BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Gangguan
Mood
Seperti namanya, gangguan mood dikarakteristikkan
dengan emosi negative yang intens dan terjadi dalam waktu yang cukup lama,
meliputi perasaan depresi, putus asa dan despair. Gangguan ini juga dibarengi
dengan beberapa gejala yang nantinya akan berpengaruh dengan fungsi keseharian
dan hubungan pertemanan remaja. Gejala
yang paling umum adalah mudah tersinggung, merasa tidak berdaya, merasa
bersalah, lesu dan kelelahan.
Gejala-gejala tersebut juga direfleksikan dengan kurangnya minat dalam
melakukan aktifitas yang menyenangkan dan penurunan performa akademik.
Pada beberapa remaja, periode mood normal dan
depresi berlawanan dengan episode mania,
yakni fase mood yang secara abnormal dan terus meningkat dan meluas atau cepat
marah (APA, 2000a; p.357). Episode manic biasanya dibarengi dengan meningkatnya
aktifitas dan menurunnya keinginan untuk tidur
dan dalam banyak kasus disertai dengan meningkatnya kepercayaan diri
yang berlebihan. Pada kasus yang serius, kelainan tersebut dilanjutkan hingga
dewasa atau berakhir dengan bunuh diri,
DSM IV TR menggunakan criteria yang sama dalam
menganalisis gangguan mood pada anak- anak dan remaja dengan criteria untuk
orang dewasa. Disebutkan terdapat 3 gangguan mood yang primer yaitu gangguan
depresi mayor, gangguan distimik dan gangguan bipolar.
2.1.1
Sejarah
Deskripsi modern pertama tentang gangguan mood ditemukan
sekitar 150 tahun yang lalu. Pada tahun 1860, Sir James dan Crichton-Browne
yang merupakan seorang fisikawan mengamati bhawa depresi muncul tidak sesuai
dengan perkembangan awal meskipun demikian hal ini hanya dalam penampilan dimana
kegembiraan masa kanak-kanak dapat memberikan tempat untuk putus asa dan putus
asa dan iman dan keyakinan dapat digantikan oleh keraguan dan kesengsaraan.
Beberapa tahun kemudian ilmuwan Inggris, Harold Maudsley (1867) menyertakan
melankolia -label awal untuk depresi- ke dalam satu dari tujuh bentuk kegilaan
anak-anak. Pada tahun 1975 pada National Institute of Mental Health Conference
on Depresion in Children depresi pada orang dewasa mulai mendapat perhatian.
Kemudian bahwa terdapat kemungkinan pengalaman-pengalaman menyakitkan pada masa
kanak-kanak merujuk diperhatikannya gangguan mood pada anak dan remaja.
Penelitian pertama berhipotesis bahwa depresi itu tersirat,
yang muncul secara nyata adalah bentuk dari gangguan lain seperti agresi,
hiperaktivitas atau kecemasan (Glaser, 1967). Yang kemudian memunculkan istilah
masked depression dan gejala-gejala lain tersebut disebut sebagai depressive
equivalent. Namun definisi yang jelas tentang apa saja yang termasuk dalam depressive
equivalent itu masih belum dapat dijelaskan karena semua gejala gangguan bisa
merupakan depressive equivalent kecuali gangguan autism dan skizofrenia.
2.1.2 2.1.2. Major
Depressive Disorder
Episode
Depresi
DSM-IV-TR
kriteria diagnosis episode depresi mayor
|
A. Lima
(atau lebih) gejala yang ada berlangsung selama 2 minggu dan memperlihatkan
perubahan fungsi, paling tidak satu atau lainnya (1)mood depresi
(2)kehilangan minat
1.
Mood depresi terjadi
sepanjang hari atau bahkan setiap hari, diindikasikan dengan laporan yang
subjektif (merasa sedih atau kosong) atau yang dilihat oleh orang sekitar.
Note : pada anak dan remaja, dapat mudah marah
2.
Ditandai dengan
hilangnya minat disemua hal, atau hampir semua hal
3.
Penurunan berat badan
yang signifikan ketika tidak diet, atau penurunan atau peningkatan nafsu
makan hamper setiap hari. Note : pada anak-anak, berat badan yang tidak naik
4.
Insomnia atau
hipersomnia hamper setiap hari
5.
Agitasi psikomotor
atau retardasi hampir setiap hari (dilihat oleh orang lain, bukan perasaan
yang dirasakan secara subjektif dengan kelelahan atau lamban)
6.
Cepat lelah atau
kehilangan energi hampir setiap hari
7.
Merasa tidak berguna
atau perasaan bersalah yang berlebihan (bisa terjadi delusi) hampir setiap
hari
8.
Tidak dapat
berkonsentrasi atau berpikir hampir setiap hari
9.
Pemikiran untuk mati
yang berulang, ide bunuh diri yang berulang tanpa perencanaan yang jelas,
atau ide bunuh diri dengan perencanaan.
B. Gejala-gejalanya
tidak memenuhi episode campuran
C. Gejala
yang ada menyebabkan distress atau kerusakan yang signifikan secara klinis
D. Gejala
tidak disebabkan langsung oleh sebuah zat (penyalahgunaan obat, obat-obatan)
atau kondisi medis umum (hipotiroid)
E.
Gejala yang muncul
lebih baik tidak masuk dalam kriteria bereavement (kehilangan)
|
Gangguan Depresi Mayor atau MDD dikarakteristikkan
dengan kemunculan satu atau lebih dari episode depresi tersebut yang masing –
masing berlangsung selama 2 minggu. Awalnya mungkin akan sulit mnentukan apakah
anak mengalami episode depresi tunggal atau episode rutin karena gejala cenderung
fluktuatif. Sehingga ketika episode depresi berakhir harus ada waktu dua bulan
dimana anak tidak mengalami gejala apapun (APA, 2000a).
v Irritability vs
depressed mood
Meskipun
criteria yang sama digunakan untuk mendiagnosa gangguan depresi mayor pada
segala usia, DSM IV TR menyebutkan bahwa tidak seperti orang dewasa, anak-anak
dan remaja terlihat cenderung lebih
cepat marah daripada depresi (APA, 2000a). Hal ini penting untuk meletakkan
diagnosa lebih kepada reaksi anak terhadap depresi daripada kepada depresi
tersebut. Dengan kata lain, alih-alih seorang anak mengeluh bahwa ia depresi,
anak dengan gangguan depresi mayor lebih sering ngambek dan cepat marah karena
mereka merasa depresi.
v Perbedaan usia
Gejala
utama pada gejala depresi mayor biasanya sama pada anak dan remaja yang
mengalami gangguan tersebut. Namun, frekuensi dari gejala lainnya bervariasi
tergantung dari usia. Anak-anak yang lebih muda sering terlihat sedih dan depresi
dan sering mengeluhkan keluhan fisik seperti pusing dan sakit perut. Mereka
juga bisa menjadi cepat marah. Sebaliknya, remaja lebih mampu mengekspresikan
perasaan sedih dan putus asa dan mengalami perubahan dalam pola tidur, energy,
selera makan dan berat badan. Anak
dengan gangguan depresi mayor lebih sering cemas, sedangkan remaja cenderung
akan mengalami anhedonia (penurunan minat terhadap aktifitas yang menyenangkan)
(Kashani & Carlson, 1987; Ryan et al., 1987)
v Gejala Vegetatif
Banyak
dari anak-anak dengan gangguan depresi mayor menderita gejala somatis atau
vegetatif, terutama pada remaja. Gejala-gejala ini termasuk hipersomnia
(terlalu banyak tidur). Insomnia (kurang tidur atau gangguan tidur) penambahan
atau penurunan berat badan, perubahan selera makan dan kelelahan (Mitchell,
McCauley, Burke, & Moss, 1988). Gejala- gejala vegetatif sering menjadi
keluhan utama orang tua yang membawa anaknya untuk konsultasi professional
seperti perubahan pola tidur, makan dan aktifitas harian lainnya yang mana dari
sini akan lebih mudah ditelusuri daripada perasaan yang mendalam dari
keputusasaan dan ketidak berdayaan atau perubahan selera.
v Gejala Endogen
Sekitar
setengah dari anak dan remaja yang mengalami gangguan depresi mayor memiliki
gejala endogen (Mitchell et al 1988, Ryan et al 1987) yaitu karakteristik emosi
dan tingkah laku yang bukan disebabkan oleh lingkungan. Gejala endogen tersebut
meliputi perubahan mood secara harian (biasanya mood buruk pada pagi hari),
mood yang tidak bisa merespon perubahan pada lingkungan dan beremosi datar.
v Gejala Psikotik
Anak
dan remaja dalam jumlah yang signifikan juga menunjukkan adanya gejala psikotik
selama episode depresi. Yang paling sering adalah halusinasi auditori (30-50%),
sedangkan halusinasi visual dan olfaktori terhitung sangat jarang misalnya
delusi (6-7%).
2.1.3 2.1.3. Dysthymia
DSM-IV-TR
kriteria diagnostic distimia
|
A. Mood
depresi hampir sepanjang hari, untuk beberapa hari lalu tidak, diindikasikan
dengan subjektif atau dilihat oleh orang lain, paling tidak selama 2 tahun.
Note : pada anak dan remaja, mood sgt iritabel dan durasinya minimal 1 tahun
B. Kondisi
saat depresi, dua atau lebih :
1.
Nafsu makan yang
buruk atau berlebihan
2.
Insomnia atau
hipersomnia
3.
Sedikit tenaga atau
kelelahan
4.
Harga diri yang
rendah
5.
Sulit berkonsentrasi
atau kesulitan dalam membuat suatu keputusan
6.
Putus asa
C. Selama
2 tahun (1 tahun untuk anak) terdapat gangguan, tidak pernah tanpa
gejala-gejala pada kriteria A dan B lebih dari 2 bulan pada satu waktu
D. Tidak
terdapat episode depresi mayor selama 2 tahun awal gangguan (1 tahun untuk
anak dan dewasa), gangguan ini lebih baik tidak dihitung sebagai gangguan depresi
mayor kronik atau MDD in Partial Remission.
E.
Tidak pernah ada
episode mania, episode campuran, atau hipomania, dan tidak termasuk dalam
gangguan siklotimik
F.
Gangguan tidak
terjadi saat terdapatnya gangguan psikotik kronis, seperti skizofrenia atau
gangguan waham
G. Gejala
bukan karena efek fisiologis dari suatu zat (penyalahgunaan obat-obatan
terlarang, obat) atau kondisi medis umum (hipotiroid)
H. Gejala
menunjukkan dengan jelas distress dan gangguan pada kehidupan sosial,
pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.
|
Distimia disebut juga dengan depresi tingkat rendah
karena penderitanya mengalami gejala yang tidak lebih parah namun distimia
terhitung lebih kronis dibadingkan MDD. Juga, fluktuasi antara periode
depresi dan remisi tidak begitu terlihat
sehingga menyulitkan untuk menentukan kapan periode-periode itu dimulai dan
berakhir. Gangguan harus berlangsung minimal satu tahun tanpa ada peningkatan
lebih dari dua bulan pada saat itu. Dengan kata lain, kebanyakan anak-anak
dengan distimia memiliki gejala yang lebih rendah dari MDD yang sedang berada
dalam episode depresi. Namun demikian, mereka bisa berbulan-bulan tanpa ada
peningkatan yang signifikan dengan mood nya (APA, 2000a).
Seperti pada MDD, DSM IV TR menyebutkan bahwa anak
dan remaja dengan distimia sering terlihat cepat marah daripada depresi.
Disamping gangguan mood, disebutkan dalam DSM bahwa diperlukan paling tidak dua
dari enam gejala sebelum diagnosis dapat dibuat. Termasuk penurunan minat
terhadap hal yang biasanya disukai, kelelahan, tidak berenergi, gangguan tidur
dan makan, tidak percaya diri dan ketidakmampuan berjonsentrasi dan mengambil
keputusan, merasa pesimis dan putus asa. Dalam jangka waktu yang lama hal ini
tentu saja dapat mengganggu fungsi keseharian. Dan karena berlangsung kronis,
gejala-gejala ini dapat saja terlihat seperti sebuah kepribadian dibandingkan
dengan gangguan psikologis.
2.1.4.
Gangguan
Bipolar
Episode Manik. Karakteristik
kunci dari gangguan bipolar adalah adanya satu atau lebih episode manik.
Episode-episode ini merupakan fase kegembiraan yang ekstrem atau euforia,
sering bercampur dengan sifat yang mudah marah dan aktivitas yang berlebihan. Anak dengan gangguan bipolar akan bergantian antara periode mania dan suasana hati yang
depresi. Meskipun pada remaja, mereka akan tampak bersemangat dan
terlalu gembira selama periode manik dan lebih banyak berada pada suasana hati yang baik. Mania adalah
keadaan suasana hati (mood) yang abnormal yang memiliki dampak beresiko
bagi anak-anak atau remaja yang terkena, karena emosi mereka tidak sesuai
dengan apa yang terjadi dalam hidup mereka. Sehingga akan memisahkan mereka
dari orang yang mereka cintai atau bertindak berbahaya.
Contoh kasus : Josh anak berusia 10 tahun. Ia
mengalami masalah “mood swings” dan
perilaku agresif selama dua tahun. Ibunya mencatat bahwa ia selalu
"sensitif", tapi akhir-akhir ini tampaknya apapun bisa membuatnya
marah dan gelisah yang ekstrem dalam
periode yang lama. Ketika diganggu, Josh sering berbicara kepada keluarganya
tentang "ketidakadilan" dan
apa yang dialaminya adalah sesuatu yang tidak adil. Ibunya juga melaporkan
bahwa selama periode ini Josh berbicara tanpa henti tentang topik yang tidak
bermakna untuk orang di sekitarnya-- tidak relevan. Ketika Josh tidak dalam keadaan
gelisah dan marah, ia sering mengungkapkan perasaan putus asa dan rasa bersalah
serta keinginan untuk bunuh diri.
Josh diadopsi sebagai bayi dan sedikit yang
diketahui tentang keluarga kandungnya. Ibu biologisnya menderita depresi parah
dan paman dari pihak ibu telah didiagnosis menderita gangguan bipolar. Namun
tidak ada informasi yang tersedia tentang ayah kandungnya.
Karena kegelisahan dan ketakutan ekstrim yang
dialaminya, ia mungkin saja bertindak berbahaya di rumah atau di sekolah. Josh
dirawat di rumah sakit. Dalam waktu seminggu, pengobatannya dimulai dengan
pemberian obat lithium untuk menstabilkan suasana hatinya dan ia mulai
menunjukkan tanda-tanda kemajuan dan setelah lima minggu.
Berikut adalah kriteria diagnosis untuk episode
manik. Hanya satu episode yang dibutuhkan untuk diagnosis gangguang bipolar,
karena mayoritas orang yang memiliki satu akan memiliki gangguan lainnya. Di samping perubahan suasana
hati yang cepat merupakan
karakteristik dari gangguan, DSM
IV TR mensyaratkan
bahwa anak atau remaja
menunjukan tiga atau lebih gejala
terkait (atau empat jika mood manik terutama marah)
yang menjelaskan secara singkat di sini.
Episode Manik :
Kriteria Diagnostik DSM IV TR
A. Periode
yang berbeda secara abnormal dan terus menerus tinggi, ekspansif, atau perasaan yang mudah tersinggung, yang berlangsung setidaknya 1 minggu (atau durasi jika
dirawat di rumah sakit diperlukan).
B. Selama periode
gangguan mood,
tiga (atau lebih) gejala berikut telah bertahan (empat jika mood hanya
mudah tersinggung) dan telah hadir ke tingkat yang signifikan.
(1) Meningkatnya
harga diri atau kebesaran.
(2) Penurunan kebutuhan untuk tidur (merasa cukup
dengan tidur selama 3 jam).
(3) Lebih banyak bicara dari biasanya atau tekanan untuk terus
berbicara
(4)
Flight of ideas
atau pengalaman subjektif bahwa pikirannya banyak sekali.
(5)
Distractibility
(perhatian terlalu mudah terganggu pada rangsangan eksternal yang tidak penting atau
tidak relevan)
(6) Peningkatan pada aktivitas yang bersifat goal-directed
(baik secara sosial, di tempat kerja atau sekolah atau secara seksual) atau agitasi psikomotor.
(7) Keterlibatan
yang berlebihan dalam kegiatan
yang menyenangkan yang memiliki potensi tinggi untuk konsekuensi menyakitkan
(misal terlibat dalam berbelanja sambil bersuka ria, aktivitas seksual
yang tidak bijak, atau investasi bisnis
yang bodoh).
C. Gejala
tidak menemui kriteria untuk Episode Campuran (Mixed Episode).
D. Gangguan
mood cukup parah menyebabkan penurunan biasanya dalam fungsi pekerjaan atau kegiatan sosial atau hubungan
dengan orang lain atau mengharuskan
rawat inap untuk mencegah bahaya bagi diri sendiri atau orang lain atau ada fitur psikotik.
E. Gejala
bukan disebabkan oleh efek fisiologis langsung dari zat tertentu (misal
penyalahgunaan narkoba, obat, atau perawatan lainnya) atau kondisi medis
lainnya (misal hipertiroid).
Pressured Speech, Racing Thoughts, dan Perilaku yang
Beresiko Tinggi. Perubahan mood pada gangguan bipolar umumnya
disertai oleh peningkatan energi dan level aktivitas; penurunan kebutuhan untuk
tidur, dan racing thoughts. Pressured speech merupakan tanda eksternal dari racing thoughts, atau dalam klinis disebut dengan flight
of ideas. Dengan gaya perilaku seperti ini, anak dengan mania akan
sering terlibat dalam aktivitas menyenangkan yang beresoko tinggi seperti
penggunaan obat-obatan dan seks (Weller et al., 1995). Sehingga mungkin mereka
butuh dirawat di rumah sakit untuk perlindungan diri mereka.
Perasaan Diri
yang Berlebihan dan Fitur Psikotik. Episode
manik juga sering disertai oleh perasaan berlebihan atau kebesaran diri
yang tidak memiliki dasar dalam
kenyataan. Contohnya, seorang
remaja dengan nilai yang buruk
dengan percaya diri
mengumumkan bahwa dia akan
menjadi seorang pengacara atau
ketika gagal tes, dia mengatakan
bahwa guru mengajar secara tidak benar (Geller and Luby, 1997).
Pada beberapa kasus, perasaan diri yang berlebih ini
ditetapkan sebagai halusinasi atau delusi anak. Sebagai contoh, remaja yang
memulai periode manik percaya bahwa Tuhan berbicara kepadanya dan mengembangkan
delusinya bahwa ia adalah seorang penyampai pesan (nabi). Carlson dan Strober
(1979) menemukan bahwa 50% remaja dengan gangguan bipolar dinilai memiliki
halusinasi dan 66% memiliki delusi.
Dalam DSM IV TR menjelaskan episode campuran (mixed episodes),
dimana anak dan remaja memiliki kriteria diagnosis manik dan depresi dan
berputar secara cepat antara periode mania, depresi mayor, dan mood normal; dan episode hipomanik (hypomanic
episodes), dimana kriteria penuh untuk mania tidak ditemukan, tetapi
orang tersebut memiliki gejala manik yang mengganggu fungsi.
2.1.5.
Bunuh
Diri
Gangguan mood sering disertai oleh ide untuk bunuh
diri—pemikiran yang tetap tentang kematian atau rencana untuk bunuh diri.
Umunya terjadi pada remaja yang secara klinis mengalami depresi. Sebagai contoh
pada komunitas sampel lebih dari 1.700 remaja, Roberts, Lewinsohn, dan Seely
(1995) menemukan bahwa 41% telah berpikir untuk bunuh diri, pesentase ini lebih
tinggi secara signifikan dalam sampel klinis, sering menyebabkan lebih dari 75%
anak dan remaja yang depresi (DiFillipo & Overholser, 2000). Bahkan secara
tragis, ada anak usia 4 tahun yang menyatakan bahwa ia tidak ingin hidup lagi.
v Tanda-tanda
Meningkatnya Potensi Bunuh Diri pada Seseorang
Berikut adalah daftar perilaku yang mengindikasikan
bahwa seseorang memiliki resiko yang tinggi untuk bunuh diri dan mungkin sebenarnya
telah merenungkannya :
·
Usaha atau gestur
sebelumnya
·
Rencana bunuh diri
·
Rencana letal,
khususnya yang melibatkan senjata api
·
Rencana untuk bunuh
diri yang dikombinasikan dengan penggunaan alkohol
·
Keinginan besar untuk
bergabung dengan seseorang yang dicintai yang telah meninggal
·
Kegagalan dalam
mengembangkan rapport dengan ahli
klinis
·
Komunikasi tentang
bunuh diri, baik secara lisan maupun tulisan
·
Frekuensi yang tinggi
tentang rencana bunuh diri
·
Dukungan orangtua yang
tidak adekuat, pengawasan, atau penilaian/ penghakiman
Sumber : Carlson
dan Abbott (1995), p. 2389.
v Mengapa Beberapa Remaja
Berusaha untuk Melakukan Bunuh Diri?
Untuk menjawab pertanyaan ini,
Boergers, Spirito, dan Donaldson (1998) bertanya kepada 120 remaja yang
berusaha untuk bunuh diri.
·
Untuk mati
·
Untuk mendapatkan
bantuan dari keadaan pikiran yang mengerikan
·
Untuk melarikan diri
sementara dari situasi tertentu
·
Untuk membuat
orang-orang mengerti seberapa mereka merasa depresi
·
Untuk membuat
orang-orang menyesal terhadap apa yang telah dilakukannya
·
Untuk menunjukan
seberapa besar kamu mencintai seseorang
·
Untuk mengetahui apakan
seseorang benar-benar mencintaimu atau tidak
·
Untuk mencari bantuan
seseorang
·
Untuk mencoba dan
mempengaruhi seseorang atau merubah pikirannya
2.2.
Diagnostik
dan Pertimbangan Perkembangan
Diagnosis dari gangguan mood pada remaja dapat menjadi sulit karena (1) tingkat depresi memiliki makna yang berbeda dan
(2) gejala gangguan mood berubah
seiring bertambahnya usia, sering secara signifikan.
2.2.1.
Dari
Perasaan Normal menuju Gangguan
Dalam arti luas,
periode depresi
merangkum perasaan tertekan dan putus asa dan mengalami titik-titik
yang berbeda dalam hidup. Perasaan ini
lebih dikatakan normatif daripada patologis, karena manusia pada umumnya dan anak muda pada khususnya merasakan hal
tersebut. Sebagai Contoh, Achenbach (1991) menemukan
bahwa 40% remaja melaporkan perasaan depresi
dan 10% sampai 20%
orangtua yang memiliki anak remaja menjelaskan
anak mereka sebagai orang yang depresi.
Akhirnya,
istilah depresi memiliki arti diagnostik. Mengacu pada gangguan psikologis yang kehadirannya dapat dibentuk dengan kriteria tertentu seperti orang-orang dari DSM IV TR. Dalam hal ini, istilah tersebut tidak hanya menggambarkan sekumpulan gejala yang spesifik, tetapi
juga menentukan sindrom
yang telah mencapai tingkat keparahan tertentu,
telah berlangsung untuk jangka waktu minimum dan secara
signifikan mengganggu keampuan
anak atau remaja
untuk berfungsi secara normal.
2.2.2.
Perubahan
dalam Gejala Selama Perkembangan
Carlson dan Kashani (1988) membandingkan gejala
depresi pada anak pre school, anak
usia sekolah, remaja, dan dewasa. Mereka menemukan variasi kecil selama
perkembangan pada gejala seperti mood yang
depresi, kekurangan konsentrasi, gangguan tidur, dan ide untuk bunuh diri.
Bahaimana pun, kurangnya minat pada aktivitas yang menyenangkan ditandai dengan
perubahan mood sepanjang hari, putus
asa, keterlambatan psikomotor, dan gejala psikotik bertambah seiring usia;
mudah merasa marah, penampilan yang sedih, konsep diri yang rendah, dan
komplain somatik berkurang seiring bertambahnya usia. Sebagai contoh, rasa
mudah marah dan emosi yang ekstrem lebih sering terjadi pada anak di bawah usia
9 tahun; tetapi perasaan euforia, kegembiraan, dan kebesaran sering terjadi pada
remaja (Weller, Weller, & Fristad, 1995).
2.3.
Validitas
Empiris
2.3.1.
Gangguan
Depresi Mayor dan Dysthymia
Validitas empiris dari MDD dan dysthymia pada dewasa
telah ditetapkan dengan jelas. Penelitian mengarah ke perbandingan, tetapi kesimpulan di masa kecil dan remaja dilakukan dengan lebih hati-hati.
Penggunaan
Kriteria Diagnostik pada Dewasa. Kriteria
pada dewasa mendapat diagnosis MDD dan
dysthymia yang valid (Hammen & Rudolph, 1996),
sebagaimana temuan berikut yang membuat jelas : (1) Selama iritabilitas
diterima sebagai perasaan sedih atau
mood depresi yang ekuivalen, kriteria cocok untuk
menggambarkan perilaku anak-anak dan remaja yang mengalami depresi.
(2) Anak atau remaja yang diidentifikasi berdasarkan kriteria ini
juga diidentifikasi dengan metode lain,
seperti pengukuran laporan diri (self report) dan kuesioner yang
dilengkapi oleh orangtua,
guru, dan teman
sebaya. (3) Meskipun
ada beberapa variabilitas dalam intensitas
dan frekuensi gejala seiring dengan usia, pada anak dan remaja secara umum menunjukan fitur
inti depresi yang
sama seperti orang
dewasa. (4) Gangguan mood pada masa anak-anak atau remaja mewakili risiko khusus
psikologipatologi dewasa; dengan kata lain, kemungkinan
untuk mengalami gangguan depresi seperti MDD dan dysthymia meningkat secara signifikan di masa
dewasa.
MDD
vs Dythimia.
Bukti untuk validitas empiris dari MDD
dan dysthymia juga datang dari fakta bahwa dua gangguan dapat dibedakan dari
satu sama lain sebelum masa dewasa. Mereka memiliki pola gejala yang berbeda (meskipun tumpang tindih dalam gejala yang sebenarnya), berbeda usia
onset, dan berbeda perkembangan lintasan.
2.3.2. Gangguan
Bipolar
Beberapa peneliti percaya bahwa
mania yang sebenarnya jarang terjadi pada anak-anak dan remaja muda. Pada usia
itu, remaja yang
terkena dampak tidak
memanifestasikan periode jelas dari mania
dan depresi (atau mood yang normal); malahan mereka membuat transisi
yang cepat antara agitasi,
iritabilitas, agresi, depresi, dan mood yang normal (Kleine, Pine, & Klein,
1998). Seperti kasus
Josh, yang telah
dijelaskan sebelumnya, kebanyakan
anak-anak yang terkena dampak memiliki periode singkat agitasi atau
mudah marah secara ekstrem yang
berlangsung biasanya selama
beberapa jam, bukan untuk minimal
satu minggu sebagaimana ditentukan
dalam kriteria diagnostik. Lebih banyak remaja akan
memenuhi syarat untuk diagnosis gangguan
bipolar jika minimal seminggu gejala tidak
diperlukan (Carlson & Kashani, 1988).
2.4.
Komorbiditas
Semua gangguan pada anak-anak dan juga remaja
termasuk gangguan mood berkaitan dengan simptom-simptom psikologis lainnya.
Sebagai contoh, pada studi klinis yang dilakukan oleh Kolvin dan kawan-kawannya
(1991) terhadap 275 anak-anak dan remaja ditemukan bahwa hampir 90% partisipan
yang didiagnosa mengalami gangguan mood juga mengalami gangguan lainnya. Inilah
yang disebut dengan komorbiditas. Bukti pada komorbiditas ini dibatasi karena
partisipan lebih sering menggambarkan dirinya sebagai pemuda yang depresi
ketimbang menyebut dirinya pemuda yang mengalami MDD, dysthymia, atau gangguan
bipolar. Selain itu, pada penelitian tersebut tidak dibuat secara jelas apakah
komorbiditas ini dihubungkan dengan gangguaan mood secara umum atau secara
spesifik, semisal dikaitkan langsung dengan MDD, dysthymia, atau gangguan
bipolar.
Gangguan mood cenderung mengalami penurunan ketika
beranjak remaja sekalipun pada masa anak-anak mengalami peningkatan yang sangat
drastis (Anderson & McGee, 1994; Peterson et al., 1993). Komorbiditas
sering dikaitkan dengan gender. Komorbiditas pada wanita berkaitan dengan
gangguan kecemasan dan gangguan makan, sedangkan pada pria berkaitan dengan
gangguan perilaku disruptif.
2.4.1. Double
Depression
Komorbiditas sering terjadi pada MDD dan dysthymia.
Sebagai contoh, ketika Joseph didiagnosa oleh sebuah klinisi. Awalnya Joseph
hanya didiagnosa engalami gangguan dysthymia saja. Namun, Ibu Josep melaporkan
bahwa Joseph memiliki mood yang lebih buruk sebelumnya di awal taun dan sering
mengatakan bahwa ia ingin mati. Ini berarti jika Joseph datang kepada klinisi
beberapa bulan lebih awal, maka kemungkinan ia akan didiagnosa mengalami dua
gangguan, yaitu MDD dan dysthymia. Secara klinis, munculnya dua gangguan ini
secara bersamaan disebut sebagai double depression. Double depression sangatlah
umum terjadi. Sebagaimana yang telah dilaporkan dalam sebuah penelitian Kovacs,
dkk (1994) bahwa sekitar 38%-69% dari pemuda dan pemudi yang depresi mengalami
dua gangguan tersebut.
2.4.2.
Anxiety
Disorders
MDD dan dysthymia (tidak termasuk bipolar disorder)
juga sering dikaitkan dengan gangguan-gangguan kecemasan (anxiety disoders)
(Geller & Luby, 1997; McCauley et al,. 1993). Sekitar 33%-66% anak-anak dan
remaja yang mengalami depresi memiliki gejala kecemasan ataupun gejala gangguan
kecemasan lainnya (Kovacs, 1990). Pada beberapa penelitian lain juga disebutkan
bahwa kecemasan dapat menjadi faktor yang beresiko bagi munculnya gangguan
mood. Asumsi ini didukung oleh hasil penelitian secara longitudinal yang
menemukan bahwa anak-anak yang memiliki tingkat gejala kecemasan yang tinggi
pada usia 9 tahun akan menjadi depresi pada saat beranjak usia remaja (Reinherz
et al., 1989).
2.4.3. Gangguan
perilaku disruptif dan gangguan makan
Sebagaimana yang telah disebutkan di atas bahwa
gangguan mood berkaitan dengan gangguan perilaku disruptif, khususnya pada
oppositional defiant disorder (berkisar antara 0%-50%), counduct disorder
(17%-79%), dan attention deficit hyperactivity disorder (0%-57%) (Fleming &
Offord, 1990; Kovacs & Pollock, 1995). Komorbiditas pada gejala atau pun
gangguan depresi dengan gangguan makan sering terjadi pada wanita. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa pikiran buruk tentang penampilan seseorang dan
gangguan makan dapat menyebabkan depresi pada remaja.
2.4.4.
General
adaptation
Tidak bisa dipungkiri bahwa dialaminya gangguan mood
pada seseorang menyebabkan seseorang itu mengalami kesulitan dalam belajar dan
menjalin hubungan dengan orang lain, termasuk dengan keluarga dan teman
sepermainannya (Hammen, 1991). Sebagai contoh, pemuda (baik pria maupun wanita)
dengan gejala depresi yang tinggi sering menunjukan penampilan yang buruk dari
segi akademis dari pada pemuda yang suka membolos tapi tidak mengalami gejala
depresi.
Pemuda yang depresi juga mengalami kesulitan dalam
mengendalikan emosinya dan memecahkan masalah terhadap teman sebayanya
(Rudolph, Hammen, & Burge, 1994). Pada remaja wanita sagat tinggi
kemungkinan terjadinya kehamilan akibat dari depresi tersebut. Menariknya,
dalam masa depresi itu pemuda (baik pria maupun wanita) sering menunjukkan
kinerja akademis dan juga kemajuan sosial yang memuaskan, meskipun relasi yang
dibangun tidak bisa lebih cepat dibandingkan dengan meningkatkan kinerja
akademisnya.
2.5.
Epidemiologi
2.5.1.
Prevalensi
Gangguan mood adalah gangguan yang umum terjadi pada
anak-anak dan remaja.namun, tidak ada penelitian yang benar-benar tepat
menunjukkan prevalensi dari gangguan mood ini. Hal ini dikarenakan sampel yang
digunakan jelas berbeda-beda (normatif atau klinikal), kriteria yang digunakan
untuk mendefinisikan depresi juga berbeda-beda, cara mengukur mood-nya pun berbeda,
dan sumber informasi yang diperoleh pasti berbeda (ada yang dari anak-anak
saja, atau yag melibatkan orang tua, guru dan teman sebaya).
Studi epidemiologi dengan skala yang besar
menggambarkan betapa sulitnya mengungkap prevalensi gangguan mood ini. Pada
sebuah penelitian Roberts, dkk (1995) terhadap komunitas sampel yang terdiri
dari 1700 remaja akhir ditemukan bahwa prevalensi MDD berada pada rentangan
kurang dari 3% sampai hampir 30%. Rentangan ini bergantung dari bagaimana
membatasi definisi dari “gangguan” itu sendiri. Begitu juga dengan penelitian
yang dilakukan oleh Flemming, Offord, dan Boyle (1989) ditemukan bahwa
perbedaan signifikan dari prevalensi adalah ketika data diperoleh dari
orang-orang. Sebagai contoh, self-report dari seorang remaja 6 kali lebih
mungkin menghasilkan diagnosa depresi dibanding parental reports dari orang
tuanya. Meski demikian studi epidemiologi melaporkan prevalensi MDD dan
dysthymia berada pada kisaran kurang dari 1%-9% dengan rata-rata mendekati 5%
(Angold & Costello, 1995; Fleming & Offorf, 1990).
v
Perbedaan usia
Gangguan depresi terjadi sekitar kurang dari 1 %
pada anak usia preschool, 2%-3% pada anak usi 6-12 tahun, 6%-9% pada usia
remaja. Pada studi lain ditemukan 20% dari remaja mengalami kenaikan level dari
gejala depresi yang dialami.
Pada remaja, prevalensi MDD lebih tinggi dari pada
dysthymia. Sedangkan pada anak-anak tidak ditemukan data yang jelas. Sebagian
penelitian menemukan bahwa tidak ada perbedaan diantara kedua gangguan
tersebut. Namun sebagian lagi menyebutkan bahwa dysthymia lebih sering terjadi
dibandingkan dengan MDD.
v Perbedaan gender
Prevalensi gangguan mood meningkat pada wanita
seiring bertambahnya usia. Lewinshon (1993) mengatakan remaja wanita beresiko
meningkatkan depresinya mendekati 2 kali setinggi pria. Ini akan terjadi hingga
dewasa. Beberapa studi menunjukkan bahwa sebelum usia 12 tahun gangguan mood
khususnya dysthymia umum terjadi pada pria dibanding pada wanita. Beberapa
studi lain menunjukkan hal yang sebaliknya. Kontradiksi ini timbul karena
penelitian sebelumnya menggunakan metode wawancara sedangkan penelitian
sesudahnya menggunakan kuisioner yang diisi oleh anak-anak, orang tua dan guru.
Penellitian yang dilakukan oleh Angold, dkk
menemukan bahwa peningkatan gangguan depresi terjadi sangat kuat pada usia
pubertas baik pria maupun wanita. Wanita menunjukkan peningkatan depresi pada
usia mid-pubertas. Sedangkan pada pria menunjukan penurunan terhadap gangguan
ini pada awal pubertas, meskipun pria memiliki kemungkinan yang lebih tinggi
untuk mengalami gangguan.
2.5.2.
Perbedaan
sosial dan budaya
Hasil studi epidemiologi mengenai perbedaan sosial
budaya masih belum begitu jelas untuk dipaparkan. Sebagian studi menunjukan
bahwa tidak ada hubungan antara prevalensi gangguan mood dengan status sosial-ekonomi.
Namun pada studi lain ditemukan bahwa pemudayang memiliki status sosial-ekonomi
yang rendah lebih rentan mengalami depresi. Dalam studi literaturnya Fleming
menemukan bahwa gejala atau pun gangguan depresi lebih umum terjadi pada remaja
etnis Afrika-Amerika dibanding pada remaja etnis Eropa Amerika.
2.6.
Trajectories
developmental dan prognosis
Secara umum, gejala depresi tidak muncul secara
berkelanjutan tapi secara berulang-ulang dan sewaktu-waktu bisa kambuh. Pemuda
yang mengalami disfungsi di awal periode memiliki kemungkinan yang lebih tinggi
mengalami disfungsi lainnya. Sebagai contoh,
sebuah studi pada remaja yang diteliti hingga usia 25 tahun
mengungkapkan bahwa tingginya tingkat depresi memprediksi munculnya masalah
yang sejenis, seperti penyimpangan obat-obatan dan masalah pekerjaan. Selain
itu, remaja yang depresi memiliki dampak negatif pada persoalan hubungan yang
intim di masa dewasa. Rao (1999) menemukan bahwa wanita yang depresi selama
masa remajanya akan menghadapi kesulitan dalam hal hubungan sosial dan intimnya
di awal masa dewasa.
2.6.1.
Major
Depressive Disorder
MDD biasanya pertama kali muncul pada usia anak-anak
akhir sampai remaja sekitar usia 10-17 tahun. Episode pertama berakhir sekitar
7-9 bulan. Mendekati 80% pemuda yang mengalami episode depresi dapat pulih
dalam satu tahun, dan lebih dari 90% dalam dua tahun. Meski demikian, resiko
untuk kambuh lagi sangatlah tinggi, khususnya pada seseorang yang dirawat di
rumah sakit. Sekitar 18%-35% anak-anak dan remaja akan mengalami episode baru
lagi dalam waktu satu tahun, 40%-45% dalam dua tahun, 54%-61% dalam tiga tahun,
dan lebih dari 70% dalam waktu lima tahun. sebuah usaha follow-up terhadap
remaja yang dirawat menunjukkan hasil bahwa partisipan memiliki satu atau lebih
tambahan episode depresi dalam waktu 8 bulan sejak mereka dirawat.
v Evolusi
Prognosis menjadi buruk ketika simptom muncul lebih
awal dan/atau simptom psikotik juga
turut muncul. Sebagai contoh, Strober (1993) menemukan bahwa remaja yag
mengalami gejala gangguan psikotik cenderung
menampilkan simptom yang lebih kronis. Sekitar 28% dari mereka mengembangkan mania selama dua
tahun masa follow-up. Penemuan ini menyarankan bahwa adanya MDD pada seseorang
khususnya ketika sudah disertai dengan gejala psikotik bisa jadi pertanda
mulainya developmental trajectory yang nantinya dapat memunculkan gangguan
bipolar. Inilah yang disebut evolusi. Evolusi ini terjadi khusunya pada anak-anak dan remaja dengan MDD.
v Adult outcomes
Kesulitan yang dialami anak-anak dan remaja yang
menderita MDD sering menetap sampa usia dewasa. Namun demikian, trajectory dari
gangguan ini yang terjadi setelah masa remaja bergantung pada kehadiran kondisi
komorbiditas. Sebagai contoh, pada sebuah studi follow-up selama 18 bulan
ditemukan bahwa pemuda yang memiliki gangguan depresi yang tidak ada
komorbiditas dengan gangguan psikologis lainnya akan menjadi depresi di masa
dewasa. sebaliknya, pemuda yang mengalami komorbiditas mood dan conduct problem
akan lebih mungkin untuk terlibat dalam aktivitas anti sosial dari pada menjadi
depresi di masa dewasa.
2.6.2.
Dysthymia
Dysthymia muncul sekitar 2 hingga 3 tahun lebih
awal dan lebih lama dari MDD. Dysthymia
muncul pada usia 6 hingga 13 tahun dengan rata-rata usia 9 tahun. Periode awal
dysthymia dapat disembuhkan dalam waktu sekitar 4 tahun. Tapi ia beresiko untuk
kambuh lagi. Sebagai contoh, dalam studi follow-up selama 3-12 tahun terhadap
anak-anak dan remaja, Kovacs menemukan bahwa mereka dapat terbebas dari gejala
depresi hanya setengah dari periode follow-up dan terbebas dari masalah
psikologis lainnya hanya sepertiga dari periode follow-up. Selain itu, 76% dari mereka mengembangkan MDD, 13%
memiliki minimal 1 episode mania, 40% di diagnosa mengalami gangguan kecemasan,
31% memunculkan perilaku conduct disorder. Kovacs, dkk menyimpulkan bahwa
dysthymia adalah gerbang munculnya gangguan-gangguan lain. Dysthymia bukanlah
gangguan yang akan berlanjut hingga usia dewasa melainkan gangguan yang akan
menyebabka munculnya gangguan-gangguan lainnya.
2.6.3.
Bipolar
disorder
Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa gangguan
bipolar biasanya terjadi secara bersiklus dan bisa menjadi lebih kronis atau
sebaliknya. Sebelum beranjak dewasa, manic episode terjadi relatif lama dengan
siklus yang terus berulang, depresi
mayor, dan akan kembali normal dalam waktu beberapa jam atau hari. Pada saat
dewasa, yang terjadi adalah sebaliknya. Manic episode bisa sembuh dalam waktu
beberapa hari dan digantikan dengan depresive episode atau mood yang normal.
Geller (2001) mengungkapkan hal mengenai lamanya durasi manic episode dan mixed
episode pada pemuda (pria dan wanita). Ia menemukan bahwa hanya 37% dari anak-anak (8-9 tahun) dan remaja yang
didiagnosa mengalami gangguan bipolar dapat disembuhkan dalam waktu satu tahun
sejak penanganan diberikan sesaat setelah pendiagnosaan. Sekitar 40% mengalami
relapse (kambuh) karena setelah pendiagnosaan tidak segera ditangani.
v Hyperactivity and Mania
Anak-anak dengan ADHD memiliki komorbiditas gangguan
bipolar. Dalam masa follow-up selama 4 tahun ditemukan sekitar 11% anak ADHD
didiagnosa mengalami gangguan bipolar pada awal assessment dan meningkatkan
menjadi 12% pada masa follow-up. Hubungan antara ADHD dan gangguan bipolar secara umum ditemukan hanya pada remaja waita yang memiliki riwayat
gangguan bipolar.
v Adult outcomes
Gangguan yang terjadi pada seseorang dapat
menimbulkan beberapa kesulitan dalam hal lainnya. Banyak remaja yang mengalami
gangguan mood yang berkemungkinan akan menghadapi banyak tantangan di masa
dewasanya sekalipun ia telah sembuh dari gangguan tersebut.
2.7.
Etiologi
2.7.1.
Faktor
Biologi : Penelitian Genetik
·
MDD dan Dysthymia.
Seperti yang diketahui bahwa MDD dan dysthymia
juga mempengaruhi anggota keluarga,
sebagian karena kerentanan genetik. Faktor genetik menjelaskan 50% atau
lebih dari varians yang
berhubungan dengan transmisi gangguan ini (Birmaher et
al., 1996), dan
tingkat kesesuaian adalah sekitar
dua sampai empat kali lebih tinggi untuk
monozigot dibandingkan kembar dizigot.
Penelitian tentang agregasi
keluarga menunjukkan bahwa antara 15% dan 45%
dari anak-anak orang
tua yang mengalami depresi cenderung
untuk mengembangkan gangguan mood
(Birmaheret al., 1996).
Angka ini tinggi
untuk remaja
dengan dua
orang tua yang terkena dampak dan
akan terus meningkat seiring bertambahnya usia. Sebuah tinjauan literatur
genetik menemukan bahwa anak yang mengalami depresi pada usia 20 tahun sampai 25 mencapai 60% (Beardslee et al., 1998). Keturunan dari orang tua yang mengalami
depresi juga memiliki peningkatan
risiko untuk mengembangkan gangguan lainnya. Sebagai
contoh, dalam sebuah penelitian, anak dari ibu yang mengalami depresi memenuhi syarat
diagnosa dengan pencapain
rata-rata 2,6 , namun
tidak semua mengalami
gangguan mood (Hammen, Burge,
& Stansbury, 1990).
Demikian pula, dalam studi lain, diagnosis depresi pada kakek-nenek
dan orang tua adalah prediktor yang signifikan dari suasana hati dan gangguan kecemasan pada cucu (Warner, Weissman,
Mufson, & Wickramaratne,
1990).
·
Bipolar
Disorder
Kembar
monozigot juga
secara signifikan lebih
cenderung untuk menjadi mania daripada kembar dizigot adalah (55% vs 5%)
(Vehmanen, Kaprio, & Loennqvist, 1995).
Bahkan, penelitian terakhir ini menunjukkan bahwa pengaruh genetik mungkin lebih kuat dalam gangguan bipolar daripada gangguan mood lainnya.
Dalam
studi agregasi
keluarga, anak-anak yang orang tuanya
mengalami gangguan bipolar dapat dibedakan melalui pengawasan
orang tua terhadap anak dengan tingginya tingkat depresi dan mudah tersinggung, dan meningkatkan
kesulitan mengatur suasana hati mereka
(Chang, Steiner, &
Ketter, 2000). Tidak
mengherankan, anak-anak memiliki masalah psikologis umum yang cukup tinggi, terutama ketika kedua
orang tua yang memiliki
dampak bipolar (Beardslee dkk., 1998).
Gangguan ini juga sering ditemukan pada tingkat pertama kerabat
remaja yang terkena gangguan bipolar. Misalnya, Faraone dan
rekan (1997) menunjukkan bahwa
risiko untuk menemukan gangguan
bipolar dalam kerabat tingkat
pertama meningkat lima kali lipat ketika ada anak yang terkena dalam keluarga Risiko ini tidak mungkin
menjadi spesifik untuk gangguan
bipolar, namun, karena keluarga
remaja dengan gangguan bipolar juga
berisiko lebih tinggi terhadap gangguan
mood lainnya.
2.7.2.
Faktor
Biologi: Penelitian Neurobiologi
Seiring dengan kemajuan penelitian
terhadap orang dewa, beberapa peneliti telah berfokus pada proses neurobiogical terkait
dengan gangguan mood di masa
kecil dan remaja. Kemajuan
penting telah dibuat dalam beberapa tahun, tetapi interpretasi temuan sering dibuat sulit karena data perkembangan
normatif
sangat jarang-yaitu, karena relatif
sedikit yang mengetahui tentang proses neurobiologis secara normal dalam perkembangan anak-anak dan remaja (Emsile, Weinberg,
Kennard, & Kowatch
, 1994). Proses
neurobiologis secara
mendalam dipelajari secara fokus dalam neurotransmiter, hormon,
dan siklus tidur.
·
Neurotransmitter
Penelitian tentang
peran neurotransmitter dalam etiologi
gangguan mood memiliki sejarah panjang,
sejajar dengan pengembangan obat psikotropika untuk mengobati gangguan ini. Dua neurotransmitter
telah menerima perhatian khusus: neropinephrine dan serotonin. Data yang dikumpulkan yang
sebagian besar adalah orang dewasa menunjukkan bahwa (1) kekurangan nerophinephrine
di beberapa jalur otak dikaitkan dengan depresi, dan kelebihan nerochemical
ini untuk mania,
dan (2) penurunan kadar serotonin
otak dapat memicu
penurunan tingkat neropinephrine
dan dengan demikian
dapat menyebabkan depresi
(Nemeroff,
1998).
Dukungan untuk proses-proses neurotransmisi
berasal dari beberapa sumber. Misalnya, obat yang mengurangi depresi atau mania menghasilkan
peningkatan kadar neropinephrine otak. Sebaliknya,
obat yang memiliki efek sebaliknya
mengurangi level nerophinephrine. Demikian pula, antidepresan
yang bekerja pada serotonin meningkatkan tingkat sinaptik neurotransmitter ini dengan
menghambat reuptake dalam.
Akhirnya anak-anak yang mengalami MDD atau
berisiko tinggi mengalami gangguan menunjukkan respon abnormal terhadap obat yang mempengaruhi kadar serotonin (Birmaher et al., 1997).
·
Hormon
Hormon. Salah satu cara di
mana ketidakseimbangan neurotransmitter
dapat mempengaruhi suasana hati adalah melalui disregulasi jalur otak yang memproduksi
hormon kontrol. Hipotalamus
sangat mungkin terlibat
dalam etiologi gangguan mood. Struktur otak
memainkan peran
sentral dalam
regulasi emosi, melalui kontrol
sekresi hormon dan sumbu HPA. Orang dewasa yang depresi-terutama
mereka yang bunuh diri dan / atau memiliki endogen dan psikotik gejala-sering
menunjukkan adrenal dan hipofisis
kelenjar membesar (dua kelenjar dikontrol oleh hipotalamus) dan abnormal kadar hormon (Nemeroff,
1998). Misalnya, orang dewasa yang mengalami depresi menghasilkan kortisol
dengan level abnormal yang tinggi, suatu hormon yang dikeluarkan oleh
tubuh selama masa stres, dan memiliki respon
abnormal pada tes penekanan
deksametason (DST). Dexamethasine
adalah kortisol-seperti zat
kimia, sekali dalam
aliran darah, biasanya menekan sekresi kortisol selama dua puluh empat jam atau lebih. Banyak orang dewasa yang mengalami depresi gagal menunjukkan
pola penekanan seperti
halnya beberapa anak dan
remaja yang
mengalami depresi, terutama ketika gejala mereka
parah (Nelson &
Davis, 1997). Tapi
walaupun kelebihan kortisol
dapat dikaitkan dengan gangguan mood,
tidak mungkin menjadi penyebab unik atau cukup
menjadi gangguan ini, karena ketidakseimbangan kortisol dan respon DST
abnormal telah ditemukan dalam kondisi
psikologis lain.
Hormon
lain mungkin
memainkan peran dalam penyebab gangguan
mood, termasuk hormon pertumbuhan, hormon thyroid-stimulating, dan testosteron dan estrogen. Sebagai contoh, dua hormon terakhir telah terlibat dalam pesatnya peningkatan prevalensi depresi
pada anak perempuan pada saat pubertas (Angold, Costello,
Erkanli, & Worthman,
1999). Demikian pula, penurunan hormon tiroid menghasilkan gejala seperti depresi pada orang dewasa, dan penggantian hormon tiroid mengurangi gejala ini. Secara
umum, adalah aman untuk menyimpulkan
bahwa, pada tahap ini, temuan
orang dewasa lebih konsisten dibanding yang diperoleh pada anak-anak dan
remaja. Selain itu, jika hormon ini memiliki permainan
peran etiologi dalam gangguan
mood sebelum dewasa, hanya dalam
transaksi yang kompleks dengan faktor biologis dan non-biologis lainnya
·
Pola
Tidur
Mengingat bahwa gangguan tidur sering
muncul pada gangguan mood, penelitian
neurobiologis juga difokuskan pada pola tidur dalam mencari penjelasan yang mungkin menjadi penyebab penyakit. Temuan menunjukkan bahwa remaja dan dewasa yang mengalami depresi memiliki pola yang berbeda dari aktivitas otak selama tidur dibandingkan
dengan orang yang normal, dan bahwa
perbedaan serupa sering ditemukan
di antara keluarga mereka (Gies,
Kupfer, Rush, &
Roffwarg, 1998). Temuan
ini menunjukkan bahwa kelainan
tidur tertentu dapat
diwariskan dan dapat mempengaruhi
beberapa remaja untuk mengalami
depresi, meskipun proses
etiologi yang terlibat tidak diragukan lagi dan melibatkan lebih dari
kesulitan tidur.
2.7.3.
Faktor
Psikologi
·
Theory Attachment
Teori
attachment berfokus pada perpisahan orang tua dan adanya gangguan dari ikatan
kelekatan sebagai faktor predisposisi untuk penderita depresi. Hipotesis John
Bowlby mengatakan bahwa seorang anak dihadapkan dengan tidak responsif dan
tidak memiliki ikatan emosional pengasuhannya akan berjalan dengan melibatkan
protes, putus asa dan keterpisahan (Bowlby, 1961). Kegagalan orang tua dalam
memenuhi kebutuhan anaknya dikaitkan dengan perkembangan dari kelekatan yang insecure, pandangan diri yang menganggap
dirinya tidak layak dan tidak dicintai, dan pandangan orang lain yang dianggap
mengancam atau tidak dapat dipercaya. Faktor-faktor ini dapat membuat anak
menjadi depresi kemudian hari, terutama dalam konteks hubungan interpersonal
stress (Rudolph, Hammen, & Burge, 1997). Hubungan kelekatan juga berfungsi
untuk mengatur system biologis dan perilaku yang berhungungan dengan emosi,
contohnya, kelekatan yang aman (secure)
dapat mengurangi stress. Dengan demikian, kelekatan insecure dapat menyebabkan kesulitan dalam mengatur emosi, yang
mungkin juga menjadi faktor risiko dari depresi. Untuk mendukung teori ini,
anak-anak dengan kelekatan yang tidak aman (insecure)
lebih mungkin dibandingkan dengan anak-anak dengan kelekatan yang aman (secure) untuk melihat gejala depresi
(e.g., Toth & Cicchetti, 1996), dan anak-anak yang depresi lebih mungkin
mengalami gangguan dalam kelekatan daripada anak-anak yang tidak depresi (Stein
et al., 2000).
·
Theory Cognitive
Teori
kognitif berfokus pada hubungan antara pikiran negatif dan mood (Abela &
Hankin, 2008). Yang mendasari asumsi ini adalah bagaimana anak-anak muda
memandang diri mereka dan dunia mereka yang akan mempengaruhi mood dan perilaku
mereka, dan kerentanan kognitif berinteraksi dengan kejadian-kejadian negatif
yang dapat meningkatkan gejala depresif. Variasi dari kognisi negatif,
atribusi, kesalahan persepsi, dan kekurangan kemampuan menyelesaikan masalah
kognitif berhubungan dengan depresi pada anak muda (Lakdawalla et al., 2007).
Teori kognitif menekankan pada depressogenic cognitions dimana persepsi
dan gaya atribusi serta kepercayaan negatif berkaitan dengan gejala depresif.
Sebagai
contoh, teori keputusasaan mengusulkan bahwa individu cenderung mengalami
depresi cenderung membuat atribusi global, internal, dan stabil untuk
menjelaskan penyebab peristiwa negatif. Dengan kata lain, ketika sesuatu yang
buruk terjadi, mereka berpikir bahwa mereka bertanggung jawab (atribusi
internal), alasan mereka untuk menyalahkan tidak akan berubah dari waktu ke
waktu (atribusi stabil), dan alasan bahwa sesuatu yang buruk terjadi berlaku
untuk sebagian besar hal yang mereka lakukan dan dalam kebanyakan situasi
(atribusi global) (Abramson, Seligman, & Teasdale, 1978). Sebaliknya,
atribut peristiwa positif mereka terhadap sesuatu di luar dirinya (eksternal),
yang tidak mungkin terjadi lagi (tidak stabil), dan dipandang sebagai sesuatu
yang unik untuk kejadian ini (spesifik). Gaya atribusi negatif individu
menyebabkan mereka menyalahkan pribadi mereka atas semua kejadian negatif dalam
hidupnya dan menyebabkan ketidakberdayaan dan menghindari peristiwa tersebut di
masa depan. Ketidakberdayaan dapat menyebabkan keputusasaan tentang masa depan,
yang mendorong depresi lebih lanjut (Abramson, Metalsky, & Alloy, 1989)
Model
koginitif yang dikembangkan Aaron Beck (1967) mengusulkan bahwa individu yang
depresi membuat interpretasi negatif tentang kejadian-kejadian dalam hidupnya
karena mereka menggunakan keyakinan yang bias dan negatif sebagai interpretasi
untuk memahami kejadian tersebut. Individu yang depresi memperlihatkan masalah
kognitif di 3 area.
Pertama,
mereka memperlihatkan bias pada penerimaan informasi atau kesalahan pada
pikiran mereka di kejadian tertentu yang dinamakan pikiran otomatis yang
negatif. Ini sering mencakup pikiran tentang ancaman fisik dan sosial,
kegagalan pribadi, dan permusuhan (Schniering & Rapee, 2004). Mereka
mungkin hadir diseleksi sebagai informasi negatif, menganggap disalahkan atas
peristiwa negatif, memaksimalkan dan membesar-besarkan peristiwa negatif, dan
meminimalkan peristiwa positif. Mereka juga menetapkan label negatif terhadap
peristiwa, dan kemudian bereaksi secara emosional terhadap label daripada
kejadiannya. Sebagai contoh:
Peristiwa:
Seorang anak tidak menerima undangan pesta Ashley
Label:
“Saya tidak menerima undangan karena Ashley tidak menyukai saya. Tidak
seorangpun yang menyukai saya”
Reaksi
emosional: Sedih dan depresi
Kedua,
depresi dipercaya dapat diasosiasi dengan pandangan negatif pada 3 area
berikut, berhubungan dengan kognisi negatif
v Pandangan negatif tentang diri
sendiri (contoh: “Saya tidak baik”, “Saya membosankan”)
v Pandangan negatif tentang dunia
(contoh: “Mereka tidak baik”, “Ini terlalu sulit”)
v Pandangan negatif tentang masa depan
(contoh: “Ini akan berjalan buruk”, “Saya tidak akan pernah lulus”)
Pandangan-pandangan
negatif menjaga perasaan tidak berdaya, merusak suasana hati dan tingkat energi
anak muda, dan terkait dengan keparahan depresi anak (Stark, Schmidt, &
Joiner, 1996).
Ketiga,
anak-anak depresi memiliki skema kognitif negatif, yaitu struktur yang stabil
dalam memori bahwa panduan pengolahan informasi, termasuk kepercayaan dan sikap
kritis terhadap diri sendiri. Schemata ini kaku dan tahan terhadap perubahan
bahkan dalam menghadapi bukti yang bertentangan, dan dapat meningkatkan
sensitivitas anak terhadap depresi, terutama ketika diaktifkan oleh stres.
Menerapkan
teori kognitif pada anak muda yang depresi menimbulkan pertanyaan tentang
kemampuan kognitif anak pada berbagai tahap perkembangan, dan pengembangan dan
stabilitas struktur kognitif yang mungkin terlibat dalam pemikiran depresi
mereka (Abela & Hankin, 2008a). Sebuah pengertian menyeluruh tentang diri
dan perspektif waktu untuk masa depan diperlukan untuk pengalaman depresi,
proses-proses kognitif masih berkembang pada anak-anak. Selain itu, banyak dari
kesalahan dan distorsi kognitif dibahas sejauh ini, seperti berpikir logis atau
atribusi salah, adalah cara berpikir normal pada anak-anak!
·
Teori Behavior
Behavioral menekankan pentingnya belajar, konsekuensi lingkungan, dan keterampilan dan defisit selama onset dan pemeliharaan depresi. Depresi berhubungan dengan kurangnya penguatan positif respon-kontingen (Lewinsohn,
1974). Kurangnya penguatan
positif dapat terjadi karena tiga
alasan. Pertama, seorang anak
mungkin tidak dapat merasakan penguatan yang tersedia, sering terjadi karena mengganggu kecemasan. Kedua, perubahan
lingkungan, seperti hilangnya
orang penting dalam kehidupan anak, dapat mengakibatkan kurangnya tersedianya imbalan.
Akhirnya, seorang anak mungkin tidak memiliki keterampilan yang
diperlukan untuk memiliki hubungan sosial yang bermanfaat dan memuaskan
Anak-anak juga dapat menerima simpati
terhadap kesedihan mereka, yang
menghasilkan perhatian dan
kepedulian yang diinginkan. Namun,
simpati ini biasanya berumur pendek karena orang-orang yang peduli tentang anak itu mulai menghindari dia. Penurunan
dalam perhatian dapat menyebabkan penarikan diri, penurunan fungsi, dan meningkatnya depresi. Beberapa penelitian telah menguji hipotesis perilaku pada anak-anak, dan model ini tampaknya tidak lengkap dengan mengingat apa yang diketahui tentang
faktor-faktor lain yang dapat
menyebabkan kerentanan terhadap
depresi. Namun demikian, model
perilaku menyoroti pentingnya proses pembelajaran dalam
munculnya, ekspresi, dan hasil
dari depresi pada orang muda.
2.7.4.
Faktor
Keluarga
Pada banyak studi yang telah dilakukan dalam teori
yang berbeda memperlihatkan bahwa interaksi keluarga yang terganggu dalam
keluarganya baik orang tua atau anak yang biasanya mempunyai gangguan mood (gotlib&heemen ,1992
:sheeber,hops dan davis,2001) khususnya pada anggota keluarga yang depresi
dimana kurang kompak, tidak mampu mengekspresikan emosi, tidak demokrasi, suka
bemusuhan dan menolak, dan suka konflik. Namun kekacauan yang terjadi pada
anggota keluarga karena gangguan mood
belum tetap. Seperti hubungan pada
banyak resiko faktor gangguan psikologis, oleh karena itu beberapa pola
hubungannya tidak masuk pada pola gangguan mood,
bisa saja karena konsekuensi dari masalah psychological anak, maka harus
melihat lebih spesifik lagi melihat symptom symptom apa yang menyebabkan gangguan
mood pada keluarga
·
Depresi
Pengasuh
Keluarga dengan orang tua yang depresi memperlihatkan
pola interaksi dan komunikasi pada anak dimana menempatkan anak pada
berkembangnya dan bertahannya symptom depresi (Jones, Forehand, & Neary,
2001). Contohnya ibu yang mengalami depresi
post partum dimana dia kurang
positif terhadap bayinya. Ada dua aspek perilaku ibu yang menyebakan
berkembangn symptom depresi yaitu tingginya tingkat kcomunikasi negative dan kurangnya perhatin positif pada
anak, hal ini sering ditemukan pada penelitian longitudinal. Hal ini dapat
menyimpulkan bahwa perilaku ibu penyebab dari depresi pada anak, malah orang
tua dan anak setiap waktunya mengembangkan komunikasi yang tidak pantas yang
berkontribusi pada perasaan distress mereka.
·
Depresi
Anak
Pada beberapa study menunjukkan bahwa gangguan yang
terjadi pada keluarga bisa berasal dari
depresi anak dan dewasa. Dari observasi pada keluarga biasanya hal
tersebut terjadi karena kurangnya kasih
sayang, komunikasi yang rendah, adanya penarikan dan penolakan serta kurangnya
dukungan emosi (Dadds, Sanders, Morrisons, & Regberts, 1992).
(Sheebers, Hops, Andrews, Alpert, & Davis, 1998)
menemukan bahwa ibu dengan depresi menimbulkan perilaku depresi pada anak
dibandingkan ibu yang suka mengontrol anaknya. Dan pada ayah yang berdampak pada depresi remaja umumnya bereaksi pada perilaku depresi
yang menolak, menghindar, pasif dan beberapa perilaku aggressive lainnya. Dalam
beberapa kasus depresi pada dewasa
mungkin berasal dari hubungan yang negative dalam keluarga.
·
Di
Luar Keluarga
Pada beberapa study yang membahas hubungan kesulitan
dan mood disorder pada masa anak dan dewasa, khususnya pada mood disorder yang
berhubungan dengan masa anak anak yang terkait dengan kekerasan anak dan
pengabaian (kashani dan Carlson 1987) perceraian, konflik, narkobadan
alcohol pada orang tua, masalah ekonomi
seperti pemecatan, merupakan peristiwa negative yang ber efek pada keadaan
emosi.
Hubungan antara mood disorder dan peristiwa negative pada kehidupan sangat
complek. Banyak variable yang berperan dalam phenomena depresi.seperti
peristiwa kematian. Tidak ada yang menyangkal bahwa kematian merupakan hal yang
tragis yang terjadi dalam sepanjang peritiwa kehidupan. Dalam beberapa data
yang di temukan perempuan lebih mempunyai efek dibandingkan pada laki laki
(reinhertz et al 1989) . Namun hal ini terlalu luas dimana efek dari kematian
dari seseorang yang dicintai juga harus dilihat dari tahap social,emosi dan
perkembangan kognitif pada anak. Maka pengaruh peristiwa kehidupan terhadap
mood disorder tidak bisa dilihat dari
satu pointsaja namun dilihat dari banyak faktor
spesifik yang mepengaruhi hal tersebut.
2.8.
Treatment
dan Pencegahan
Pendekatan treatment
mood disorder tidak dirancang khusus pada dewasa atau pun anak anak. Pendekatan
pada treatmen ini merupakan treatment yang digunakan pada masa dewasa. Secara
teori treatment yang ada pada masa dewasa dipertanyakan karena gagal dalam
melihat spesifikasi treatment pada masa muda. Misalnya pada fokus kognitif pada
beberapa pendekatan treatment psychological yang dikembangkan tidak cocok pada
anak anak. karena banyak
anak-anak tidak menunjukkan kesalahan kognitif pada terapi kocnitif yang
dirancang.apalagi dengan adanya kesalahan tersebut anak anak tidak dapat
mencerminkan dan berbicara tentang pemikiran yang sulit seperti pada anak-anak
sebelum dewasa.
Yang utama dari hal ini adalah bahwa adanya
beberapa studi terkontrol dengan baik dalam beberapa area. Dimana memiliki eksperimental tidak cukup hanya melaporkan sejauh mana subjek memiliki masalah psikologis lainnya di samping gangguan mood dan hasil dari treatment tetapi juga memberikan
keilmuan treatmen yang cocok dalam penangannya Mayor
depressive disorder and dystimia
2.8.1.
Cognitve
Behavior Theraphy (CBT)
Cognitive behavior therapy adalah usaha yang
dilakukan untuk mengubah perilaku yang tidak pantas dengan memodifikasi pikiran
atau kognisi tentang suatu hal, dengan berfokus secara langsung. Secara tidak
langsung pendekatan terapi ini adalah mengubah kepercayaan yang salah agar dapat
mempengaruhi perilaku yang lebih positif. Dalam prakteknya pendekatan ini
mengandal kan pada sesi modeling dan role playing atau melalui tugas mingguan
berupa praktek yang dilakukanoleh anak atau orang dewasa yang telah mereka
pelajari secara cognitif.
Seperti contoh kasus Ray (14 thn) dimana teman-teman jarang menyapanya sehingga dia
berfikir bahwa tidak ada yang perhatian dengannya. Dalam hal ini CBT membantu
Ray agar dapat mengubah cara berfikirnya dengan cara lebih sering berinteraksi
dengan teman temannya dan menyapa terlebih dahulu sebelum teman temanya menyapa
dan lebih banyak memiliki kontak mata dengan orang yang berada di sekitarnya.
CBT telah
menunjukkan treatment yang efektif bagi para mayorita anak-anak yang mengalami
MDD, Dysthimia atau symptom depressive ringan (Asarnow, Jaycox, Thompson, 2001).
Ditemukan 54-87% anak yang menggunakan CBT lebih signifikan perbaikannya dibandingkan
terapi seperti relaxsasi atau supportive
psychotherapy bentuk terapi ini dimana terapis mendengarkan dan memberikan
dukungan namun tidak memberikan kesempatan untuk kepercayaan yang salah atau
mengajarkan perilaku yang berbeda.tetapi penting unutk mengevaluasi kembali lamanya
efektivitas dari terapi CBT, khususnya pada anak yang mengalami masalah depresi
atau masalah penyerta lainnya.
2.8.2.
Interpersonal
Therapy
Sebagian teoritis percaya bahwa depresi muncul karena kurangnya social reinforcement khususnya
pada hubungan interpersonal. Peran dari interpersonal
therapy (IPT) adalah untuk membantu anak dan dewasa yang tertekan dan
penarikan diri agar mendapatkan sumber reinforcement
yang positif dalam rangka memerang depresi mereka (Muffon, Mureu, Weissman,
Klerman, 1993) seperti yang ada pada CBT, terapi ini juga menyajikan
secara pengajaran langsung (direct instruction), role playing dan
sesi modeling.seperti tugas mingguan. Seperti pada kasus sarah (13 tahun) yang
mengalami depresi karena tidak mempunyai teman dan sering dijauhi. Dalam terapi
Sarah menyadari bahwa dirinya tidak bisa mempertahankan persahabatan dan
berteman dengan orang lain, khususnya dia mengeluh tentang kesendiriannya namun
tidak pernah memanggil atupun mengundang orang lain. Dan ketika dia bersama
temanya dia terlalu memberikan mereka perhatioan dan membenci untuk membagi nya
dengan orang lain. Dalam terapi ini difokuskan agar sarah dapat bertemu dengan
orang lain dan mengembangkan daftar teman yang bisa diundang ketika dia membutuhkan
interaksi social. Role playing dan pengajaran langsung digunakan untuk mengajarkan interaksi yang
efektif dan bagaimana berurusan dengan teman sebaya, konflik keluarga dan
sebagai persiapan untuk melakukan pelatihan mingguan yang telah dipalajari nya
dalam sesi terapi.
2.8.3.
Family
Therapy
Anak-anak
yang mangalami MDD atau dystimia yang mempunyai orang tua yang depresi atau hidup dengan keluarga yang
mempunyai konflik beberapa peneliti dan ahli klinis menilai bahwa family terapi
ini penting. Walaupun ditemukan oleh Brent and associated 1998, bahwa CBT lebih
signifikan efektif dalam treatment
mengurangi symptom gejala depresi pada
anak atau pun dewasa dari pada family terapi .
2.8.4.
Pharmacological
intervention
Banyak dari peneliti dan ahli klinis setuju bahwa obat anti depressant hanya digunakan pada
anak yang berhubungan dengan intervensi
psikologi (AACAP, 1998a) sebagai contoh texas consensus panel treatmen
medication pada anak yang mengalami depresi major disorder merekomendasikan
bahwa, pada banyak kasus pendekatan psychological lebih diutamakan ketimbang
penggunaan obat yang diresepkan (Hughes et al., 1999 )obat anti depresan hanya
direkomendasikan ketika treatmen psikological gagal ketika depresi
meliputi fitur psikotik atau parah yang mengganggu anak atau kemampuan
adolecent untuk berpartisipasi dalam pengobatan atau bila pemuda tersebut bunuh
diri.
Obat anti
depressant dapat meningkat kimia yang ada pada otak yang disebut dengan monoamines, neotransmitter seperti
dopamine, serotine dana lain lain. Anti depresan diklasifikasikan sesuai dengan
monoamines atau monoamine yang bereaksi. Obat yang tua sudah lama, disebut
dengan tricyclic antidepressant
(TCAs) yang dapat meningkatkan serotonin dan norephineprine, obat ini efektif
pada dewasa dan tidak terlalu superior placebo
pada anak dan remaja.
Anti depressant yang baru di sebut dengan selective
serotonin reuptake inhibitory (SSRIs) dapat meningkatkan serotonin yang ada
pada otak, dengan meningkatkan ketersediannya
yang ada pada synaps. Disebut dengan reuptake inhibitor karena dapat
menurunkan penyerapan serotonin kedalam
otak ketika hal tersebut muncul. SSRIs menarik karena menargetkan proses neuratransmitter yang cukup specifik, menghasilkan efek samping yang lebih sedikit
dari pada TCAs dan belum dikaitkan dengan kematian yang tidak dapat dijelaskan karena obat.
Salah satu contoh obat SSRIs adalah
Prozac dalam suatu penelitian ditemukan bahwa orang yang menggunakan Prozac memperlihatkan
peningkatan yang luar biasa dibandingkan dengan individu yang menggunakan
placebo. Bagaimanapun peningkatan perbaikan tersebut tidak selalu sinonim dengan
penyembuhan. Hanya 31% anak yang menggunakan Prozac yang memperlihatkan
pengurangan dari symptom mereka dalam 8
minggu selama penelitian ini berlangsung, sedangakan sebanyak 23% anak yang
menggunak placebo. Sehingga SSRIs mungkin hanya bisa digunakan oleh beberapa
anak saja.
2.8.5.
Bipolar
disorder
Untuk treatment bipolar disorder American academy of
children and adolescents psychiatri merekomendasikan multimodal treatment plan dimana
mengkombinasikan antara obat dan treatment intervensi psychological. Seperti pengobatan yang dirancang untuk mengontrol gejala inti mania yang merupakan ciri khas dari gangguan.Intervensi psikologis digunakan hal yang berurusan pada anak atau remaja yang dapat menghindarkan dari penurunan fungsi.
Intervensi psikologis juga dapat berguna untuk mengobati gejala penyerta dan gangguan, dan untuk mengenalkan
pada kepatuhan pada pengobatan. Kepatuhan pada pengobatan yang di perkenalkan melalui psikoedukasi tentang gangguan dan peran obat dalam mereduksi gejala manik dan mencegah kambuh kembali.
Obat pilihan dalam pengobatan bipolar adalah lithium, logam alkali yang terjadi secara alami, penelitian yang dilakukan pada
orang dewasa menunjukkan bahwa obat ini mengurangi gejala manik dan jika
dipakai secara teratur dapat mencegah episode manic dalam waktu yang lama, karena gangguan bipolar percaya bahwa pengobatan gangguan menahun biasanya berlangsung setidaknya 18 bulan, setelah gejala awal telah dikendalikan, pada waktu itu, pengobatan mungkin telah
berkurang tetapi
anak dan keluarga harus memperhatikan kembali dari gangguan. Jika anak telah
tetap tebebas dari gejala maka dapat dihentikan. Namun jika kambuh terjadi obat harus segera dilanjutkan meskipun tidak ada pedoman khusus untuk treatmen anak dan adolecent yang setelah diberi
obat kemudian kambuh beberapa remaja
mungkin perlu lithium untuk dalam waktu yang lama, mungkin managemen hidup yang panjang dari kondisi mereka.
Namun pemakaian dari litium dalam waktu yang lama tidak terlepas dari bebagai
kekurangan seperti masalah pada tyroid, masalah jantung dan lain-lain.
Penstabil mood (mood stabilizers) adalah kelas lain dari obat yang digunakan untuk
mengobati gangguan bipolar, penstabil mood adalah anticovulsant (i., e
antisezure obat)
yang efektif dalam mengurangi gejala manik dan mencegah manic episode pada waktu yang lama. Studi terkontrol
terhadap efektivitas
dari penstabil mood pada masa muda
belum dilakukan.
meskipun studi kasus dan investigastion non terkontrol telah menemukan penggunaan obat obatan pada masa remaja.
Seperti penggunaa litium pada masa remaja menimbulkan resiko yang besar atau
resiko yang belum ada pada penelitian pada anak-anak dan remaja, misalnya penggunaan penstabil mood dalam jangka panjang yang
berhubungan dengan mood dan gangguan
hati pada orang dewasa, serta peningkatan penyakit ovarium pada wanita (anak
Amerika associationof remaja psyciatri 1997).
2.8.6.
Prevention
Pencegahan umumnya berfokus pada remaja yang beresiko terkena mood disordes baik karena mereka sudah memiliki gejala depresi ringan atau karena mereka memiliki orangtua
yang mempunyai gangguan mood disorder. Dengan program pencegahan mood
disorder yang
ada di sekolah,
kelompok kecil dengan usia yang sama dan kelompok pertemanan. Menggunakan treatment
pendekatan modifikasi seperti CBT, IPT, latihan relksasi dan lain-lain.