A. PENGANTAR
Perkembangan
kognitif dan bahasa anak-anak tidak berkembang dalam suatu situasi sosial yang
hampa. Lev Vygotsky (1896-1934), seorang psikolog berkebangsaan Rusia, mengenal
poin penting tentang pikiran anak ini lebih dari setengah abad yang lalu. Teori
Vygotsky mendapat perhatian yang makin besar ketika memasuki akhir abad ke-20.
Sezaman
dengan Piaget, Vygotsky menulis di Uni Soviet selama 1920-an dan 1930-an.
Namun, karyanya baru dipublikasikan di dunia Barat pada tahun 1960-an. Sejak
saat itulah, tulisan-tulisannya menjadi sangat berpengaruh. Vygotsky adalah
pengagum Piaget. Walaupun setuju dengan Piaget bahwa perkembangan kognitif
terjadi secara bertahap dan dicirikan dengan gaya berpikir yang berbeda-beda,
tetapi Vygotsky tidak setuju dengan pandangan Piaget bahwa anak menjelajahi
dunianya sendirian dan membentuk gambaran realitas batinnya sendiri.
B. KONSEP SOSIOKULTURAL
Banyak
developmentalis yang bekerja di bidang kebudayaan dan pembangunan menemukan
dirinya sepaham dengan Vygotsky, yang berfokus pada konteks pembangunan sosial
budaya. Teori Vygotsky menawarkan suatu potret perkembangan manusia sebagai
sesuatu yang tidak terpisahkan dari kegiatan-kegiatan sosial dan budaya.
Vygotsky menekankan bagaimana proses-proses perkembangan mental seperti
ingatan, perhatian, dan penalaran melibatkan pembelajaran menggunakan
temuan-temuan masyarakat seperti bahasa, sistem matematika, dan alat-alat
ingatan. Ia juga menekankan bagaimana anak-anak dibantu berkembang dengan
bimbingan dari orang-orang yang sudah terampil di dalam bidang-bidang tersebut.
Penekanan Vygotsky pada peran kebudayaan dan masyarakat di dalam perkembangan
kognitif berbeda dengan gambaran Piaget tentang anak sebagai ilmuwan kecil yang
kesepian.
Piaget
memandang anak-anak sebagai pembelajaran lewat penemuan individual, sedangkan
Vygotsky lebih banyak menekankan peranan orang dewasa dan anak-anak lain dalam
memudahkan perkembangan si anak. Menurut Vygotsky, anak-anak lahir dengan fungsi
mental yang relatif dasar seperti kemampuan untuk memahami dunia luar dan
memusatkan perhatian. Namun, anak-anak tak banyak memiliki fungsi mental yang
lebih tinggi seperti ingatan, berfikir dan menyelesaikan masalah. Fungsi-fungsi
mental yang lebih tinggi ini dianggap sebagai ”alat kebudayaan” tempat individu
hidup dan alat-alat itu berasal dari budaya. Alat-alat itu diwariskan
pada anak-anak oleh anggota-anggota kebudayaan yang lebih tua selama
pengalaman pembelajaran yang dipandu. Pengalaman dengan orang lain secara
berangsur menjadi semakin mendalam dan membentuk gambaran batin anak tentang
dunia. Karena itulah berpikir setiap anak dengan cara yang sama dengan anggota
lain dalam kebudayaannya.
Vygotsky
menekankan baik level konteks sosial yang bersifat institusional maupun level
konteks sosial yang bersifat interpersonal. Pada level institusional, sejarah
kebudayaan menyediakan organisasi dan alat-alat yang berguna bagi aktivitas
kognitif melalui institusi seperti sekolah, penemuan seperti komputer, dan
melek huruf. Interaksi institusional memberi kepada anak suatu norma-norma
perilaku dan sosial yang luas untuk membimbing hidupnya. Level interpersonal
memiliki suatu pengaruh yang lebih langsung pada keberfungsian mental anak.
Menurut vygotsky (1962), keterampilan-keterampilan dalam keberfungsian mental
berkembang melalui interaksi sosial langsung. Informasi tentang alat-alat,
keterampilan-keterampilan dan hubungan-hubungan interpersonal kognitif
dipancarkan melalui interaksi langsung dengan manusia. Melalui pengorganisasian
pengalaman-pengalaman interaksi sosial yang berada di dalam suatu latar
belakang kebudayaan ini, perkembangan mental anak-anak menjadi matang.
C. PERKEMBANGAN BAHASA
Para pakar
perilaku memandang bahasa sama seperti perilaku lainnya, misalnya duduk,
berjalan, atau berlari. Mereka berpendapat bahwa bahasa hanya merupakan urutan
respons (Skinner,1957) atau sebuah imitasi (Bandura, 1977). Tetapi banyak
diantara kalimat yang kita hasilkan adalah baru, kita tidak mendengarnya atau
membicarakannya sebelumnya.
Kita tidak
mempelajari bahasa di dalam suatu ”ruang hampa sosial” (social vacuum).
Kebanyakan anak-anak diajari bahasa sejak usia yang sangat muda. Kita
memerlukan pengenalan kepada bahasa yang lebih dini untuk memperoleh keterampilan
bahasa yang baik (Adamson,1992; Schegloff,1989). Dewasa ini, kebanyakan
peneliti penguasaan bahasa yakin bahwa anak-anak dari berbagai konteks sosial
yang luas menguasai bahasa ibu mereka tanpa diajarkan secara khusus dan dalam
beberapa kasus tanpa penguatan yang jelas ( Rice,1993). Dengan demikian aspek
yang penting dalam mempelajari suatu bahasa tampaknya tidaklah banyak. Walaupun
begitu, proses pembelajaran bahasa biasanya memerlukan lebih banyak dukungan
dan keterlibatan dari pengasuh dan guru. Suatu peran lingkungan yang
membangkitkan rasa ingin tahu dalam penguasaan bahasa pada anak kecil disebut motherese,
yakni cara ibu dan orang dewasa sering berbicara pada bayi dengan frekuensi dan
hubungan yang lebih luas dari pada normal, dan dengan kalimat-kalimat yang
sederhana.
Bahasa
dipahami dalam suatu urutan tertentu. Pada setiap tahap di dalam tahap
perkembangan, interaksi linguistik anak dengan orang tua dan orang lain pada
dasarnya mengikuti suatu prinsip tertentu ( Conti-Ramsden & Snow, 1991;
Maratsos, 1991). Perkembangan pemahaman bahasa pada anak bukan saja sangat
dipengaruhi oleh kondisi biologis anak, tetapi lingkungan bahasa di sekitar
anak sejak usia dini jauh lebih penting dibandingkan dengan apa yang
diperkirakan di masa lalu ( Von Tetzchner & Siegel, 1989).
Vygotsky
lebih banyak menekankan bahasa dalam perkembangan kognitif daripada Piaget.
Bagi Piaget, bahasa baru tampil ketika anak sudah mencapai tahap perkembangan
yang cukup maju. Pengalaman berbahasa anak tergantung pada tahap perkembangan
kognitif saat itu. Namun, bagi Vygotsky, bahasa berkembang dari interaksi
sosial dengan orang lain. Awalnya, satu-satunya fungsi bahasa adalah
komunikasi. Bahasa dan pemikiran berkembang sendiri, tetapi selanjutnya anak
mendalami bahasa dan belajar menggunakannya sebagai alat untuk membantu
memecahkan masalah. Dalam tahap praoperasional, ketika anak belajar menggunakan
bahasa untuk menyelesaikan masalah, mereka berbicara lantang sembari
menyelesaikan masalah. Sebaliknya, begitu menginjak tahap operasional konkret,
percakapan batiniah tidak terdengar lagi.
D. ZONE PERKEMBANGAN PROKSIMAL
Meskipun
pada akhirnya anak-anak akan mempelajari sendiri beberapa konsep melalui
pengalaman sehari-hari, Vygotsky percaya bahwa anak akan jauh lebih berkembang
jika berinteraksi dengan orang lain. Anak-anak tidak akan pernah mengembangkan
pemikiran operasional formal tanpa bantuan orang lain.
Pada satu
sisi, Piaget menjelaskan proses perkembangan kognitif sejalan dengan kemajuan
anak-anak, dan dia menggambarkan bahwa anak-anak mampu melakukan sesuatu
sendiri. Pada sisi lain, Vygotsky mencari pengertian bagaiman anak-anak
berkembang dengan melalui proses belajar, dimana fungsi-fungsi kognitif belum
matang, tetapi masih dalam proses pematangan. Vygotsky membedakan antara aktual
development dan potensial development pada anak. Aktual development ditentukan
apakah seorang anak dapat melakukan sesuatu tanpa bantuan orang dewasa atau
guru. Sedangkan potensial development membedakan apakah seorang anak dapat
melakukan sesuatu, memecahkan masalah di bawah petunjuk orang dewasa atau
kerjasama dengan teman sebaya.
Menurut
teori Vygotsky, Zona Perkembangan Proksimal merupakan celah antara actual
development dan potensial development, dimana antara apakah seorang anak dapat
melakukan sesuatu tanpa bantuan orang dewasa dan apakah seorang anak dapat
melakukan sesuatu dengan arahan orang dewasa atau kerjasama dengan teman
sebaya.
Maksud
dari ZPD adalah menitikberatkan ZPD pada interaksi sosial akan dapat memudahkan
perkembangan anak. Ketika siswa mengerjakan pekerjaanya di sekolah sendiri,
perkembangan mereka kemungkinan akan berjalan lambat. Untuk memaksimalkan
perkembangan, siswa seharusnya bekerja dengan teman yang lebih terampil yang
dapat memimpin secara sistematis dalam memecahkan masalah yang lebih kompleks.
Melalui perubahan yang berturut-turut dalam berbicara dan bersikap, siswa
mendiskusikan pengertian barunya dengan temannya kemudian mencocokkan dan
mendalami kemudian menggunakannya. Sebuah konsekuensi pada proses ini adalah
bahwa siswa belajar untuk pengaturan sendiri (self-regulasi).
E. KONSEP SCAFFOLDING
Scaffolding
merupakan suatu istilah yang ditemukan oleh seorang ahli psikologi
perkembangan-kognitif masa kini, Jerome Bruner, yakni suatu proses yang
digunakan orang dewasa untuk menuntun anak-anak melalui zona perkembangan
proksimalnya.
Pengaruh
karya Vygotsky dan Bruner terhadap dunia pengajaran dijabarkan oleh Smith et
al. (1998).
1. Walaupun Vygotsky dan Bruner telah
mengusulkan peranan yang lebih penting bagi orang dewasa dalam pembelajaran
anak-anak daripad peran yang diusulkan Piaget, keduanya tidak mendukung
pengajaran didaktis diganti sepenuhnya. Sebaliknya mereka malah menyatakan,
walaupun anak tetap dilibatkan dalam pembelajaran aktif, guru harus secara
aktif mendampingi setiap kegiatan anak-anak. Dalam istilah teoritis, ini
berarti anak-anak bekerja dalam zona perkembangan proksimal dan guru
menyediakan scaffolding bagi anak selama melalui ZPD.
2. Secara khusus Vygotsky mengemukakan
bahwa disamping guru, teman sebaya juga berpengaruh penting pada perkembangan
kognitif anak.berlawanan dengan pembelajaran lewat penemuan individu
(individual discovery learning), kerja kelompok secara kooperatif (cooperative
groupwork) tampaknya mempercepat perkembangan anak.
3. Gagasan tentang kelompok kerja
kreatif ini diperluasa menjadi pengajaran pribadi oleh teman sebaya (peer tutoring),
yaitu seorang anak mengajari anak lainnya yang agak tertinggal dalam pelajaran.
Foot et al. (1990) menjelaskan keberhasilan pengajaran oleh teman sebaya ini
dengan menggunakan teori Vygotsky. Satu anak bisa lebih efektif membimbing anak
lainnya melewati ZPD karena mereka sendiri baru saja melewati tahap itu
sehingga bis adengan mudah melihat kesulitan-kesulitan yang dihadapi anak lain
dan menyediakan scaffolding yang sesuai.
Komputer
juga dapat digunakan untuk meningkatkan pembelajaran dalam berbagai cara. Dari
perspektif pengikut Vygotsky-Bruner, perintah-perintah di layar komputer
merupakan scaffolding (Crook, 1994). Ketika anak menggunakan perangkat lunak
(software) pendidikan, komputer memberikan bantuan atau petunjuk secara detail
seperti yang diisyaratkan sesuai dengan kedudukan anak yang sedang dalam ZPD.
Tak pelak lagi, beberapa anak di kelas lebih terampil dalam menggunakan
komputer sehingga bisa berperan sebagai tutor bagi teman sebayanya. Dengan
murid-murid yang bekerja dengan komputer, guru bisa dengan bebas mencurahkan
perhatinnya kepada individu-individu yang memerlukan bantuan dan menyiapkan
scaffolding yang sesuai bagi masing-masing anak.
F. KONSTRUKTIVISME
Pendekatan
konstruktivisme pada pendidikan berusaha merubah pendidikan dari dominasi guru
menjadi pemusatan pada siswa. Peranan guru adalah membantu siswa mengembangkan
pengertian baru. Siswa diajarkan bagaimana mengasimilasi pengalamn,
pengetahuan, dan pengertiannya dan apakah mereka siap untuk tahu dari
pembentukan pengertian baru ini. Pada bagian ini, kita melihat permulaan aliran
konstruktivisme , peranan pengalaman siswa dalam belajar dan bagaiman dapat
mengasimilasi pengertiannya.
Konstruktivisme
adalah suatu teori belajar yang mempunyai suatu pedoman dalam filosofi dan
antropologi sebaik psikologi. Pedoman filosofi pada teori ni ditemukan pada
abad ke-5 sebelum masehi. Ketika Socrates memajukan pemikiran dari level
sophist oleh metode perkembangan sistematis yang ditemukan melalui gabungan
antara pertanyaan dan alasan logika. Metode baru ini yang mengkontribusi secara
besar-besaran untuk memajukan aspek pemecahan masalah aliran konstruktivisme.
Penyelidikan
atau pengalaman fisik, pengalaman pendidikan adalah kunci metode
konstruktivisme. Selama abad ke-18 dan ke-17, filosof Inggris ” Frances Bacon”
memberikan ilmu metode untuk menyelidiki lingkungan.
Pendukung
konstruktivisme percaya bahwa pengalaman melalui lingkungan, kita akan mengikat
informasi yang kita peroleh dari pengalaman ini ke dalam pengertian sebelumnya,
membentuk pengertian baru. Dengan kata lain, pada proses belajar masing-masing
pelajar harus mengkreasikan pengetahuannya. Pada konstruktivis, kegiatan
mengajar adalah proses membantu pelajar-pelajar mengkreasikan pengetahuannya.
Konstruktivisme percaya bahwa pengetahuan tidak hanya kegiatan penemuan yang
memungkinkan untuk dimengerti, tetapi pengetahuan merupakan cara suatu
informasi baru berinteraksi dengan pengertian sebelumnya dari pelajar.
Para
konstruktivisme menekankan peranan motivasi guru untuk membantu siswa belajar
mencintai pelajaran. Tidak seprti behaviorist, yang menggunakan sangsi berupa
reward, sedangkan konstruktivisme percaya bahwa motivasi internal, seperti
kesenangan pada pelajaran lebih kuat daripada reward eksternal.
Konstruktivisme yang mempunyai pengaruh besar pada
tahun 1930 yang bekerja sebagai ahli Psikologi Rusia adalah L.S. Vygotsky, yang
sangat tertarik pada efek interaksi siswa dengan teman sekelas pada pelajaran.
Jaramillo (1996) menjelaskan, Vygotsky mencatat bahwa interaksi individu dengan
orang lain berlangsung pada situasi sosial. Vygotsky percaya bahwa subyek yang
dipelajari berpengaruh pada proses belajar, dan mengakui bahwa tiap-tiap
disiplin ilmu mempunyai metode pembelajaran tersendiri. Vygotsky adalah seorang
guru yang tertarik untuk mendesign kurikulum sebagai fasilitas dalam interaksi
siswa.