Social Icons

Selasa, 08 April 2014

Perbedaan Otak Perempuan dan Laki-Laki


Michael Guriaan dalam bukunya “What Could He Be Thinking? How a Man’s Mind really Works” menjelaskan, perbedaan antara otak laki-laki dan perempuan terletak pada ukuran bagian-bagian otak, bagaimana bagian itu berhubungan serta cara kerjanya. Perbedaan mendasar antara kedua jenis kelamin itu adalah:
1. Perbedaan spasial
Pada laki-laki otak cenderung berkembang dan memiliki spasial yang lebih kompleks seperti kemampuan perancangan mekanis, pengukuran penentuan arah abstraksi dan manipulasi benda-benda fisik.
Tak heran jika laki-laki suka sekali mengutak-atik kendaraan.
2. Perbedaan verbal
daerah korteks otak pria lebih banyak tersedot untuk melakukan fungsi-fungsi spasial dan cenderung memberi porsi sedikit pada daerah korteksnya untuk memproduksi dan menggunakan kata-kata. Kumpulan saraf yang menghubungkan otak kiri-kanan atau corpus collosum otak laki-laki lebih kecil seperempat ketimbang otak perempuan.
Bila otak pria hanya menggunakan belahan otak kanan, otak perempuan bisa memaksimalkan keduanya. Itulah mengapa perempuan lebih banyak bicara ketimbang pria. Dalam sebuah penelitian disebutkan, perempuan menggunakan sekitar 20.000 kata per hari, sementara pria hanya 7.000 kata!
3. Perbedaan bahan kimia
Otak perempuan lebih banyak mengandung serotonin yang membuatnya bersikap tenang. Tak aneh jika wanita lebih kalem ketika menanggapi ancaman yang melibatkan fisik, sedangkan laki-laki lebih cepat naik pitam. Selain itu, otak perempuan juga memiliki oksitosin, yaitu zat yang mengikat manusia dengan manusia lain atau dengan benda lebih banyak. Dua hal ini mempengaruhikecenderungan biologis otak pria untuk tidak bertindak dahulu ketimbang bicara. Ini berbeda dengan perempuan.
4. Memori lebih kecil
Pusat memori (hippocampus) pada otak perempuan lebih besar ketimbang pada otak pria. Ini bisa menjawab pertanyaan kenapa bila laki-laki mudah lupa, sementara wanita bisa mengingat segala detail.

Minggu, 16 Maret 2014

Gaya Kognitif Reflektif dan Impulsif

Gaya Kognitif Reflektif Versus Impulsif
Dimensi gaya kognitif versus impulsive telah digambarkan sebagai “kecenderungan yang konsisten untuk menampilkan waktu respon lambat atau cepat dalam situasi masalah dengan respon tinggi yang tidak pasti” (Kagan, 1965, p. 134). Orang yang menunjukkan gaya reflektif akan menghabiskan lebih banyak waktu memeriksa masalah, mempertimbangkan solusi alternatif, dan akan memeriksa akurasi dan kelengkapan setiap hipotesis. Gaya impulsif ditandai dengan kecenderungan untuk membuat keputusan yang cepat dan untuk merespon dengan apa yang terlintas dalam pikiran bukan dengan pemeriksaan kritis. Gaya reflektif dibandingkan impulsif telah terbukti stabil dari waktu ke waktu, meskipun ada kecenderungan untuk refleksi meningkat karena subjek semakin lebih tua (Kagan, 1965).
Perumusan teoritis gaya reflektif dibandingkan impulsif adalah pertumbuhan dari karya Kagan dan rekan-rekannya (Kagan, Rossman, Day, Albert & Phillips, 1964) di Institut Fels. Kagan dkk mengamati bahwa ada perbedaan dalam cara anak mendekati mereka "situasi masalah di mana banyak hipotesis solusi tersedia secara bersamaan, (dan di mana) anak harus mengevaluasi perbedaan secara cukup dari setiap kemungkinan" (hal. 13). Matching Familian Figure Test (MFFT) dikembangkan pada tahun 1966 oleh psikolog AS Jerome Kagan (lahir 1929) sebagai instrumen untuk meneliti dimensi reflektif-impulsif pada anak-anak. Konstruk impulsif juga telah diteliti melalui tes situasional yang melibatkan penundaan pemuasan (lihat Mischel, 1966) dan dengan menggunakan kombinasi prosedur seperti tes MFFT dan situasional (Blok, Blok 8:. Harrington, 1974 ).
MFFT ini terdiri dari 12 item yang mewakili obyek yang familiar (seperti telepon, pesawat, dan koboi) dan dua item sampel. Subjek disajikan dengan gambar standar dan enam gambar "sangat mirip" tapi hanya satu yang identik dengan standar. Subjek diinstruksikan untuk memilih bahwa gambar mana yang identik dengan standar. Skor didasarkan pada lamanya waktu yang dibutuhkan sebelum menjawab dan jumlah kesalahan yang dihasilkan. Responden dengan waktu respon pendek dan tingginya jumlah kesalahan akan mendapatkan nilai indikatif impulsif, sedangkan responden dengan waktu respon lebih lama dan rendahnya jumlah kesalahan akan mendapatkan nilai indikatif menjadi "reflektif." Telah menunjukkan bahwa korelasi negatif yang tinggi ada di antara waktu respon pada MFFT dan jumlah kesalahan yang dihasilkan., Yaitu, pengambil tes yang merespon dengan cepat cenderung membuat kesalahan lebih dari yang merespon lebih lambat (Kagan, 1965).

Contoh gambar Tes MFFT
Dalam penelitian yang membandingkan performa 58 11-year-olds di MFFT dengan performa di Skala Kecerdasan Wechsler untuk Anak-Revisi (WISC-R), anak-anak dikategorikan sebagai reflektif berdasarkan performa MFFT ditemukan melakukan secara signifikan lebih tinggi pada organisasi visual dan subtes perhatian-konsentrasi WISC-R daripada anak ditunjuk sebagai impulsif (Brannigan, Ash, & Margolis, 1980).
MFFT telah dikritik karena kurangnya data normatif dan kurangnya bentuk alternatif untuk mengurangi efek praktek yang dalam pengujian ulang (Arizmendi, Paulsen, & Domino, 1981). Namun, tes telah digunakan dalam sejumlah proyek penelitian, termasuk studi mengeksplorasi bagaimana impulsivitas pada anak-anak mungkin dimodifikasi. Kagan, Pearson, & Welch (1966) mampu memperpanjang waktu respon MFFT dari impulsif anak kelas satu dengan menyediakan pelatihan pengalaman dalam pencocokan visual, penalaran induktif, dan masa diberlakukan penundaan sebelum memberikan tanggapan. Dalam studi yang melibatkan 48 impulsif di kelas dua dan tiga, Nelson dan Birkimer (1978) menunjukkan bahwa pelatihan penguatan diri dapat memperpanjang waktu respon pada MFFT dan secara signifikan mengurangi kesalahan. Dalam studi lain itu menunjukkan bahwa pelatihan instruksi diri secara lisan dapat mengakibatkan peningkatan waktu respon di MFFT penurunan kesalahan MFFT untuk subyek impulsif serta meningkatkan peringkat guru dalam perilaku di kelas (Kendall & Finch, 1978). Meskipun pada awalnya digunakan dalam penelitian dengan anak-anak, investigasi Kagan formulasi dengan populasi orang dewasa telah dilakukan (misalnya, Brodzinsky & Dein, 1976; O'Keefe & Argulewicz, 1979).



Senin, 03 Februari 2014

Pentingnya Bimbingan dan Konseling Sekolah

Latar Belakang Pentingnya Bimbingan dan Konseling Sekolah
Bimbingan Konseling merupakan salah satu komponen penyelenggaraan pendidikan di sekolah yang keberadaannya sangat dibutuhkan, khususnya untuk membantu peserta didik dalam pengembangan pribadi, kehidupan sosial, kegiatan belajar serta perencanaan dan pengembangan karir. Karena itu, struktur kurikulum yang dikembangkan dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) mencakup tugas bimbingan konseling pada pengembangan diri peserta didik (Depdiknas, 2006; Andi Mapiare, 2008).
Secara khusus tujuan bimbingan dan konseling di sekolah yaitu membantu peserta didik :
1)      Untuk mengembangkan seluruh potensinya seoptimal mungkin.
2)      Untuk mengatasi kesulitan dalam memahami dirinya sendiri.
3)  Untuk mengatasi kesulitan dalam memahami lingkungannya yang meliputi lingkungan sekolah, keluarga, pekerjaan, sosial-ekonomi dan kebudayaan.
4)      Untuk mengatasi kesulitan dalam mengidentifikasi dan memecahkan masalahnya.
5)      Untuk mengatasi kesulitan dalam menyalurkan kemampuan, minat dan bakatnya.
Program bimbingan dan konseling sangat perlu diterapkan di lingkungan sekolah. Adapun yang melatarbelakangi program bimbingan dan konseling adalah sebagai berikut :
Latar Belakang Sosio-Kultural
Perkembangan zaman (globalisasi) menimbulkan perubahan dan kemajuan dalam masyarakat. Aspek perubahan meliputi: sosial, politik, ekonomi, industri, informasi dan sebagainya. Akibatnya ialah berbagai permasalahan yang dihadapi oleh peserta didik  misalnya, pelanggaran tata tertib sekolah, tawuran, minum-minuman keras, penyalahgunaan narkoba, menonton video porno dll.
Tanggung jawab sekolah ialah membantu para siswa baik sebagai pribadi maupun sebagai calon anggota masyarakat, dengan mendidik dan menyiapkan siswa agar berhasil menyesuaikan diri di masyarakat dan mampu menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapinya.

 Latar Belakang Pedadogis
Tujuan inti dari pendidikan adalah perkembangan kepribadian secara optimal dan setiap anak didik sebagai pribadi. Dengan demikian setiap kegiatan proses pendidikan diarahkan kepada tercapainya pribadi-pribadi yang berkembang optimal sesuai dengan potensi masing-masing. Untuk menuju tercapainya pribadi yang berkembang, maka kegiatan pendidikan hendaknya bersifat menyeluruh yang tidak hanya berupa kegiatan instruksional (pengajaran), akan tetapi meliputi kegiatan yang menjamin bahwa setiap anak didik secara pribadi mendapat layanan sehingga akhirnya dapat berkembang secara optimal.
Dalam hubungan inilah bimbingan mempunyai peranan yang amat penting dalam pendidikan, yaitu membantu setiap pribadi anak didik agar berkembang secara optimal. Dengan demikian, maka hasil pendidikan sesungguhnya akan tercermin pada pribadi anak didik yang berkembang baik secara akademik, psikologis maupun sosial.
Selain itu, ada tiga hal pokok yang menjadi latar belakang perlunya bimbingan dilihat dan segi pendidikan, yaitu :
1.    Pertama adalah dilihat dan hakikat pendidikan sebagai suatu usaha sadar dalam mengembangkan kepribadian. Hal ini mengandung implikasi bahwa proses pendidikan menuntut adanya pendekatan yang lebih luas dari pada sekedar pengajaran. Pendekatan yang dimaksud adalah pendekatan pribadi melalui layanan bimbingan dan konseling.
2.    Kedua, pendidikan senantiasa berkembang secara dinamis dan karenanya selalu terjadi perubahan perubahan dan penyesuaian dalam komponen-komponennya. Menghadapi perkembangan ini para siswa sebagai subjek didik memerlukan bantuan dalam penyesuaian diri melalui layanan bimbingan.
3.    Ketiga pada hakikatnya guru mempunyai peranan yang tidak hanya sebagai pengajar, tetapi lebih luas dari itu, yaitu sebagai pendidik. Sebagai pendidik, maka guru seyogyanya dapat menggunakan pendekatan pribadi dalam mendidik para siswanya. Pendekatan pribadi ini diwujudkan melalui layanan bimbingan.
Latar Belakang Psikologis
Dalam proses pendidikan di sekolah, siswa sebagai subjek didik, merupakan pribadi-pribadi yang unik dengan segala karakteristiknya. Siswa sebagai individu yang dinamis dan berada dalam proses perkembangan, memiliki kebutuhan dan dinamika dalam interaksinya dengan lingkungannya. Sebagai pribadi yang unik, terdapat perbedaan individual antara siswa yang satu dengan lainnya. Di samping itu, siswa sebagai pelajar senantiasa terjadi perubahan tingkah laku sebagai hasil proses belajar.
Pengertian Program Bimbingan dan Konseling
Program bimbingan dan konseling diartikan seperangkat kegiatan bimbingan dan konseling yang dirancang secara terencana, terorganisasi, terkoordinasi selama periode waktu tertentu dan dilakukan secara kait mengait untuk mencapai tujuan.
Pengurus Besar IPBI (2001:2) mendefinisikan program bimbingan dan konseling sebagai satuan rencana keseluruhan kegiatan bimbingan dan konseling yang akan dilaksanakan pada periode waktu tertentu, seperti periode bulanan, semester, tahunan. Program menggariskan apa, oleh siapa, bilamana dan dimana tindakan akan dilakukan.
 Manfaat Program bimbingan dan konseling
Program bimbingan dan konseling disusun dan dikembangkan berdasarkan atas pertimbangan bahwa program yang disusun dengan baik akan memberikan banyak keuntungan, baik bagi para siswa yang mendapat layanan bimbingan dan konseling maupun bagi petugas yang menyelenggarakan. Di samping itu program bimbingan dan konseling yang baik, memungkinkan keberhasilan suatu layanan bimbingan dan konseling. Prayitno (2000) mengemukakan beberapa keuntungan disusunnya suatu program, yaitu :
a.       Memungkinkan Guru Pembimbing untuk menghemat waktu, usaha, biaya, dengan menghindarkan kesalahan-kesalahan yang mungkin terjadi, dan usaha coba-coba yang tidak menguntungkan.
b.      Siswa asuh akan menerima pelayanan bimbingan dan konseling secara seimbang dan menyeluruh, baik dalam hal kesempatan, bidang bimbingan dan jenis-jenis layanan bimbingan yang diperlukan.
c.       Setiap Guru Pembimbing mengetahui peranannya masing-masing dan mengetahui pula bilamana dan dimana harus bertindak, dalam pada itu Guru Pembimbing akan menghayati pengalaman yang sangat berguna untuk kemajuannya sendiri dan untuk kepentingan siswa-siswa asuhnya.
 Ciri - Ciri Program Bimbingan dan Konseling
Program Bimbingan dan konseling yang baik ialah suatu bentuk program yang apabila dilaksanakan memiliki efisiensi dan efektivitas yang optimal. Miller (1961) mengemukakan bahwa:
a.       Program bimbingan dan konseling itu hendaknya dikembangkan secara bertahap dengan melibatkan semua unsur atau staf sekolah dalam perencanaannya (guru, wali kelas, kepala sekolah atau wakil kepala sekolah, dan staf sekolah lainnya).
b.      Program bimbingan dan konseling itu hendaknya memiliki tujuan yang ideal dan realitas dalam perencanaannya.
c.       Program bimbingan dan konseling itu hendaknya mencerminkan komunikasi yang continue antara semua unsur atau staf sekolah yang bersangkutan.
d.      Program bimbingan dan konseling itu hendaknya menyediakan atau memiliki fasilitas yang diperlukan.
e.       Program bimbingan dan konseling itu hendaknya memberikan pelayanan kepada semua peserta didik
f.       Program bimbingan dan konseling hendaknya menunjukkan peranan yang signifikan dalam menghubungkan dan memadukan sekolah dengan masyarakat.
g.      Program bimbingan dan konseling hendaknya memberikan kesempatan untuk melaksanakan penilaian terhadap diri sendiri
h.      Program bimbingan dan konseling hendaknya menjamin keseimbangan pelayanan bimbingan dan konseling dalam hal :
1.      Pelayanan kelompok dan perorangan
2.      Pelayanan yang diberikan oleh berbagai jenis petugas bimbingan dan konseling
3.      Studi perorangan dan konseling perorangan
4.      Penggunaan instrumentasi atau teknik pengumpul data yang objektif dan subjektif
5.      Pemberian jenis-jenis bimbingan
6.      Pemberian konseling kelompok dan konseling perorangan
7.      Pemberian bimbingan tentang berbagai program sekolah
8.      Penggunaan sumber-sumber di dalam maupun di luar sekolah yang bersangkutan.
9.      Kebutuhan perorangan dan kebutuhan masyarakat luas

10.  Kesempatan untuk berpikir, merasakan dan berbuat.

 
Blogger Templates