Social Icons

Sabtu, 03 Mei 2014

Pengertian dan Penyebab Stress


Pengertian Stress
Menurut Lazarus & Folkman (1986) stres adalah keadaan internal yang dapat diakibatkan oleh tuntutan fisik dari tubuh atau kondisi lingkungan dan sosial yang dinilai potensial membahayakan, tidak terkendali atau melebihi kemampuan individu untuk mengatasinya. Stres juga adalah suatu keadaan tertekan, baik secara fisik maupun psikologis (Chapplin, 1999). Stres juga diterangkan sebagai suatu istilah yang digunakan dalam ilmu perilaku dan ilmu alam untuk mengindikasikan situasi atau kondisi fisik, biologis dan psikologis organisme yang memberikan tekanan kepada organisme itu sehingga ia berada diatas ambang batas kekuatan adaptifnya. (McGrath, dan Wedford dalam Arend dkk, 1997).
Menurut Lazarus & Folkman (1986) stres memiliki memiliki tiga bentuk yaitu:
1.      Stimulus, yaitu stres merupakan kondisi atau kejadian tertentu yang menimbulkan stres atau disebut juga dengan stresorr.
2.      Respon, yaitu stres yang merupakan suatu respon atau reaksi individu yang muncul karena adanya situasi tertentu yang menimbulkan stres. Respon yang muncul dapat secara psikologis, seperti: jantung berdebar, gemetar, pusing, serta respon psikologis seperti: takut, cemas, sulit berkonsentrasi, dan mudah tersinggung.
3.      Proses, yaitu stres digambarkan sebagai suatu proses dimana individu secara aktif dapat mempengaruhi dampak stres melalui strategi tingkah laku, kognisi maupun afeksi.
Rice (2002) mengatakan bahwa stres adalah suatu kejadian atau stimulus lingkungan yang menyebabkan individu merasa tegang. Atkinson (2000) mengemukakan bahwa stres mengacu pada peristiwa yang dirasakan membahayakan kesejahteraan fisik dan psikologis seseorang. Situasi ini disebut sebagai penyebab stres dan reaksi individu terhadap situasi stres ini sebagai respon stres.
Sarafino (2008) mengartikan stres adalah kondisi yang disebabkan oleh interaksi antara individu dengan lingkungan, menimbulkan persepsi jarak antara tuntutan-tuntutan yang berasal dari situasi yang bersumber pada sistem biologis, psikologis dan sosial dari seseorang.
Ivancevich (2001), mendefinisikan stres sebagai respon adaptif yang dimediasi oleh perbedaan individu dan proses psikologi yang merupakan konsekuensi dari keadaan eksternal, situasi atau kejadian yang berdampak pada keadaan fisik atau psikologis seseorang.
Wijono (2006), Stres adalah reaksi alami tubuh untuk mempertahankan diri dari tekanan secara psikis. Tubuh manusia dirancang khusus agar bisa merasakan dan merespon gangguan psikis ini. Tujuannya agar manusia tetap waspada dan siap untuk menghindari bahaya. Kondisi ini jika berlangsung lama akan menimbulkan perasaan cemas, takut dan tegang.
Berdasarkan berbagai penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa stres merupakan suatu keadaan yang menekan diri individu. Stres merupakan mekanisme yang kompleks dan menghasilkan respon yang saling terkait baik fisiologis, psikologis, maupun perilaku pada individu yang mengalaminya, dimana mekanisme tersebut bersifat individual yang sifatnya berbeda antara individu yang satu dengan individu yang lain.
Penyebab Stress/ Stresor
Stresor adalah faktor-faktor dalam kehidupan manusia yang mengakibatkan terjadinya respon stres. Stresorr dapat berasal dari berbagai sumber, baik dari kondisi fisik, psikologis, maupun sosial dan juga muncul pada situasi kerja, dirumah, dalam kehidupan sosial, dan lingkungan luar lainnya. Istilah stresorr diperkenalkan pertama kali oleh Selye (dalam Rice, 2002). Menurut Lazarus & Folkman (1986) stresorr dapat berwujud atau berbentuk fisik (seperti polusi udara) dan dapat juga berkaitan dengan lingkungan sosial (seperti interaksi sosial). Pikiran dan perasaan individu sendiri yang dianggap sebagai suatu ancaman baik yang nyata maupun imajinasi dapat juga menjadi stresorr.
Menurut Lazarus & Cohen (1977), tiga tipe kejadian yang dapat menyebabkan stres yaitu:
a.       Daily hassles yaitu kejadian kecil yang terjadi berulang-ulang setiap hari seperti masalah kerja di kantor, sekolah dan sebagainya.
b.      Personal stresor yaitu ancaman atau gangguan yang lebih kuat atau kehilangan besar terhadap sesuatu yang terjadi pada level individual seperti kehilangan orang yang dicintai, kehilangan pekerjaan, masalah keuangan dan masalah pribadi lainnya.

Ditambahkan Freese Gibson (dalam Rachmaningrum, 1999) umur adalah salah satu faktor penting yang menjadi penyebab stres, semakin bertambah umur seseorang, semakin mudah mengalami stres. Hal ini antara lain disebabkan oleh faktor fisiologis yang telah mengalami kemunduran dalam berbagai kemampuan seperti kemampuan visual, berpikir, mengingat dan mendengar.
Morris (1990) mengklasifikasikan stresor ke dalam lima kategori, yaitu:
1)      Frustasi (Frustration) terjadi ketika kebutuhan pribadi terhalangi dan seseorang gagal dalam mencapai tujuan yang diinginkannya. Frustrasi dapat terjadi sebagai akibat dari keterlambatan, kegagalan, kehilangan, kurangnya sumber daya, atau diskriminasi.
2)      Konflik (Conflicts), jenis sumber stres yang kedua ini hadir ketika pengalaman seseorang dihadapi oleh dua atau lebih motif secara bersamaan. Morris (1990) mengidentifikasi empat jenis konflik yaitu: approach-approach, avoidence-avoidence, approach-avoidence, dan multiple approach-avoidance conflict.
3)      Tekanan (Pressure), jenis dari sumber stress yang ketiga yang diakui oleh Morris, tekanan didefinisikan sebagai stimulus yang menempatkan individu dalam posisi untuk mempercepat, meningkatkan kinerjanya, atau mengubah perilakunya.
4)      Mengidentifikasi perubahan (Changes), tipe sumber stres yang keempat ini seperti hal nya yang ada di seluruh tahap kehidupan, tetapi tidak dianggap penuh tekanan sampai mengganggu kehidupan seseorang baik secara positif maupun negative
5)      Self-Imposed merupakan sumber stres yang berasal dalam sistem keyakinan pribadi pada seseorang, bukan dari lingkungan. Ini akan dialami oleh seseorang ketika ada tidaknya stres eksternal yang nyata.




Morris (1990) juga mengidentifikasikan empat reaksi terhadap stres:
1)      Reaksi dari fisiologis terhadap stres menekankan hubungan antara pikiran dan fisik.
2)      Reaksi dari emosional yang diamati dalam reaksi emosional terhadap stres ini adalah melalui emosi seperti rasa ketakutan, kecemasan, rasa bersalah, kesedihan, depresi, atau kesepian.
3)      Reaksi dari kognitif mengacu pada pengalaman individu terhadap stres dan penilaian kognitif yang terjadi dengan penilaiannya mengenai peristiwa stres dan kemudian apa strategi coping yang mungkin paling tepat untuk mengelola stres.
4)      Reaksi dari perilaku yang berkaitan dengan reaksi emosional seseorang terhadap stres yang dapat memberikan reaksi menangis, menjadi kasar kepada orang lain atau diri sendiri dan, penggunaan mekanisme pertahanan seperti rasionalisasi.

Sumber Stress
Sumber stres dapat berubah seiring dengan berkembangnya individu, tetapi kondisi stres dapat terjadi setiap saat selama hidup berlangsung. Menurut Sarafino (2008) sumber datangnya stres ada tiga yaitu:
1)      Diri individu
Hal ini berkaitan dengan adanya konflik. Menurut Miller dalam Sarafino (2008), pendorong dan penarik dari konflik menghasilkan dua kecenderungan yang berkebalikan, yaitu approach dan avoidance.
Kecenderungan ini menghasilkan tipe dasar konflik (Sarafino, 2008), yaitu :
a.      Approach-Approach Conflict
Muncul ketika kita tertarik terhadap dua tujuan yang sama-sama baik. Contohnya, individu yang mencoba untuk menurunkan berat badan untuk meningkatkan kesehatan maupun untuk penampilan, namun konflik sering terjadi ketika tersedianya makanan yang lezat.           
b.      Avoidance-Avoidance Conflict
Muncul ketika kita dihadapkan pada satu pilihan antara dua situasi yang tidak menyenangkan. Contohnya, pasien dengan penyakit serius mungkin akan dihadapkan dengan pilihan antara dua perlakuan yang akan mengontrol atau menyembuhkan penyakit, namun memiliki efek samping yang sangat tidak diinginkan. Sarafino (2008) menjelaskan bahwa orang-orang dalam menghindari konflik ini biasanya mencoba untuk menunda atau menghindar dari keputusan tersebut. Oleh karena itu, biasanya avoidance-avoidance conflict ini sangat sulit untuk diselesaikan.
c.       Approach-Avoidance Conflict
Muncul ketika kita melihat kondisi yang menarik dan tidak menarik dalam satu tujuan atau situasi. Contohnya, seseorang yang merokok dan ingin berhenti, namun mereka mungkin terbelah antara ingin meningkatkan kesehatan dan ingin menghindari kenaikan berat badan serta keinginan mereka untuk percaya terjadi jika mereka ingin berhenti.
2)      Keluarga
Sarafino (2008) menjelaskan bahwa perilaku, kebutuhan, dan kepribadian dari setiap anggota keluarga berdampak pada interaksi dengan orang-orang dari anggota lain dalam keluarga yang kadang-kadang menghasilkan stres. Menurut Sarafino (2008) faktor dari keluarga yang cenderung memungkinkan munculnya stres adalah hadirnya anggota baru, perceraian dan adanya keluarga yang sakit, cacat, dan kematian
3)      Komunitas dan masyarakat
Kontak dengan orang di luar keluarga menyediakan banyak sumber stres. Misalnya, pengalaman anak di sekolah dan persaingan. Adanya pengalaman-pengalaman seputar dengan pekerjaan dan juga dengan lingkungan dapat menyebabkan seseorang menjadi stres. (Sarafino, 2008)
Reaksi terhadap Stress
Stres dapat berpengaruh pada kesehatan dengan dua cara. Pertama, perubahan yang diakibatkan oleh stres secra langsung mempengaruhi fisik sistem tubuh yang dapat mempengaruhi kesehatan. Kedua, secara tidak langsung stres mempengaruhi perilaku individu sehinggga menyebabkan timbulnya penyakit atau memperburuk kondisi yang sudah ada (Safarino, 2008).
Kondisi dari stres memiliki dua aspek: fisik/biologis (melibatkan materi atau tantangan yang menggunakan fisik) dan psikologis (melibatkan bagaimana individu memandang situasi dalam hidup mereka) dalam Sarafino, 2008.
a. Aspek Fisiologis
Walter Canon (dalam sarafino, 2006) memberikan deskripsi mengenai bagaiman reaksi tubuh terhadap suatu peristiwa yang mengancam. Ia menyebutkan reaksi tersebut sebagai fight-or-fight response karena respon fisiologis mempersiapkan individu untuk menghadapi atau menghindari situasi yang mengancam tersebut. Fight-or-fight response menyebabkan individu dapat berespon dengan cepat terhadap situasi yang mengancam. Akan tetapi bila arousal yang tinggi terus menerus muncul dapat membahayakan kesehatan individu.
Selye (dalam Sarafino, 2006) mempelajari akibat yang diperoleh bila stresorr terus menerus muncul. Ia mengembangkan istilah General Adaptation Syndrome (GAS) yang terdiri atas rangkaian tahapan reaksi fisiologis terhadap stresorr yaitu:
A.    Fase reaksi yang mengejutkan ( alarm reaction )
Pada fase ini individu secara fisiologis merasakan adanya ketidakberesan seperti jantungnya berdegup, keluar keringat dingin, muka pucat, leher tegang, nadi bergerak cepat dan sebagainya. Fase ini merupakan pertanda awal orang terkena stres.
B.     Fase perlawanan (Stage of Resistence )
Pada fase ini tubuh membuat mekanisme perlawanan pada stres, sebab pada tingkat tertentu, stres akan membahayakan. Tubuh dapat mengalami disfungsi, bila stres dibiarkan berlarut-larut. Selama masa perlawanan tersebut, tubuh harus cukup tersuplai oleh gizi yang seimbang, karena tubuh sedang melakukan kerja keras.
C.     Fase Keletihan ( Stage of Exhaustion )
Fase disaat orang sudah tak mampu lagi melakukan perlawanan. Akibat yang parah bila seseorang sampai pada fase ini adalah penyakit yang dapat menyerang bagian – bagian tubuh yang lemah.
b. Aspek psikologis
Reaksi psikologis terhadap stresorr meliputi:
A.    Kognisi
Cohen menyatakan bahwa stres dapat melemahkan ingatan dan perhatian dalam aktifitas kognitif.
B.     Emosi
Emosi cenderung terkait stres.individu sering menggunakan keadaan emosionalnya untuk mengevaluasi stres dan pengalaman emosional (Maslach, Schachter & Singer, dalam Sarafino, 2006). Reaksi emosional terhadap stres yaitu rasa takut, phobia, kecemasan, depresi, perasaan sedih dan marah.
C.     Perilaku Sosial
Stres dapat mengubah perilaku individu terhadap orang lain. Individu dapat berperilaku menjadi positif dan negatif (dalam Sarafino, 2006). Stres yang diikuti dengan rasa marah menyebabkan perilaku sosial negatif cenderung meningkat sehingga dapat menimbulkan perilaku agresif (Donnerstein & Wilson, dalam Sarafino, 2006).


Selasa, 08 April 2014

Perbedaan Otak Perempuan dan Laki-Laki


Michael Guriaan dalam bukunya “What Could He Be Thinking? How a Man’s Mind really Works” menjelaskan, perbedaan antara otak laki-laki dan perempuan terletak pada ukuran bagian-bagian otak, bagaimana bagian itu berhubungan serta cara kerjanya. Perbedaan mendasar antara kedua jenis kelamin itu adalah:
1. Perbedaan spasial
Pada laki-laki otak cenderung berkembang dan memiliki spasial yang lebih kompleks seperti kemampuan perancangan mekanis, pengukuran penentuan arah abstraksi dan manipulasi benda-benda fisik.
Tak heran jika laki-laki suka sekali mengutak-atik kendaraan.
2. Perbedaan verbal
daerah korteks otak pria lebih banyak tersedot untuk melakukan fungsi-fungsi spasial dan cenderung memberi porsi sedikit pada daerah korteksnya untuk memproduksi dan menggunakan kata-kata. Kumpulan saraf yang menghubungkan otak kiri-kanan atau corpus collosum otak laki-laki lebih kecil seperempat ketimbang otak perempuan.
Bila otak pria hanya menggunakan belahan otak kanan, otak perempuan bisa memaksimalkan keduanya. Itulah mengapa perempuan lebih banyak bicara ketimbang pria. Dalam sebuah penelitian disebutkan, perempuan menggunakan sekitar 20.000 kata per hari, sementara pria hanya 7.000 kata!
3. Perbedaan bahan kimia
Otak perempuan lebih banyak mengandung serotonin yang membuatnya bersikap tenang. Tak aneh jika wanita lebih kalem ketika menanggapi ancaman yang melibatkan fisik, sedangkan laki-laki lebih cepat naik pitam. Selain itu, otak perempuan juga memiliki oksitosin, yaitu zat yang mengikat manusia dengan manusia lain atau dengan benda lebih banyak. Dua hal ini mempengaruhikecenderungan biologis otak pria untuk tidak bertindak dahulu ketimbang bicara. Ini berbeda dengan perempuan.
4. Memori lebih kecil
Pusat memori (hippocampus) pada otak perempuan lebih besar ketimbang pada otak pria. Ini bisa menjawab pertanyaan kenapa bila laki-laki mudah lupa, sementara wanita bisa mengingat segala detail.

Minggu, 16 Maret 2014

Gaya Kognitif Reflektif dan Impulsif

Gaya Kognitif Reflektif Versus Impulsif
Dimensi gaya kognitif versus impulsive telah digambarkan sebagai “kecenderungan yang konsisten untuk menampilkan waktu respon lambat atau cepat dalam situasi masalah dengan respon tinggi yang tidak pasti” (Kagan, 1965, p. 134). Orang yang menunjukkan gaya reflektif akan menghabiskan lebih banyak waktu memeriksa masalah, mempertimbangkan solusi alternatif, dan akan memeriksa akurasi dan kelengkapan setiap hipotesis. Gaya impulsif ditandai dengan kecenderungan untuk membuat keputusan yang cepat dan untuk merespon dengan apa yang terlintas dalam pikiran bukan dengan pemeriksaan kritis. Gaya reflektif dibandingkan impulsif telah terbukti stabil dari waktu ke waktu, meskipun ada kecenderungan untuk refleksi meningkat karena subjek semakin lebih tua (Kagan, 1965).
Perumusan teoritis gaya reflektif dibandingkan impulsif adalah pertumbuhan dari karya Kagan dan rekan-rekannya (Kagan, Rossman, Day, Albert & Phillips, 1964) di Institut Fels. Kagan dkk mengamati bahwa ada perbedaan dalam cara anak mendekati mereka "situasi masalah di mana banyak hipotesis solusi tersedia secara bersamaan, (dan di mana) anak harus mengevaluasi perbedaan secara cukup dari setiap kemungkinan" (hal. 13). Matching Familian Figure Test (MFFT) dikembangkan pada tahun 1966 oleh psikolog AS Jerome Kagan (lahir 1929) sebagai instrumen untuk meneliti dimensi reflektif-impulsif pada anak-anak. Konstruk impulsif juga telah diteliti melalui tes situasional yang melibatkan penundaan pemuasan (lihat Mischel, 1966) dan dengan menggunakan kombinasi prosedur seperti tes MFFT dan situasional (Blok, Blok 8:. Harrington, 1974 ).
MFFT ini terdiri dari 12 item yang mewakili obyek yang familiar (seperti telepon, pesawat, dan koboi) dan dua item sampel. Subjek disajikan dengan gambar standar dan enam gambar "sangat mirip" tapi hanya satu yang identik dengan standar. Subjek diinstruksikan untuk memilih bahwa gambar mana yang identik dengan standar. Skor didasarkan pada lamanya waktu yang dibutuhkan sebelum menjawab dan jumlah kesalahan yang dihasilkan. Responden dengan waktu respon pendek dan tingginya jumlah kesalahan akan mendapatkan nilai indikatif impulsif, sedangkan responden dengan waktu respon lebih lama dan rendahnya jumlah kesalahan akan mendapatkan nilai indikatif menjadi "reflektif." Telah menunjukkan bahwa korelasi negatif yang tinggi ada di antara waktu respon pada MFFT dan jumlah kesalahan yang dihasilkan., Yaitu, pengambil tes yang merespon dengan cepat cenderung membuat kesalahan lebih dari yang merespon lebih lambat (Kagan, 1965).

Contoh gambar Tes MFFT
Dalam penelitian yang membandingkan performa 58 11-year-olds di MFFT dengan performa di Skala Kecerdasan Wechsler untuk Anak-Revisi (WISC-R), anak-anak dikategorikan sebagai reflektif berdasarkan performa MFFT ditemukan melakukan secara signifikan lebih tinggi pada organisasi visual dan subtes perhatian-konsentrasi WISC-R daripada anak ditunjuk sebagai impulsif (Brannigan, Ash, & Margolis, 1980).
MFFT telah dikritik karena kurangnya data normatif dan kurangnya bentuk alternatif untuk mengurangi efek praktek yang dalam pengujian ulang (Arizmendi, Paulsen, & Domino, 1981). Namun, tes telah digunakan dalam sejumlah proyek penelitian, termasuk studi mengeksplorasi bagaimana impulsivitas pada anak-anak mungkin dimodifikasi. Kagan, Pearson, & Welch (1966) mampu memperpanjang waktu respon MFFT dari impulsif anak kelas satu dengan menyediakan pelatihan pengalaman dalam pencocokan visual, penalaran induktif, dan masa diberlakukan penundaan sebelum memberikan tanggapan. Dalam studi yang melibatkan 48 impulsif di kelas dua dan tiga, Nelson dan Birkimer (1978) menunjukkan bahwa pelatihan penguatan diri dapat memperpanjang waktu respon pada MFFT dan secara signifikan mengurangi kesalahan. Dalam studi lain itu menunjukkan bahwa pelatihan instruksi diri secara lisan dapat mengakibatkan peningkatan waktu respon di MFFT penurunan kesalahan MFFT untuk subyek impulsif serta meningkatkan peringkat guru dalam perilaku di kelas (Kendall & Finch, 1978). Meskipun pada awalnya digunakan dalam penelitian dengan anak-anak, investigasi Kagan formulasi dengan populasi orang dewasa telah dilakukan (misalnya, Brodzinsky & Dein, 1976; O'Keefe & Argulewicz, 1979).



 
Blogger Templates