakarta sekitar jam 1. Di perjalanan sebagian dari kami ngemil, tidur, nikmatin musik, bahkan ada yang ingin sekali melihat kilometer cikampek yang rawan kecelakaan. 
Sesampainya di kawasan Bandung, kami mandi seadaanya dan bergantian dan shalat subuh di mushola SPBU. Bagi kami yang tidak terbiasa dengan suhu yang dingin, pagi itu sangat dingin sekali. 
Setelah urusan pribadi selesai, kami menuju Tangkuban Perahu. Viewnya bagus sekali apalagi kami dateng pagi. Pohon-pohon yang menjulang tinggi sunggu membuat kami terpesona karena di Jakarta tidak ada pemandangan yang seperti itu. Real. :D
Sebelum di dekat gunung tangkuban perahu, kami foto-foto dulu nih di gerbangnya. Bergantian yang jadi fotografernya.
                                                         (dick, devi, saya, ferdi, khafid)

                                               (uda salman, saya, ferdi, devi, khafid)









begitulah pemirsah, ini adalah liburan di awal tahun 2014 (kalo ga salah). Karena jika kami berlibur bersama kembali lalu foto, akan banyak perubahan badan. Mereka berubah menjadi kurus. 

Jumat, 18 Juli 2014

PERKEMBANGAN KOGNITIF DAN BAHASA VYGOTSKY

A.     PENGANTAR
Perkembangan kognitif dan bahasa anak-anak tidak berkembang dalam suatu situasi sosial yang hampa. Lev Vygotsky (1896-1934), seorang psikolog berkebangsaan Rusia, mengenal poin penting tentang pikiran anak ini lebih dari setengah abad yang lalu. Teori Vygotsky mendapat perhatian yang makin besar ketika memasuki akhir abad ke-20.
Sezaman dengan Piaget, Vygotsky menulis di Uni Soviet selama 1920-an dan 1930-an. Namun, karyanya baru dipublikasikan di dunia Barat pada tahun 1960-an. Sejak saat itulah, tulisan-tulisannya menjadi sangat berpengaruh. Vygotsky adalah pengagum Piaget. Walaupun setuju dengan Piaget bahwa perkembangan kognitif terjadi secara bertahap dan dicirikan dengan gaya berpikir yang berbeda-beda, tetapi Vygotsky tidak setuju dengan pandangan Piaget bahwa anak menjelajahi dunianya sendirian dan membentuk gambaran realitas batinnya sendiri.

B.     KONSEP SOSIOKULTURAL
Banyak developmentalis yang bekerja di bidang kebudayaan dan pembangunan menemukan dirinya sepaham dengan Vygotsky, yang berfokus pada konteks pembangunan sosial budaya. Teori Vygotsky menawarkan suatu potret perkembangan manusia sebagai sesuatu yang tidak terpisahkan dari kegiatan-kegiatan sosial dan budaya. Vygotsky menekankan bagaimana proses-proses perkembangan mental seperti ingatan, perhatian, dan penalaran melibatkan pembelajaran menggunakan temuan-temuan masyarakat seperti bahasa, sistem matematika, dan alat-alat ingatan. Ia juga menekankan bagaimana anak-anak dibantu berkembang dengan bimbingan dari orang-orang yang sudah terampil di dalam bidang-bidang tersebut. Penekanan Vygotsky pada peran kebudayaan dan masyarakat di dalam perkembangan kognitif berbeda dengan gambaran Piaget tentang anak sebagai ilmuwan kecil yang kesepian.
Piaget memandang anak-anak sebagai pembelajaran lewat penemuan individual, sedangkan Vygotsky lebih banyak menekankan peranan orang dewasa dan anak-anak lain dalam memudahkan perkembangan si anak. Menurut Vygotsky, anak-anak lahir dengan fungsi mental yang relatif dasar seperti kemampuan untuk memahami dunia luar dan memusatkan perhatian. Namun, anak-anak tak banyak memiliki fungsi mental yang lebih tinggi seperti ingatan, berfikir dan menyelesaikan masalah. Fungsi-fungsi mental yang lebih tinggi ini dianggap sebagai ”alat kebudayaan” tempat individu hidup dan  alat-alat itu berasal dari budaya. Alat-alat itu diwariskan pada anak-anak oleh anggota-anggota kebudayaan yang lebih tua  selama pengalaman pembelajaran yang dipandu. Pengalaman dengan orang lain secara berangsur menjadi semakin mendalam dan membentuk gambaran batin anak tentang dunia. Karena itulah berpikir setiap anak dengan cara yang sama dengan anggota lain dalam kebudayaannya.
Vygotsky menekankan baik level konteks sosial yang bersifat institusional maupun level konteks sosial yang bersifat interpersonal. Pada level institusional, sejarah kebudayaan menyediakan organisasi dan alat-alat yang berguna bagi aktivitas kognitif melalui institusi seperti sekolah, penemuan seperti komputer, dan melek huruf. Interaksi institusional memberi kepada anak suatu norma-norma perilaku dan sosial yang luas untuk membimbing hidupnya. Level interpersonal memiliki suatu pengaruh yang lebih langsung pada keberfungsian mental anak. Menurut vygotsky (1962), keterampilan-keterampilan dalam keberfungsian mental berkembang melalui interaksi sosial langsung. Informasi tentang alat-alat, keterampilan-keterampilan dan hubungan-hubungan interpersonal kognitif dipancarkan melalui interaksi langsung dengan manusia. Melalui pengorganisasian pengalaman-pengalaman interaksi sosial yang berada di dalam suatu latar belakang kebudayaan ini, perkembangan mental anak-anak menjadi matang.

C.     PERKEMBANGAN BAHASA
Para pakar perilaku memandang bahasa sama seperti perilaku lainnya, misalnya duduk, berjalan, atau berlari. Mereka berpendapat bahwa bahasa hanya merupakan urutan respons (Skinner,1957) atau sebuah imitasi (Bandura, 1977). Tetapi banyak diantara kalimat yang kita hasilkan adalah baru, kita tidak mendengarnya atau membicarakannya sebelumnya.
Kita tidak mempelajari bahasa di dalam suatu ”ruang hampa sosial” (social vacuum). Kebanyakan anak-anak diajari bahasa sejak usia yang sangat muda. Kita memerlukan pengenalan kepada bahasa yang lebih dini untuk memperoleh keterampilan bahasa yang baik (Adamson,1992; Schegloff,1989). Dewasa ini, kebanyakan peneliti penguasaan bahasa yakin bahwa anak-anak dari berbagai konteks sosial yang luas menguasai bahasa ibu mereka tanpa diajarkan secara khusus dan dalam beberapa kasus tanpa penguatan yang jelas ( Rice,1993). Dengan demikian aspek yang penting dalam mempelajari suatu bahasa tampaknya tidaklah banyak. Walaupun begitu, proses pembelajaran bahasa biasanya memerlukan lebih banyak dukungan dan keterlibatan dari pengasuh dan guru. Suatu peran lingkungan yang membangkitkan rasa ingin tahu dalam penguasaan bahasa pada anak kecil disebut motherese, yakni cara ibu dan orang dewasa sering berbicara pada bayi dengan frekuensi dan hubungan yang lebih luas dari pada normal, dan dengan kalimat-kalimat yang sederhana.
Bahasa dipahami dalam suatu urutan tertentu. Pada setiap tahap di dalam tahap perkembangan, interaksi linguistik anak dengan orang tua dan orang lain pada dasarnya mengikuti suatu prinsip tertentu ( Conti-Ramsden & Snow, 1991; Maratsos, 1991). Perkembangan pemahaman bahasa pada anak bukan saja sangat dipengaruhi oleh kondisi biologis anak, tetapi lingkungan bahasa di sekitar anak sejak usia dini jauh lebih penting dibandingkan dengan apa yang diperkirakan di masa lalu ( Von Tetzchner & Siegel, 1989).
Vygotsky lebih banyak menekankan bahasa dalam perkembangan kognitif daripada Piaget. Bagi Piaget, bahasa baru tampil ketika anak sudah mencapai tahap perkembangan yang cukup maju. Pengalaman berbahasa anak tergantung pada tahap perkembangan kognitif saat itu. Namun, bagi Vygotsky, bahasa berkembang dari interaksi sosial dengan orang lain. Awalnya, satu-satunya fungsi bahasa adalah komunikasi. Bahasa dan pemikiran berkembang sendiri, tetapi selanjutnya anak mendalami bahasa dan belajar menggunakannya sebagai alat untuk membantu memecahkan masalah. Dalam tahap praoperasional, ketika anak belajar menggunakan bahasa untuk menyelesaikan masalah, mereka berbicara lantang sembari menyelesaikan masalah. Sebaliknya, begitu menginjak tahap operasional konkret, percakapan batiniah tidak terdengar lagi.

D.     ZONE PERKEMBANGAN PROKSIMAL
Meskipun pada akhirnya anak-anak akan mempelajari sendiri beberapa konsep melalui pengalaman sehari-hari, Vygotsky percaya bahwa anak akan jauh lebih berkembang jika berinteraksi dengan orang lain. Anak-anak tidak akan pernah mengembangkan pemikiran operasional formal tanpa bantuan orang lain.
Pada satu sisi, Piaget menjelaskan proses perkembangan kognitif sejalan dengan kemajuan anak-anak, dan dia menggambarkan bahwa  anak-anak mampu melakukan sesuatu sendiri. Pada sisi lain, Vygotsky mencari pengertian bagaiman anak-anak berkembang dengan melalui proses belajar, dimana fungsi-fungsi kognitif belum matang, tetapi masih dalam proses pematangan. Vygotsky membedakan antara aktual development dan potensial development pada anak. Aktual development ditentukan apakah seorang anak dapat melakukan sesuatu tanpa bantuan orang dewasa atau guru. Sedangkan potensial development membedakan apakah seorang anak dapat melakukan sesuatu, memecahkan masalah di bawah petunjuk orang dewasa atau kerjasama dengan teman sebaya.
Menurut teori Vygotsky, Zona Perkembangan Proksimal merupakan celah antara actual development dan potensial development, dimana antara apakah seorang anak dapat melakukan sesuatu tanpa bantuan orang dewasa dan apakah seorang anak dapat melakukan sesuatu dengan arahan orang dewasa atau kerjasama dengan teman sebaya.
Maksud dari ZPD adalah menitikberatkan ZPD pada interaksi sosial akan dapat memudahkan perkembangan anak. Ketika siswa mengerjakan pekerjaanya di sekolah sendiri, perkembangan mereka kemungkinan akan berjalan lambat. Untuk memaksimalkan perkembangan, siswa seharusnya bekerja dengan teman yang lebih terampil yang dapat memimpin secara sistematis dalam memecahkan masalah yang lebih kompleks. Melalui perubahan yang berturut-turut dalam berbicara dan bersikap, siswa mendiskusikan pengertian barunya dengan temannya kemudian mencocokkan dan mendalami kemudian menggunakannya. Sebuah konsekuensi pada proses ini adalah bahwa siswa belajar untuk pengaturan sendiri (self-regulasi).

E.      KONSEP SCAFFOLDING
Scaffolding merupakan suatu istilah yang ditemukan oleh seorang ahli psikologi perkembangan-kognitif masa kini, Jerome Bruner, yakni suatu proses yang digunakan orang dewasa untuk menuntun anak-anak melalui zona perkembangan proksimalnya.
Pengaruh karya Vygotsky dan Bruner terhadap dunia pengajaran dijabarkan oleh Smith et al. (1998).
1.     Walaupun Vygotsky dan Bruner telah mengusulkan peranan yang lebih penting bagi orang dewasa dalam pembelajaran anak-anak daripad peran yang diusulkan Piaget, keduanya tidak mendukung pengajaran didaktis diganti sepenuhnya. Sebaliknya mereka malah menyatakan, walaupun anak tetap dilibatkan dalam pembelajaran aktif, guru harus secara aktif mendampingi setiap kegiatan anak-anak. Dalam istilah teoritis, ini berarti anak-anak bekerja dalam zona perkembangan proksimal dan guru menyediakan scaffolding bagi anak selama melalui  ZPD.
2.      Secara khusus Vygotsky mengemukakan bahwa disamping guru, teman sebaya juga berpengaruh penting pada perkembangan kognitif anak.berlawanan dengan pembelajaran lewat penemuan individu (individual discovery learning), kerja kelompok secara kooperatif (cooperative groupwork) tampaknya mempercepat perkembangan anak.
3.      Gagasan tentang kelompok kerja kreatif ini diperluasa menjadi pengajaran pribadi oleh teman sebaya (peer tutoring), yaitu seorang anak mengajari anak lainnya yang agak tertinggal dalam pelajaran. Foot et al. (1990) menjelaskan keberhasilan pengajaran oleh teman sebaya ini dengan menggunakan teori Vygotsky. Satu anak bisa lebih efektif membimbing anak lainnya melewati ZPD karena mereka sendiri baru saja melewati tahap itu sehingga bis adengan mudah melihat kesulitan-kesulitan yang dihadapi anak lain dan menyediakan scaffolding yang sesuai.
Komputer juga dapat digunakan untuk meningkatkan pembelajaran dalam berbagai cara. Dari perspektif pengikut Vygotsky-Bruner, perintah-perintah di layar komputer merupakan scaffolding (Crook, 1994). Ketika anak menggunakan perangkat lunak (software) pendidikan, komputer memberikan bantuan atau petunjuk secara detail seperti yang diisyaratkan sesuai dengan kedudukan anak yang sedang dalam ZPD. Tak pelak lagi, beberapa anak di kelas lebih terampil dalam menggunakan komputer sehingga bisa berperan sebagai tutor bagi teman sebayanya. Dengan murid-murid yang bekerja dengan komputer, guru bisa dengan bebas mencurahkan perhatinnya kepada individu-individu yang memerlukan bantuan dan menyiapkan scaffolding yang sesuai bagi masing-masing anak.

F.      KONSTRUKTIVISME
Pendekatan konstruktivisme pada pendidikan berusaha merubah pendidikan dari dominasi guru menjadi pemusatan pada siswa. Peranan guru adalah membantu siswa mengembangkan pengertian baru. Siswa diajarkan bagaimana mengasimilasi pengalamn, pengetahuan, dan pengertiannya dan apakah mereka siap untuk tahu dari pembentukan pengertian baru ini. Pada bagian ini, kita melihat permulaan aliran konstruktivisme , peranan pengalaman siswa dalam belajar dan bagaiman dapat mengasimilasi pengertiannya.
Konstruktivisme adalah suatu teori belajar yang mempunyai suatu pedoman dalam filosofi dan antropologi sebaik psikologi. Pedoman filosofi pada teori ni ditemukan pada abad ke-5 sebelum masehi. Ketika Socrates memajukan pemikiran dari level sophist oleh metode perkembangan sistematis yang ditemukan melalui gabungan antara pertanyaan dan alasan logika. Metode baru ini yang mengkontribusi secara besar-besaran untuk memajukan aspek pemecahan masalah aliran konstruktivisme.
Penyelidikan atau pengalaman fisik, pengalaman pendidikan adalah kunci metode konstruktivisme. Selama abad ke-18 dan ke-17, filosof Inggris ” Frances Bacon” memberikan ilmu metode untuk menyelidiki lingkungan. 
Pendukung konstruktivisme percaya bahwa pengalaman melalui lingkungan, kita akan mengikat informasi yang kita peroleh dari pengalaman ini ke dalam pengertian sebelumnya, membentuk pengertian baru. Dengan kata lain, pada proses belajar masing-masing pelajar harus mengkreasikan pengetahuannya. Pada konstruktivis, kegiatan mengajar adalah proses membantu pelajar-pelajar mengkreasikan pengetahuannya. Konstruktivisme percaya bahwa pengetahuan tidak hanya kegiatan penemuan yang memungkinkan untuk dimengerti, tetapi pengetahuan merupakan cara suatu informasi baru berinteraksi dengan pengertian sebelumnya dari pelajar.
Para konstruktivisme menekankan peranan motivasi guru untuk membantu siswa belajar mencintai pelajaran. Tidak seprti behaviorist, yang menggunakan sangsi berupa reward, sedangkan konstruktivisme percaya bahwa motivasi internal, seperti kesenangan pada pelajaran lebih kuat daripada reward eksternal.
Konstruktivisme yang mempunyai pengaruh besar pada tahun 1930 yang bekerja sebagai ahli Psikologi Rusia adalah L.S. Vygotsky, yang sangat tertarik pada efek interaksi siswa dengan teman sekelas pada pelajaran. Jaramillo (1996) menjelaskan, Vygotsky mencatat bahwa interaksi individu dengan orang lain berlangsung pada situasi sosial. Vygotsky percaya bahwa subyek yang dipelajari berpengaruh pada proses belajar, dan mengakui bahwa tiap-tiap disiplin ilmu mempunyai metode pembelajaran tersendiri. Vygotsky adalah seorang guru yang tertarik untuk mendesign kurikulum sebagai fasilitas dalam interaksi siswa.

Kamis, 10 Juli 2014

Definisi Minat dan Macam-Macam Tes Minat


Definisi Minat
Minat didefinisikan berbeda oleh beberapa orang ahli namun memiliki tujuan yang sama. Masing-masing ahli mendefinisikannya sesuai dengan pandangan dan disiplin keilmuan masing-masing. Keinginan atau minat dan kemauan atau kehendak sangat memengaruhi corak perbuatan yang akan dilakukan seseorang. Minat/keinginan erat hubungannya dengan perhatian yang dimiliki. Karena perhatian mengarahkan timbulnya kehendak pada seseorang. Kehendak atau kemauan ini juga erat hubungannya dengan kondisi fisik seseorang misalnya dalam keadaan sakit, capai, lesu atau mungkin sebaliknya yakni sehat dan segar. Juga erat hubungannya dengan kondisi psikis seperti senang, tidak senang, tegang, bergairah dan seterusnya (Sobur, 2003:246).

Menurut kamus lengkap psikologi, minat (interest) adalah (1) satu sikap yang berlangsung terus menerus yang memolakan perhatian seseorang, sehingga membuat dirinya jadi selektif terhadap objek minatnya, (2) perasaan yang menyatakan bahwa satu aktivitas, pekerjaan, atau objek itu berharga atau berarti bagi individu, (3) satu keadaan motivasi, atau satu set motivasi, yang menuntun tingkah laku menuju satu arah (sasaran) tertentu (dalam Chaplin, 2008:255).

Menurut Crow & Crow (dalam Abror, 1993:112) minat adalah sesuatu yang berhubungan dengan daya gerak yang mendorong kita cenderung atau merasa tertarik pada orang, benda, kegiatan ataupun bisa berupa pengalaman yang efektif yang dirangsang oleh kegiatan itu sendiri.

Rast, Harmin dan Simon (dalam Mulyati, 2004:46) menyatakan bahwa dalam minat itu terdapat hal-hal pokok diantaranya: (1) adanya perasaan senang dalam diri yang memberikan perhatian pada objek tertentu, (2) adanya ketertarikan terhadap objek tertentu, (3) adanya aktivitas atas objek tertentu, (4) adanya kecenderungan berusaha lebih aktif, (5) objek atau aktivitas tersebut dipandang fungsional dalam kehidupan dan (6) kecenderungan bersifat mengarahkan dan mempengaruhi tingkah laku individu.

Definisi minat menurut Shaleh (2004:262) adalah suatu kecenderungan untuk memberikan perhatian dan bertindak terhadap orang, aktivitas atau situasi yang menjadi objek dari minat tersebut dengan disertai perasaan senang.

Jadi minat merupakan kecenderungan atau arah keinginan terhadap sesuatu untuk memenuhi dorongan hati, minat merupakan dorongan dari dalam diri yang mempengaruhi gerak dan kehendak terhadap sesuatu, merupakan dorongan kuat bagi seseorang untuk melakukan segala sesuatu dalam mewujudkan pencapaian tujuan dan cita-cita yang menjadi keinginannya.

TES MINAT
Pengantar
Pada dasarnya para ahli psikologi sepakat bahwa minat dipandang sebagai aspek non kognitif yang sama sekali berbeda dengan aspek kognitif. Sebagai konsekuensinya,untuk mengetahui minat seseorang digunakan instrumen (yang antara lain berupa tes)yang harus tidak mengungkap aspek kognitif, yang biasanya disebut kemampuan.Sejarah tes minat dimulai tahun 1921 dengan diterbitkannya tes minat yang pertama, yakni Carnegie Interest Inventory.

Penerapan Tes Minat
Pada umumnya hasil tes minat digunakan dalam 3 bidang terapan, seperti yangdiuraikan dibawah ini. Perlu dicatat bahwa berdasarkan pengamatan jarang ditemuisuatu hasil tes minat digunakan secara eksklusif dengan mengabaikan hasil pengukuranterhadap aspek kognitif dan aspek non kognitif yang lain, seperti : tes inteligensi, tes bakat, ataupun tes kepribadian.Berikut ini 4 bidang terapan hasil tes minat :1.Konseling Karier 2.Konseling Pekerjaan3.Penjurusan Siswa

Macam-macam Tes Minat
Diantara berbagai tes minat, berikut ini akan diuraikan secara ringkas 5 tes minat yang dipandang memiliki prospek penggunaan yang cerah.

1.Strong Vocational Interest Blank (SVIB)
Pertama kali dipublikasikan tahun 1927. Pada edisi tahun 1966 terdapat 399 itemyang mengukur 54 macam pekerjaan untuk pria. Bentuk yang lain digunakan khususuntuk 32 macam pekerjaan wanita. Tes minat ini bertahan sampai 22 tahun. Hal iniditeliti antara lain pada mahasiswa kedokteran, ternyata minat mereka tetap tinggisetelah bekerja lama sebagai dokter (riset di Stanford).

2.SCII 
Tes ini dibuat untuk mengatasi kelemahan SVIB. Bentuk untuk pria yang terpisahdari wanita disatukan dalam SCII. Studi yang impresif dilakukan untuk 437 macam pekerjaan. Terdapat 6 faktor kepribadaian yang berkaitan dengan minat, yaitu : realistic, investigative, artistic, social, enterprising, dan konvensional.
Lebih jauh dalamSCII hal tersebut diterjemahkan menjadi :(1). Pekerjaan : 131 item (contoh item : aktris, pengacara, sekretaris)(2). Subjek sekolah : 36 item (contoh item : aljabar, ekonomi)(3). Aktivitas : 51 item (contoh item : memasak, melihat, operasi)(4). Hiburan : 39 item (contoh item : memancing, tinju)(5). Tipe orang : 24 item (contoh item : perwira militer, penari)(6). Preferensi antara 2 aktivitas : 30 item (contoh item : jadi pilot atau petugas biro perjalanan)(7). Karakteristik anda : 14 item (contoh item : sabar ketika mengajar)

3.Tes Kuder
Terdiri dari atas berbagai macam format/ bentuk, antara lain :
(1).Kuder Preference Record – Vocational (KPR-V)
(2).Kuder General Interest Survey (KGIS)
(3).Kuder Occupational Interest Survey (KOIS)
Tes Kuder yang sering digunakan di Indonesia adalah dengan bentuk KPR-V.
Kuder Preference Record – Vocational (KPR-V)
KPR-V menyajikan 10 macam/kelompok/bidang pekerjaan yang luas, yaitu :(1). Pekerjaan lapangan (Outdoor)(2). Meknaik (3). Komputasi(4). Ilmiah (Science)(5). Persuasif (6). Artistik (7). Sastra(8). Musik (9). Pelayanan Sosial(10). Klerikal (Sekretaris/ kantoran)Selain 10 bidang pekerjaan itu terdapat subskala, yaitu verifikasi, yang bukanmerupakan pengukur minat pekerjaan. Verifikasi digunakan sebagai cek kejujuran dankecermatan dalam memberikan jawaban. Hal ini dapat dipahami, karena pengukuranminat (kemampuan non kognitif) memiliki kelemahan yang sukar dihindari. Yaitukemungkinan subjek memberikan jawaban yang sebenarnya tidak cocok dengankeadaan dirinya, tetapi merupakan jawaban yang dikehendaki oleh orang lain.Ke-10 bidang pekerjaan ditambah dengan subskala Verifikasi itu diukur melalui 168 pasang pernyataan (14 pasang x 12 halaman).Setiap nomor pada KPR-V terdiri atas 3 pernyataan, subjek disuruh memilih 1 pernyataan yang paling disukai dan 1 pernyataan yang paling tidak disukai. Setiap pernyataan merupakan satu aktivitas dalam pekerjaan tertentu.Waktu untuk mengerjakan pada skala yang asli hanya berkisar 30 – 40 menit, tetapi pada bentuk skala yang berbahasa Indonesia memerlukan waktu 2 kali lipat, yaitu 60menit.

4.Minnesota Vocational Interest Inventory (MVII)
Dasarnya adalah 9 minat dasar seperti SVIB, termasuk mekanik, elektronik, dan catering (pelayanan makanan).

5.RMIB (Rothwell Miller Interest Blank)
Pengantar :

Menurut sejarahnya, tes tersebut disusun oleh Rothwell pertama kali pada tahun1947. Saat itu tes ini hanya memiliki 9 jenis katagori dari jenis-jenis pekerjaan yangada. Kemudian pada tahun 1958, tes diperluas dari 9 katagori menjadi 12 katagori olehKenneth Miller. Sejak saat itu, tes minat tersebut menjadi Test Interest Rothwell-Miller atau yang lebih dikenal dengan Tes RMIB ( Rothwell Miller Interest Blank)

Minggu, 08 Juni 2014

Hubungan Self Esteem(Kepercayaan Diri) dengan Agresi


Low self esteem dan agresi, banyak Literatur dan penelitian yang menjelaskan bahwa tingkat Self Esteem berhubungan dengan agresivitas, penelitian Papps & O’Carroll menegaskan bahwa Self estem yang rendah berhubungan dengan tingkat agresivitas, beberapa peneliitian tersebut menunjukkan bahwa harga diri rendah merupakan sumber agresi. Analisis berbagai tindakan agresif dan kekerasan berfokus pada pelaku dengan harga diri yang rendah. Misalnya, rendah harga diri merupakan karakteristik umum kekerasan antar geng-geng pemuda (Anderson, 1994), dan remaja akhir yang merasa dirinya memiliki kecenderungan agresif ( Gjerde, Block , & Block , 1988).

Mengapa harga diri yang rendah dapat berkorelasi dengan agresi. Misalnya, salah satu teori menyatakan bahwa harga diri rendah dapat menyebabkan kekerasan karena sumber harga diri yang terbatas pada orang tersebut; dengan demikian, orang-orang dengan Low Self Esteem menjadikan agresi sebagai sumber alternative dari hargadiri mereka (Papps & O'Carroll,1998). Pandangan terkait lainnya bahwa orang harga diri yang rendah aktif mendominasi atau melakukan agresi pada orang lain dalam berusaha untuk meningkatkan harga diri mereka (Toch , 1993).

Selain itu bahwa tidak hanya orang yang memiliki self esttem rendah saja yang melakukan agresi orang-orang dengan harga diri tinggi juga berkorelasi dengan agresi. Menurut Baumeister dan rekan, sebagian besar peneliti menganggap korelasi antara harga diri dan agresi. Baumeister et al (1996). Berteori bahwa harga diri yang tinggi merupakan sumber agresi. (1996) Model Baumeister et al menegaskan bahwa konsep diri meningkat, dikombinasikan dengan evaluasi negatif oleh orang lain, menyebabkan ketidaksesuaian antara penilaian internal dan eksternal. Sehingga menimbulkan potensi-potensi agresivitas sebagai bentuk penolakan atas penilaian eksternal yang merendahkan harga diri mereka.

Kesimpulanya berdasarkan penjelasan diatas terdapat hubungan kedua ekstrem harga diri tersbut berkorelasi agresi. Bahwa ada hubungan lengkung antara agresi dan harga diri sehingga orang-orang dengan harga diri rendah dan tinggi akan melaporkan lebih agresif
Perilaku dibandingkan dengan lebih moderat harga diri

Sabtu, 03 Mei 2014

Pengertian dan Penyebab Stress


Pengertian Stress
Menurut Lazarus & Folkman (1986) stres adalah keadaan internal yang dapat diakibatkan oleh tuntutan fisik dari tubuh atau kondisi lingkungan dan sosial yang dinilai potensial membahayakan, tidak terkendali atau melebihi kemampuan individu untuk mengatasinya. Stres juga adalah suatu keadaan tertekan, baik secara fisik maupun psikologis (Chapplin, 1999). Stres juga diterangkan sebagai suatu istilah yang digunakan dalam ilmu perilaku dan ilmu alam untuk mengindikasikan situasi atau kondisi fisik, biologis dan psikologis organisme yang memberikan tekanan kepada organisme itu sehingga ia berada diatas ambang batas kekuatan adaptifnya. (McGrath, dan Wedford dalam Arend dkk, 1997).
Menurut Lazarus & Folkman (1986) stres memiliki memiliki tiga bentuk yaitu:
1.      Stimulus, yaitu stres merupakan kondisi atau kejadian tertentu yang menimbulkan stres atau disebut juga dengan stresorr.
2.      Respon, yaitu stres yang merupakan suatu respon atau reaksi individu yang muncul karena adanya situasi tertentu yang menimbulkan stres. Respon yang muncul dapat secara psikologis, seperti: jantung berdebar, gemetar, pusing, serta respon psikologis seperti: takut, cemas, sulit berkonsentrasi, dan mudah tersinggung.
3.      Proses, yaitu stres digambarkan sebagai suatu proses dimana individu secara aktif dapat mempengaruhi dampak stres melalui strategi tingkah laku, kognisi maupun afeksi.
Rice (2002) mengatakan bahwa stres adalah suatu kejadian atau stimulus lingkungan yang menyebabkan individu merasa tegang. Atkinson (2000) mengemukakan bahwa stres mengacu pada peristiwa yang dirasakan membahayakan kesejahteraan fisik dan psikologis seseorang. Situasi ini disebut sebagai penyebab stres dan reaksi individu terhadap situasi stres ini sebagai respon stres.
Sarafino (2008) mengartikan stres adalah kondisi yang disebabkan oleh interaksi antara individu dengan lingkungan, menimbulkan persepsi jarak antara tuntutan-tuntutan yang berasal dari situasi yang bersumber pada sistem biologis, psikologis dan sosial dari seseorang.
Ivancevich (2001), mendefinisikan stres sebagai respon adaptif yang dimediasi oleh perbedaan individu dan proses psikologi yang merupakan konsekuensi dari keadaan eksternal, situasi atau kejadian yang berdampak pada keadaan fisik atau psikologis seseorang.
Wijono (2006), Stres adalah reaksi alami tubuh untuk mempertahankan diri dari tekanan secara psikis. Tubuh manusia dirancang khusus agar bisa merasakan dan merespon gangguan psikis ini. Tujuannya agar manusia tetap waspada dan siap untuk menghindari bahaya. Kondisi ini jika berlangsung lama akan menimbulkan perasaan cemas, takut dan tegang.
Berdasarkan berbagai penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa stres merupakan suatu keadaan yang menekan diri individu. Stres merupakan mekanisme yang kompleks dan menghasilkan respon yang saling terkait baik fisiologis, psikologis, maupun perilaku pada individu yang mengalaminya, dimana mekanisme tersebut bersifat individual yang sifatnya berbeda antara individu yang satu dengan individu yang lain.
Penyebab Stress/ Stresor
Stresor adalah faktor-faktor dalam kehidupan manusia yang mengakibatkan terjadinya respon stres. Stresorr dapat berasal dari berbagai sumber, baik dari kondisi fisik, psikologis, maupun sosial dan juga muncul pada situasi kerja, dirumah, dalam kehidupan sosial, dan lingkungan luar lainnya. Istilah stresorr diperkenalkan pertama kali oleh Selye (dalam Rice, 2002). Menurut Lazarus & Folkman (1986) stresorr dapat berwujud atau berbentuk fisik (seperti polusi udara) dan dapat juga berkaitan dengan lingkungan sosial (seperti interaksi sosial). Pikiran dan perasaan individu sendiri yang dianggap sebagai suatu ancaman baik yang nyata maupun imajinasi dapat juga menjadi stresorr.
Menurut Lazarus & Cohen (1977), tiga tipe kejadian yang dapat menyebabkan stres yaitu:
a.       Daily hassles yaitu kejadian kecil yang terjadi berulang-ulang setiap hari seperti masalah kerja di kantor, sekolah dan sebagainya.
b.      Personal stresor yaitu ancaman atau gangguan yang lebih kuat atau kehilangan besar terhadap sesuatu yang terjadi pada level individual seperti kehilangan orang yang dicintai, kehilangan pekerjaan, masalah keuangan dan masalah pribadi lainnya.

Ditambahkan Freese Gibson (dalam Rachmaningrum, 1999) umur adalah salah satu faktor penting yang menjadi penyebab stres, semakin bertambah umur seseorang, semakin mudah mengalami stres. Hal ini antara lain disebabkan oleh faktor fisiologis yang telah mengalami kemunduran dalam berbagai kemampuan seperti kemampuan visual, berpikir, mengingat dan mendengar.
Morris (1990) mengklasifikasikan stresor ke dalam lima kategori, yaitu:
1)      Frustasi (Frustration) terjadi ketika kebutuhan pribadi terhalangi dan seseorang gagal dalam mencapai tujuan yang diinginkannya. Frustrasi dapat terjadi sebagai akibat dari keterlambatan, kegagalan, kehilangan, kurangnya sumber daya, atau diskriminasi.
2)      Konflik (Conflicts), jenis sumber stres yang kedua ini hadir ketika pengalaman seseorang dihadapi oleh dua atau lebih motif secara bersamaan. Morris (1990) mengidentifikasi empat jenis konflik yaitu: approach-approach, avoidence-avoidence, approach-avoidence, dan multiple approach-avoidance conflict.
3)      Tekanan (Pressure), jenis dari sumber stress yang ketiga yang diakui oleh Morris, tekanan didefinisikan sebagai stimulus yang menempatkan individu dalam posisi untuk mempercepat, meningkatkan kinerjanya, atau mengubah perilakunya.
4)      Mengidentifikasi perubahan (Changes), tipe sumber stres yang keempat ini seperti hal nya yang ada di seluruh tahap kehidupan, tetapi tidak dianggap penuh tekanan sampai mengganggu kehidupan seseorang baik secara positif maupun negative
5)      Self-Imposed merupakan sumber stres yang berasal dalam sistem keyakinan pribadi pada seseorang, bukan dari lingkungan. Ini akan dialami oleh seseorang ketika ada tidaknya stres eksternal yang nyata.




Morris (1990) juga mengidentifikasikan empat reaksi terhadap stres:
1)      Reaksi dari fisiologis terhadap stres menekankan hubungan antara pikiran dan fisik.
2)      Reaksi dari emosional yang diamati dalam reaksi emosional terhadap stres ini adalah melalui emosi seperti rasa ketakutan, kecemasan, rasa bersalah, kesedihan, depresi, atau kesepian.
3)      Reaksi dari kognitif mengacu pada pengalaman individu terhadap stres dan penilaian kognitif yang terjadi dengan penilaiannya mengenai peristiwa stres dan kemudian apa strategi coping yang mungkin paling tepat untuk mengelola stres.
4)      Reaksi dari perilaku yang berkaitan dengan reaksi emosional seseorang terhadap stres yang dapat memberikan reaksi menangis, menjadi kasar kepada orang lain atau diri sendiri dan, penggunaan mekanisme pertahanan seperti rasionalisasi.

Sumber Stress
Sumber stres dapat berubah seiring dengan berkembangnya individu, tetapi kondisi stres dapat terjadi setiap saat selama hidup berlangsung. Menurut Sarafino (2008) sumber datangnya stres ada tiga yaitu:
1)      Diri individu
Hal ini berkaitan dengan adanya konflik. Menurut Miller dalam Sarafino (2008), pendorong dan penarik dari konflik menghasilkan dua kecenderungan yang berkebalikan, yaitu approach dan avoidance.
Kecenderungan ini menghasilkan tipe dasar konflik (Sarafino, 2008), yaitu :
a.      Approach-Approach Conflict
Muncul ketika kita tertarik terhadap dua tujuan yang sama-sama baik. Contohnya, individu yang mencoba untuk menurunkan berat badan untuk meningkatkan kesehatan maupun untuk penampilan, namun konflik sering terjadi ketika tersedianya makanan yang lezat.           
b.      Avoidance-Avoidance Conflict
Muncul ketika kita dihadapkan pada satu pilihan antara dua situasi yang tidak menyenangkan. Contohnya, pasien dengan penyakit serius mungkin akan dihadapkan dengan pilihan antara dua perlakuan yang akan mengontrol atau menyembuhkan penyakit, namun memiliki efek samping yang sangat tidak diinginkan. Sarafino (2008) menjelaskan bahwa orang-orang dalam menghindari konflik ini biasanya mencoba untuk menunda atau menghindar dari keputusan tersebut. Oleh karena itu, biasanya avoidance-avoidance conflict ini sangat sulit untuk diselesaikan.
c.       Approach-Avoidance Conflict
Muncul ketika kita melihat kondisi yang menarik dan tidak menarik dalam satu tujuan atau situasi. Contohnya, seseorang yang merokok dan ingin berhenti, namun mereka mungkin terbelah antara ingin meningkatkan kesehatan dan ingin menghindari kenaikan berat badan serta keinginan mereka untuk percaya terjadi jika mereka ingin berhenti.
2)      Keluarga
Sarafino (2008) menjelaskan bahwa perilaku, kebutuhan, dan kepribadian dari setiap anggota keluarga berdampak pada interaksi dengan orang-orang dari anggota lain dalam keluarga yang kadang-kadang menghasilkan stres. Menurut Sarafino (2008) faktor dari keluarga yang cenderung memungkinkan munculnya stres adalah hadirnya anggota baru, perceraian dan adanya keluarga yang sakit, cacat, dan kematian
3)      Komunitas dan masyarakat
Kontak dengan orang di luar keluarga menyediakan banyak sumber stres. Misalnya, pengalaman anak di sekolah dan persaingan. Adanya pengalaman-pengalaman seputar dengan pekerjaan dan juga dengan lingkungan dapat menyebabkan seseorang menjadi stres. (Sarafino, 2008)
Reaksi terhadap Stress
Stres dapat berpengaruh pada kesehatan dengan dua cara. Pertama, perubahan yang diakibatkan oleh stres secra langsung mempengaruhi fisik sistem tubuh yang dapat mempengaruhi kesehatan. Kedua, secara tidak langsung stres mempengaruhi perilaku individu sehinggga menyebabkan timbulnya penyakit atau memperburuk kondisi yang sudah ada (Safarino, 2008).
Kondisi dari stres memiliki dua aspek: fisik/biologis (melibatkan materi atau tantangan yang menggunakan fisik) dan psikologis (melibatkan bagaimana individu memandang situasi dalam hidup mereka) dalam Sarafino, 2008.
a. Aspek Fisiologis
Walter Canon (dalam sarafino, 2006) memberikan deskripsi mengenai bagaiman reaksi tubuh terhadap suatu peristiwa yang mengancam. Ia menyebutkan reaksi tersebut sebagai fight-or-fight response karena respon fisiologis mempersiapkan individu untuk menghadapi atau menghindari situasi yang mengancam tersebut. Fight-or-fight response menyebabkan individu dapat berespon dengan cepat terhadap situasi yang mengancam. Akan tetapi bila arousal yang tinggi terus menerus muncul dapat membahayakan kesehatan individu.
Selye (dalam Sarafino, 2006) mempelajari akibat yang diperoleh bila stresorr terus menerus muncul. Ia mengembangkan istilah General Adaptation Syndrome (GAS) yang terdiri atas rangkaian tahapan reaksi fisiologis terhadap stresorr yaitu:
A.    Fase reaksi yang mengejutkan ( alarm reaction )
Pada fase ini individu secara fisiologis merasakan adanya ketidakberesan seperti jantungnya berdegup, keluar keringat dingin, muka pucat, leher tegang, nadi bergerak cepat dan sebagainya. Fase ini merupakan pertanda awal orang terkena stres.
B.     Fase perlawanan (Stage of Resistence )
Pada fase ini tubuh membuat mekanisme perlawanan pada stres, sebab pada tingkat tertentu, stres akan membahayakan. Tubuh dapat mengalami disfungsi, bila stres dibiarkan berlarut-larut. Selama masa perlawanan tersebut, tubuh harus cukup tersuplai oleh gizi yang seimbang, karena tubuh sedang melakukan kerja keras.
C.     Fase Keletihan ( Stage of Exhaustion )
Fase disaat orang sudah tak mampu lagi melakukan perlawanan. Akibat yang parah bila seseorang sampai pada fase ini adalah penyakit yang dapat menyerang bagian – bagian tubuh yang lemah.
b. Aspek psikologis
Reaksi psikologis terhadap stresorr meliputi:
A.    Kognisi
Cohen menyatakan bahwa stres dapat melemahkan ingatan dan perhatian dalam aktifitas kognitif.
B.     Emosi
Emosi cenderung terkait stres.individu sering menggunakan keadaan emosionalnya untuk mengevaluasi stres dan pengalaman emosional (Maslach, Schachter & Singer, dalam Sarafino, 2006). Reaksi emosional terhadap stres yaitu rasa takut, phobia, kecemasan, depresi, perasaan sedih dan marah.
C.     Perilaku Sosial
Stres dapat mengubah perilaku individu terhadap orang lain. Individu dapat berperilaku menjadi positif dan negatif (dalam Sarafino, 2006). Stres yang diikuti dengan rasa marah menyebabkan perilaku sosial negatif cenderung meningkat sehingga dapat menimbulkan perilaku agresif (Donnerstein & Wilson, dalam Sarafino, 2006).


 
Blogger Templates