Social Icons

Senin, 08 April 2013

Teknik-teknik Pengambilan Sampel Dalam Penelitian

Secara umum, ada dua jenis teknik pengambilan sampel yaitu, sampel acak atau random sampling / probability sampling, dan sampel tidak acak atau nonrandom samping/nonprobability sampling. Yang dimaksud dengan random sampling adalah cara pengambilan sampel yang memberikan kesempatan yang sama untuk diambil kepada setiap elemen populasi. Artinya jika elemen populasinya ada 100 dan yang akan dijadikan sampel adalah 25, maka setiap elemen tersebut mempunyai kemungkinan 25/100 untuk bisa dipilih menjadi sampel. Sedangkan yang dimaksud dengan nonrandom sampling atau nonprobability sampling, setiap elemen populasi tidak mempunyai kemungkinan yang sama untuk dijadikan sampel. Lima elemen populasi dipilih sebagai sampel karena letaknya dekat dengan rumah peneliti, sedangkan yang lainnya, karena jauh, tidak dipilih; artinya kemungkinannya 0 (nol).

         Dua jenis teknik pengambilan sampel di atas mempunyai tujuan yang berbeda. Jika peneliti ingin hasil penelitiannya bisa dijadikan ukuran untuk mengestimasikan populasi, atau istilahnya adalah melakukan generalisasi maka seharusnya sampel representatif dan diambil secara acak. Namun jika peneliti tidak mempunyai kemauan melakukan generalisasi hasil penelitian maka sampel bisa diambil secara tidak acak. Sampel tidak acak biasanya juga diambil jika peneliti tidak mempunyai data pasti tentang ukuran populasi dan informasi lengkap tentang setiap elemen populasi. Contohnya, jika yang diteliti populasinya adalah konsumen teh botol, kemungkinan besar peneliti tidak mengetahui dengan pasti berapa jumlah konsumennya, dan juga karakteristik konsumen. Karena dia tidak mengetahui ukuran pupulasi yang tepat, bisakah dia mengatakan bahwa 200 konsumen sebagai sampel dikatakan “representatif”?. Kemudian, bisakah peneliti  memilih sampel secara acak, jika tidak ada informasi yang cukup lengkap tentang diri konsumen?. Dalam situasi yang demikian, pengambilan sampel dengan cara acak tidak dimungkinkan, maka tidak ada pilihan lain kecuali sampel diambil dengan cara tidak acak atau nonprobability sampling, namun dengan konsekuensi hasil penelitiannya tersebut tidak bisa digeneralisasikan. Jika ternyata dari 200 konsumen teh botol tadi merasa kurang puas, maka peneliti tidak bisa mengatakan bahwa sebagian besar konsumen teh botol merasa kurang puas terhadap the botol.
         Di setiap jenis teknik pemilihan tersebut, terdapat beberapa teknik yang lebih spesifik lagi. Pada sampel acak (random sampling) dikenal dengan istilah simple random sampling, stratified random sampling, cluster sampling, systematic sampling, dan area sampling. Pada nonprobability sampling dikenal beberapa teknik, antara lain adalah convenience sampling, purposive sampling, quota sampling, snowball sampling

Probability/Random Sampling.

       Syarat pertama yang harus dilakukan untuk mengambil sampel secara acak adalah memperoleh atau membuat kerangka sampel atau dikenal dengan nama “sampling frame”. Yang dimaksud dengan  kerangka sampling adalah daftar yang berisikan setiap elemen populasi yang bisa diambil sebagai sampel. Elemen populasi bisa berupa data tentang orang/binatang, tentang kejadian, tentang tempat, atau juga tentang benda. Jika populasi penelitian adalah mahasiswa perguruan tinggi “A”, maka peneliti harus bisa memiliki daftar semua mahasiswa yang terdaftar di perguruan tinggi “A “ tersebut selengkap mungkin. Nama, NRP, jenis kelamin, alamat, usia, dan informasi lain yang berguna bagi penelitiannya.. Dari daftar ini, peneliti akan bisa secara pasti mengetahui jumlah populasinya (N). Jika populasinya adalah rumah tangga dalam sebuah kota, maka peneliti harus mempunyai daftar seluruh rumah tangga kota tersebut.  Jika populasinya adalah wilayah Jawa Barat, maka penelti harus mepunyai peta wilayah Jawa Barat secara lengkap. Kabupaten, Kecamatan, Desa, Kampung. Lalu setiap tempat tersebut diberi kode (angka atau simbol) yang berbeda satu sama lainnya.
        Di samping sampling frame, peneliti juga harus mempunyai alat yang bisa dijadikan penentu sampel. Dari sekian elemen populasi, elemen mana saja yang bisa dipilih menjadi sampel?. Alat yang umumnya digunakan adalah Tabel Angka Random, kalkulator, atau  undian. Pemilihan sampel secara acak bisa dilakukan melalui sistem undian jika elemen populasinya tidak begitu banyak. Tetapi jika sudah ratusan, cara undian bisa mengganggu konsep “acak” atau “random” itu sendiri.

  1. Simple Random Sampling atau Sampel Acak Sederhana
Cara atau teknik ini dapat dilakukan jika analisis penelitiannya cenderung deskriptif dan bersifat umum. Perbedaan karakter yang mungkin ada pada setiap unsur atau elemen  populasi tidak merupakan hal yang penting bagi rencana analisisnya. Misalnya, dalam populasi ada wanita dan pria, atau ada yang kaya dan yang miskin, ada manajer dan bukan manajer, dan perbedaan-perbedaan lainnya.  Selama perbedaan gender, status kemakmuran, dan kedudukan dalam organisasi, serta perbedaan-perbedaan lain tersebut bukan merupakan sesuatu hal yang penting dan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap hasil penelitian, maka peneliti dapat mengambil sampel secara acak sederhana. Dengan demikian setiap unsur populasi harus mempunyai kesempatan sama untuk bisa dipilih menjadi sampel. Prosedurnya :
  1. Susun “sampling frame”
  2. Tetapkan jumlah sampel yang akan diambil
  3. Tentukan alat pemilihan sampel
  4. Pilih sampel sampai dengan jumlah terpenuhi

  1. Stratified Random Sampling atau Sampel Acak Distratifikasikan
Karena unsur populasi berkarakteristik heterogen, dan heterogenitas tersebut mempunyai arti yang signifikan pada pencapaian tujuan penelitian, maka peneliti dapat mengambil sampel dengan cara ini. Misalnya, seorang peneliti ingin mengetahui sikap manajer terhadap satu kebijakan perusahaan. Dia menduga bahwa manajer tingkat atas cenderung positif sikapnya terhadap kebijakan perusahaan tadi. Agar dapat menguji dugaannya tersebut maka sampelnya harus terdiri atas paling tidak para manajer tingkat atas, menengah, dan bawah. Dengan teknik pemilihan sampel secara random distratifikasikan, maka dia akan memperoleh manajer di ketiga tingkatan tersebut, yaitu stratum manajer atas, manajer menengah dan manajer bawah. Dari setiap stratum tersebut dipilih sampel secara acak. Prosedurnya :
    1. Siapkan “sampling frame”
    2. Bagi sampling frame tersebut berdasarkan strata yang dikehendaki
    3. Tentukan jumlah sampel dalam setiap stratum
    4. Pilih sampel dari setiap stratum secara acak.
Pada saat menentukan jumlah sampel dalam setiap stratum, peneliti dapat menentukan secara (a) proposional, (b) tidak proposional. Yang dimaksud dengan proposional adalah jumlah sampel dalam setiap stratum sebanding dengan jumlah unsur populasi dalam stratum tersebut. Misalnya, untuk stratum manajer tingkat atas (I) terdapat 15 manajer, tingkat menengah ada 45 manajer (II), dan manajer tingkat bawah (III) ada 100 manajer. Artinya jumlah seluruh manajer adalah 160. Kalau jumlah sampel yang akan diambil seluruhnya 100 manajer, maka  untuk stratum I diambil (15:160)x100 = 9 manajer, stratum II = 28 manajer, dan stratum 3 = 63 manajer.
Jumlah dalam setiap stratum tidak proposional. Hal ini terjadi jika jumlah unsur atau elemen di salah satu atau beberapa stratum sangat sedikit. Misalnya saja, kalau dalam stratum manajer kelas atas (I) hanya ada 4 manajer, maka peneliti bisa mengambil semua manajer dalam stratum tersebut , dan untuk manajer tingkat menengah (II) ditambah 5, sedangkan manajer tingat bawah (III), tetap 63 orang.
  1. Cluster Sampling atau Sampel Gugus
Teknik ini biasa juga diterjemahkan dengan cara pengambilan sampel berdasarkan gugus. Berbeda dengan teknik pengambilan sampel acak yang distratifikasikan, di mana setiap unsur dalam satu stratum memiliki karakteristik yang homogen (stratum A : laki-laki semua, stratum B : perempuan semua), maka dalam sampel gugus, setiap gugus boleh mengandung unsur yang karakteristiknya berbeda-beda atau heterogen. Misalnya, dalam satu organisasi terdapat 100 departemen. Dalam setiap departemen terdapat banyak pegawai dengan karakteristik berbeda pula. Beda jenis kelaminnya, beda tingkat pendidikannya, beda tingkat pendapatnya, beda tingat manajerialnnya, dan perbedaan-perbedaan lainnya. Jika peneliti bermaksud mengetahui tingkat penerimaan para pegawai terhadap suatu strategi yang segera diterapkan perusahaan, maka peneliti dapat menggunakan cluster sampling untuk mencegah terpilihnya sampel hanya dari satu atau dua departemen saja. Prosedur :
1.      Susun sampling frame berdasarkan gugus – Dalam kasus di atas, elemennya ada 100 departemen.
2.      Tentukan berapa gugus yang akan diambil sebagai sampel
3.      Pilih gugus sebagai sampel dengan cara acak
4.      Teliti setiap pegawai yang ada dalam gugus sample


     4. Systematic Sampling atau Sampel Sistematis
Jika peneliti dihadapkan pada ukuran populasi yang banyak dan tidak memiliki alat pengambil data secara random, cara pengambilan sampel sistematis dapat digunakan. Cara ini menuntut kepada peneliti untuk memilih unsur populasi secara sistematis, yaitu unsur populasi yang bisa dijadikan sampel adalah yang “keberapa”.  Misalnya, setiap unsur populasi yang keenam, yang bisa dijadikan sampel. Soal “keberapa”-nya satu unsur populasi bisa dijadikan sampel tergantung pada  ukuran populasi dan ukuran sampel. Misalnya, dalam satu populasi terdapat 5000 rumah. Sampel yang akan diambil adalah 250 rumah dengan demikian interval di antara sampel kesatu, kedua, dan seterusnya adalah 25. Prosedurnya :
5.      Susun sampling frame
6.      Tetapkan jumlah sampel yang ingin diambil
7.      Tentukan K (kelas interval)
8.      Tentukan angka atau nomor awal di antara kelas interval tersebut secara acak atau random – biasanya melalui cara undian saja.
9.      Mulailah mengambil sampel dimulai dari angka atau nomor awal yang terpilih.
10.  Pilihlah sebagai sampel angka atau nomor interval berikutnya

4.      Area Sampling atau Sampel Wilayah
Teknik ini dipakai ketika peneliti dihadapkan pada situasi bahwa populasi penelitiannya tersebar di berbagai wilayah. Misalnya, seorang marketing manajer sebuah stasiun TV ingin mengetahui tingkat penerimaan masyarakat Jawa Barat atas sebuah mata tayangan, teknik pengambilan sampel dengan area sampling sangat tepat. Prosedurnya :
1.      Susun sampling frame yang menggambarkan peta wilayah (Jawa Barat) – Kabupaten, Kotamadya, Kecamatan, Desa.
2.      Tentukan wilayah yang akan dijadikan sampel (Kabupaten ?, Kotamadya?, Kecamatan?, Desa?)
3.      Tentukan berapa wilayah yang akan dijadikan sampel penelitiannya.
4.      Pilih beberapa wilayah untuk dijadikan sampel dengan cara acak atau random.
5.      Kalau ternyata masih terlampau banyak responden yang harus diambil datanya, bagi lagi wilayah yang terpilih ke dalam sub wilayah.

Nonprobability/Nonrandom Sampling atau Sampel Tidak Acak
        Seperti telah diuraikan sebelumnya, jenis sampel ini tidak dipilih secara acak. Tidak semua unsur atau elemen populasi mempunyai kesempatan sama untuk bisa dipilih menjadi sampel. Unsur populasi yang terpilih menjadi sampel bisa disebabkan karena kebetulan atau karena faktor lain yang sebelumnya sudah direncanakan oleh peneliti.
1.      Convenience Sampling atau sampel yang dipilih dengan pertimbangan kemudahan.
Dalam memilih sampel, peneliti tidak mempunyai pertimbangan lain kecuali berdasarkan kemudahan saja. Seseorang diambil sebagai sampel karena kebetulan orang tadi ada di situ atau kebetulan dia mengenal orang tersebut. Oleh karena itu ada beberapa penulis menggunakan istilah accidental sampling – tidak disengaja – atau juga captive sample  (man-on-the-street) Jenis sampel ini sangat baik jika dimanfaatkan untuk penelitian penjajagan, yang kemudian diikuti oleh penelitian lanjutan yang sampelnya diambil secara acak (random). Beberapa kasus penelitian yang menggunakan jenis sampel ini,  hasilnya ternyata kurang obyektif.

2.      Purposive Sampling
Sesuai dengan namanya, sampel diambil dengan maksud atau tujuan tertentu. Seseorang atau sesuatu diambil sebagai sampel karena peneliti menganggap bahwa seseorang atau sesuatu tersebut memiliki informasi yang diperlukan bagi penelitiannya. Dua jenis sampel ini dikenal dengan nama judgement dan quota sampling.
Judgment Sampling
Sampel dipilih berdasarkan penilaian peneliti bahwa dia adalah pihak yang paling baik untuk dijadikan sampel penelitiannya.. Misalnya untuk memperoleh data tentang bagaimana satu proses produksi direncanakan oleh suatu perusahaan, maka manajer produksi merupakan orang yang terbaik untuk bisa memberikan informasi. Jadi, judment sampling umumnya memilih sesuatu atau seseorang menjadi sampel karena mereka mempunyai “information rich”.
Dalam program pengembangan produk (product development), biasanya yang dijadikan sampel adalah karyawannya sendiri, dengan pertimbangan bahwa kalau karyawan sendiri tidak puas terhadap produk baru yang akan dipasarkan, maka jangan terlalu berharap pasar akan menerima produk itu dengan baik. (Cooper dan Emory, 1992).
Quota Sampling
Teknik sampel ini adalah bentuk dari sampel distratifikasikan secara proposional, namun tidak dipilih secara acak melainkan secara kebetulan saja.
Misalnya, di sebuah kantor terdapat pegawai laki-laki 60%  dan perempuan 40% . Jika seorang peneliti ingin mewawancari 30 orang pegawai dari kedua jenis kelamin tadi maka dia harus mengambil sampel pegawai laki-laki sebanyak 18 orang sedangkan pegawai perempuan 12 orang. Sekali lagi, teknik pengambilan ketiga puluh sampel tadi tidak dilakukan secara acak, melainkan secara kebetulan saja.



3.      Snowball Sampling – Sampel Bola Salju
Cara ini banyak dipakai ketika peneliti tidak banyak tahu tentang populasi penelitiannya. Dia hanya tahu satu atau dua orang yang berdasarkan penilaiannya bisa dijadikan sampel. Karena peneliti menginginkan lebih banyak lagi, lalu dia minta kepada sampel pertama untuk menunjukan orang lain yang kira-kira bisa dijadikan sampel. Misalnya, seorang peneliti ingin mengetahui pandangan kaum lesbian terhadap lembaga perkawinan. Peneliti cukup mencari satu orang wanita lesbian dan kemudian melakukan wawancara. Setelah selesai, peneliti tadi minta kepada wanita lesbian tersebut untuk bisa mewawancarai teman lesbian lainnya. Setelah jumlah wanita lesbian yang berhasil diwawancarainya dirasa cukup, peneliti bisa mengentikan pencarian wanita lesbian lainnya. . Hal ini bisa juga dilakukan pada pencandu narkotik, para gay, atau kelompok-kelompok sosial lain yang eksklusif (tertutup)


Jumat, 05 April 2013

BODY-HATING

Artikel ini ditulis oleh  Alexis Conason, Psy.D. dalam Psychology Today

Hanya 12% perempuan berusia 50 tahun ke atas melaporkan kepuasan dengan ukuran tubuh mereka. Itu berarti bahwa 88% wanita lebih memilih untuk menjadi ukuran tubuh yang berbeda daripada yang mereka tempati saat ini. Saya menemukan angka-angka yang mengejutkan. Dan saya tidak percaya bahwa gambaran itu akan terlihat jauh berbeda untuk wanita di bawah 50. Meskipun tekanan penuaan pada obsesi kaum rema dalam budaya, itu selalu menjadi kebijaksanaan umum (atau angan-angan) bahwa perempuan menjadi lebih nyaman di tubuh mereka sendiri dengan bertambahnya usia mereka.

Sebuah studi penelitian yang dilakukan oleh Cristin Runfola , Ph.D. dan rekan-rekannya di University of North Carolina , yang diterbitkan dalam edisi terbaru Journal of Women dan Aging , menemukan bahwa 12,2 % wanita di atas usia 50 puas dengan ukuran tubuh mereka . Namun studi ini bukan hanya tentang prevalensi kepuasan citra tubuh pada wanita . Para penulis juga ingin mempelajari yang sukar dipahami 12 % wanita yang benar-benar puas dengan ukuran tubuh mereka untuk mengetahui rahasia mereka . Apa ketahanan lakukan wanita ini pameran yang melindungi mereka dari ketidakpuasan tubuh yang hadir di lain 88 % ? Mengecewakan Jawabannya : tidak . Berat dan bentuk masih memainkan peran utama dalam evaluasi diri mereka. Sementara wanita merasa puas dengan ukuran tubuh mereka , 50 % tidak suka perut atau wajah mereka dan 70 % tidak suka kulit mereka . Mereka takut berat badan ( 40 % menyatakan bahwa kenaikan berat badan £ 5 akan membuat mereka moderat sangat marah ) , ditimbang sendiri setidaknya beberapa kali per minggu , dan sering dilakukan untuk tetap langsing . Singkatnya , para wanita " puas " yang berpegangan pada seutas benang.


Kebencian tubuh adalah keadaan normal baru. Remaja mengukur mereka "paha gap" dan membaca buku-buku diet dipinjam dari ibu mereka, banyak yang diturunkan dari ibu mereka. Pembicaraan tubuh merajalela. Wanita saling menyapa dengan "Anda tampak hebat, Anda kehilangan berat badan. Apa rahasia Anda "sementara yang lain merespon" Terima kasih, tapi aku masih memiliki cara untuk pergi sampai saya mencapai tujuan saya?. "Banyak dari kita bahkan tidak berpikir dua kali ketika seorang teman bertanya:" Apakah saya terlihat gemuk dalam hal ini? "atau memberitahu kita tentang detox jus dia di karena telah menjadi begitu meluas. Sekarang adalah waktu! Jangan menunggu sampai tidak ada wanita kiri tanpa cedera (harus ada satu atau dua masih tersisa, kan?) Oleh budaya kita membenci tubuh. Saya mengusulkan agar kita semua mengatakan "CUKUP" dan mulai bekerja menuju budaya penerimaan tubuh dan cinta-diri. Menolak untuk menjalani hidup kita diperbudak dengan skala! Karena sekali kita memiliki kebebasan dari ikatan diet dan kebencian pada tubuh, kita bisa mulai mengarahkan energi kita ke arah yang benar-benar mengubah dunia.

Minggu, 03 Maret 2013

Makalah Gangguan somatoform dan disosiatif


GANGGUAN DISOSIATIF DAN SOMATOFORM
  1. GANGGUAN SOMATOFORM

I.       Definisi
Kata somatoform di ambil dari bahasa Yunani soma yang berarti “tubuh”. Dalam gangguan somatoform masalah-masalah psikologi muncul dalam bentuk gangguan fisik (misalnya, nyeri, mual dan pusing). Simtom-simtom fisik gangguan somatoform yang tidak dapat dijelaskan secara fisiologis dan tidak berada dalam kesadaran, diduga terkait dengan faktor-faktor psikologis yaitu kecemasan, sehingga diasumsikan memiliki penyebab psikologis.
Menurut (Nevid, dkk, 2005), gangguan somatoform (somatoform disorder) adalah suatu kelompok gangguan yang ditandai oleh keluhan tentang masalah atau simtom fisik yang tidak dapat dijelaskan oleh penyebab kerusakan fisik. Pada gangguan ini, orang memiliki simtom fisik yang mengingatkan pada gangguan fisik, namun tidak ada abnormalitas organik yang dapat ditemkan sebagai penyebabnya. Gejala dan keluhan somatik menyebabkan penderitaan emosional/gangguan pada kemampuan pasien untuk berfungsi di dalam peranan sosial atau pekerjaan. Gangguan somatoform tidak disebabkan oleh pura-pura yang disadari atau gangguan buatan.


II.                Jenis Gangguan Somatoform

Gangguan Nyeri, Gangguan Dismorfik Tubuh, dan Gangguan Hipokondriasis
Pada gangguan nyeri seseorang mengalami rasa sakit atau nyeri yang menyebabkan distress dan kerusakan signifikan, faktor psikologis dianggap berperan penting terhadap muncul, menetap dan parahnya rasa nyeri. Bahkan pasien tidak mampu bekerja dan obat penenang atau penghilang rasa sakit tidak berpengaruh lagi. Rasa nyeri dapat memiliki keterkaitan temporal dengan semacam konflik atau stres, atau mungkinkan individu menghindari aktivitas yang tidak menyenangkan dan mendapatkan perhatian serta simpati yang tidak diperoleh saat individu dalam keadaan sehat. Diagnosis akurat sulit ditegakkan karena pengalaman rasa nyeri subjektif selalu merupakan fenomena yang dipengaruhi secara psikologis, yaitu rasa nyeri bukan sekedar pengalaman sensori, seperti pengelihatan dan pendengaran. Dengan demikian, untuk memutuskan apakah rasa nyeri yg diderita adalah rasa nyeri somatoform atau rasa nyeri yang berkaitan dengan gejala fisik merupakan hal yang sulit. Namun, pada pasien yang rasa sakitnya dilandasi gangguan fisik, mereka dapat menunjukkan bagian yangs akit secara spesifik, dapat memberikan deskripsi sensori rasa sakitnya secara lebih rinci, dan dapat mengaitkan rasa sakit tersebut secara lebih jelas dengan berbagai kondisi yang meningkatkan atau mengurangi rasa sakit (Adler dkk, 1997).
Pada gangguan dismorfik tubuh, seseorang dipenuhi kekhawatiran dengan kerusakan penampilan yang hanya dalam bayangannya atau dilebih-lebihkan, seringkali pada wajah-contohnya, kerutan wajahm bulu di wajah yang lebat, bentuk atau ukuran hidung. Wanita cenderung pula fokus pada bagian kulit, pinggang, dada, dan kaki, sedangkan pria lebih cenderung memiliki kepercayaan bahwa mereka bertubuh pendek, ukuran penisnya terlalu kecil atau mereka memiliki terlalu banyak rambut di tubuhnya (Perugi dkk, 1997). Beberapa individu yang mengalami gangguan ini secara kompulsif akan menghabiskan berjam-jam setiap harinya untuk memperhatikan kekurangannya dengan berkaca di cermin. Ada pula yang menghindari cermin agar tidak diingatkan mengenai kekurangan mereka, atau mengkamuflasekan kekurangan mereka dengan, misalnya, mengenakan baju yang sangat longgar (Albertini & Philip, 1999).
Beberapa bahkan mengurung diri di rumah untuk menghindari orang lain melihat kekurangan yang dibayangkannya. Hal ini sangat mengganggu dan terkadang dapat mengerah pada bunuh diri; seringnya konsultasi pada dokter bedah plastik dan beberapa individu yang mengalami hal ini bahkan melakukan operasi sendiri pada tubuhnya. Sayangnya, operasi plastik berperan kecil dalam menghilangkan kekhawatiran mereka (Veale, 2000). Body dysmorphic disorder muncul kebanyakan pada wanita, biasanya dimulai pada akhir masa remaja, dan biasanya berkaitan dengan depresi, fobia social, gangguan kepribadian (Phillips&McElroy, 2000; Veale et al.,1996). Faktor social dan budaya memainkan peranan penting pada bagaimana seseorang merasa apakah ia menarik atau tidak, seperti pada gangguan pola makan.
Hipokondriasis bersal dari istilh medis lama “hypochondrium”, yang berarti di bawah tulang rusuk, dan merefleksikan gangguan pada bagian perut yang sering dikeuhkan pasien hipokondriasis. Hipokondriasis adalah hasil interpretasi pasien yang tiak realistis dan tidakk akurat terhadap simtom atau sensasi, sehngga mengarah pada preokupasi dan ketakutan bahwa mereka memiliki ganggguan yang arah, bahkan  meskipun tidak ada penyebab medis yang ditemukan. Psien yakin bahwa mereka mengalami penyakit yang serius dan belum dapat dideteksi, dan tidak dapat dibantah dengan mnunjukkan kebalikannya (Kaplan, Sadock, dan Grebb, 1994).
Gangguan ini biasanya dimulai pada awal masa remaja dan cenderung terus berlanjut. Individu yang mengalami hal ini biasanya merupakan konsumen yang seringkali menggunakan pelayanan kesehatan; bahkan terkadang mereka manganggap dokter mereka tidak kompeten dan tidak perhatian (Pershing et al., 2000). Dalam teori disebutkan bahwa mereka bersikap berlebihan pada sensasi fisik yang umum dan gangguan kecil, seperti detak jantung yang tidak teratur, berkeringat, batuk yang kadang terjadi, rasa sakit, sakit perut, sebagai bukti dari kepercayan mereka. Hypochondriasis seringkali muncul bersamaan dengan gangguan kecemasan dan mood.

a.      Gangguan Konversi
Pada conversion disorder, gejala sensorik dan motorik, seperti hilangnya penglihatan atau kelumpuhan secara tiba-tiba, menimbulkan penyakit yang berkaitan dengan rusaknya sistem saraf, padahal organ tubuh dan sistem saraf individu tersebut baik-baik saja. Individu dapat mengalami kelumpuhan separuh atau seluruhnya pada lengan atau kaki, kejang dan gangguan koordinasi, kulit serasa tertusuk, perih atau menggeletar, insertistivitas terhadap rasa sakit, hilang atau lemahnya pengindraan atau  anesthesia (walaupun secara fisiologis mereka normal). Penglihatan dapat mengalami kerusakan parah, orang yang bersangkuan dapat separuh atau sepenuhnya buta (tunnel vision), di mana bidang pengelihatan menjadi terbatas seperti bila seseorang melihat melalui lobang pipa. Aphonia, hilangnya suara dan hanya bisa  berbicara dnegan berbisik, dan ansomia hilang atau melemahnya indra penciuman, dan simtim-simtom konversi lainnya.
Aspek psikologis dari gejala conversion ini ditunjukkan dengan fakta bahwa biasanya gangguan ini muncul secara tiba-tiba dalam situasi yang tidak menyenangkan. Biasanya hal ini memungkinkan individu untuk menghindari beberapa aktivitas atau tanggung jawab atau individu sangat ingin mendapatkan perhatian. Istilah conversion, pada dasarnya berasal dari Freud, dimana disebutkan bahwa energi dari instink yang di repress dialihkan pada aspek sensori-motor dan mengganggu fungsi normal. Untuk itu, kecemasan dan konflik psikologis diyakini dialihkan pada gejala fisik.
Gejala conversion biasanya berkembang pada masa remaja atau awal masa dewasa, dimana biasanya muncul setelah adanya kejadian yang tidak menyenangkan dalam hidup. Prevalensi dari conversion disorder kurang dari 1 %, dan biasanya banyak dialami oleh wanita (Faravelli et al.,1997;Singh&Lee, 1997). Conversion disorder biasanya berkaitan dengan diagnosis Axis I lainnya seperti depresi dan penyalahgunaan zat-zat terlarang, dan dengan gangguan kepribadian, yaitu borderline dan histrionic personality disorder (Binzer, Anderson&Kullgren, 1996;Rechlin, Loew&Jorashky, 1997).

b.      Gangguan Somatisasi
Pada tahun 1859 seorang dokter berkebangsaan Prancis, Pierre Briquet menggambarkan suatu sindrom yang pada walnya diberi nama sesua dengan namanya, sindrom Briquet. Kini dalam DSM-IV-TR disebut dengan gangguan somatisasi. Keluhan somatik yang berulang dan banyak memerlukan perhatian medis, namun tidak memiliki sebab fisik yang jelas. Untuk memenuhi kriterian diagnostik, yang bersagkutan harus mengalami keempat hal dibawah ini:
1.      Empat simptom rasa sakit di bagian yang berbeda (kepala, punggung, sendi);
2.      Dua simptom gastrointestinal (diare, mual);
3.      Satu simptom seksual selain rasa sakit (tidak berminat pada hubungan seksual, disfungsi erektil);
4.      Satu simptom pseudineurologis (seperti yang terjadi dalam gangguan konversi).
Simptom-simptom tersebut yang lebih pervasif dibanding keluhan hipokondriasis, biasanya menyebabkan hendaya, terutama dalam pekerjaan. Dalam DSM-IV-TR mencatat bahwa, simptom-simptom spesifik gangguan ini dapat bervariasi antarbudaya. Sebagai contoh, tangan terbakar atau sperti ada semut yang berjalan di bawah lutut, hal ini sering terjadi di Asia dan Afrika dibanding di Amerika Utara. Terlebih lagi gangguan tersebut dinilai sering terjadi pada budaya yang tidak mendorong ekspresi emosi secara terbuka (Ford, 1995).
Gangguan somatisasi dan gangguan konversi memiliki banyak persamaan simptom, dan keduanya dapat ditegakkan pada pasien yang sama (Ford & Folks, 1985). Kunjungan ke dokter, kadangkala ke banyak dokter pada waktu bersamaan, sering kali dilakukan, juga penggunaan obat-obatan. Perawatan di rumah sakit bahkan operasi menajdi hal umum (Guz2, 1967). Masalah menstruasi dan hambatan seksual sering terjadi (Swartz dkk, 1986). Para pasien umumnya menyampaikan keluhan secara berlebihan atau sebagai riwayat kesehatan yang panajng dan penuh komplikasi. Banyak yang meyakini bahwa mereka telah mengalami penyakit sepanjang hidupnya.
Prevalensi dari somatiation disorder diperkirakan kurang dari 0.5% dari populasi Amerika, biasanya lebih sering muncul pada wanita, khususnya wanita African American dan Hispanic (Escobar et al., 1987) dan pada pasien yang sedang menjalani pengibatan medis. Prevalensi ini lebih tinggi pada beberapa negara di Amerika Selatan dan di Puerto Rico (Tomassson, Kent&Coryell , 1991). Somatizaton disorder biasanya dimulai pada awal masa dewasa (Cloninger et al., 1986).

III.             Etilogi
Sebagian besar teori mengenai gangguan somatoform hanya diarahkan pada pemahaman histeria sebagaimana dikonseptualisasi oleh Freud. Konsekuensinya, teori ini memfokuskan pada penjelassan gangguan konversi. Di bawah ini akan dijelaskan secara singkat pemikiern tentang etiologi gangguan somatisasi.
Pendapat mengatakan bahwa para pasien penderita gangguan somatisasi lebih sensitif terhadap sensasi fisik, memberikan perhatian berlebihan tehadap sensasi tersebut, atau menginterpretasikannya sebagai sesuau yang membahayakan (Kirmayer dkk.,1994; Rief dkk.,1998). Kemungkinan lain adalah mereka memiliki sensasi fisik yanglebih kuat dibanding orang lain (Rief & Aurer, 2001). Sebuah pandangan perilaku mengenai gangguan somatisasi menyatakan bahwa berbagai macam rasa sakit dan nyeri, rasa tidak nyaman, dan disfungsi merupakan manifestasi kecemasan yang tidak realistis dalam sistem-sistem tubuh. Sejalan dengan pemikirian bahwa terdapat faktor kecemasan yang tinggi, pasien penderita gangguan somatisasi memiliki level kortiso tinggi, suatu indikasi bahwa mereka di bawah tekanan (Rief dkk., 1998). Mungkin ketegangan ekstrem yang yang dialami individu terpusat pada otot-otot perut, mengakibatkan rasa mual atau muntah. Bila keberfungsian normal terganggu, pola maladaptif akan menguat karena menghasilkan perhatian dan alasan untuk menghindari sesuatu.
Teori Psikoanalisis Mengenai Gangguan Konversi. Gangguan Konversi menempati posisi utama dalam teori psikoanalisis karena ketika menangani kasus-kasus inilah Freud mengembangkan sebagian besar konsep utama psikoanalisis. Gangguan konversi memberikan kesempatan besar baginya untuk menggali konsep ketidaksadaran. Pertimbangkanlah selama beberapa saat bagaimana Anda akan berusaha memahami penuturan pasien bahwa suatu pagi ia bangun dan tidur dengan tangan kiri yang lumpuh. Reaksi pertama Anda mungkin memberikan serangkaian tes neurologis untuk mencari kemungkinan penyebab biologis kelumpuhana tersebut. Kita asumsikan hasil tes tersebut negatif; tidak ada bukti terjadinya gangguan neurologis. Anda sekarang dihadapkan pada pilihan apakah akan mempercayai atau meragukan penuturan pasien. Di satu sisi, dia mungkin berbohong; sebenarnya dia mungkin mengetahui bahwa tangannya tidak lumpuh, namun memutuskan untuk berpura-pura lumpuh untuk mencapai suatu tujuan. Ini menjadi contoh malingering.

IV.             Terapi
Karena gangguan somatoform lebih jarang terjadi dibanding asalah-masalah lain yang dihadapi para profesional kesehatan mental, hanya terdapat sedikit penelitian terkendali mengenai efektivitas relatif berbagai penanganan. Laporan-laporan kasus dan spekulasi klinis untuk saat ini merupakan sumber informasi utama mengenai bagaimana menolong orang-orang yang mengalami gangguan yang membingungkan ini. Contohnya, tidak terdapat penelitian terkendali mengenai penanganan gangguan konversi. Berbagai studi kasus menunjukkan bahwa biasanya bukan suatu ide yang baik untuk berusaha menyakinkan pasien bahwa simtom-simtom konversi yang dialami berkaitan dengan faktor-faktor psikologis. Kebijakan klinis menyarankan pendekatan halus dan suportif seraya memberikan penghargaan kepada pasien atau setiap perbaikan kondisi sekecil apa pun yang berhasil dicapai (Simon, 19980).
Terapi untuk Somatisasi: Para ahli klinis kognitif dan perilaku percaya bahwa tingkat kecemasan yang tinggi yang berkaitan dengan gangguan somatisasi dipicu oleh beberapa situasi spesifik. Sebagai contoh, Alice, wanita yang dikisahkan sebelumnya, mengungkapkan bahwa ia sangat cemas terhadap perkawinannya yang goyah dan berbagai situasi di mana orang lain mungkin akan menilainya. Beberapa teknik seperti pemaparan atau terapi kognitif dapat digunakan untuk mengatasi ketakutannya, berkurangnya rasa takut tersebut dapat membantu mengurangi berbagai keluhan somatik.
Terapi untuk Hipokondriasis: Secara umum, pendekatan kognitif-behavioral telah terbukti efektif untuk mengurangi berbagai masalah hipokondriasis. Penelitian menunjukkan bahwa para pasien hipokondriasis menunjukkan penyimpangan kognitif dengan menganggu masalah kesehatan yang muncul sebagai suatu ancaman. Terapi kognitif-behavioral dapat ditujukan untuk menstrukturisasikan pemikiran pesimistis semacam itu. Salain itu, penanganan dapat mencakup beberapa strategi seperti semacam itu. Selain itu, penanganan dapat mencakup beberapa strategi seperti mengarahkan perhatian selektif pasien ke simtom-simtom fisik dan tidak mendorong pasien mencari kepastian medis bahwa tidak sakit.
Terapis untuk Rasa Nyeri. Berdasarkan pemikiran mutakhir, biasanya tidak ada gunanya membuat perbedaan yang tajam antara rasa nyerib psikogenik dan rasa nyeri yang benar-benar disebabkan oleh faktor medis, seperti cedera jaringan otot. Umumnya diasumsikan bahwa rasa nyeri selalu mengandung kedua komponen tersebut. Penanganan yang efektif cenderung terdiri dari hal-hal berikut:
1.      Melakukan validasi bahwa rasa nyeri memang nyata, dan tidak hanya dalam pikiran pasien
2.      Pelatihan relaksasi
3.      Menghadiahi pasien karena berperilaku yang tidak sejalan dengan rasa nyeri (menahan rasa nyeri)
B.     GANGGUAN DISOSIATIF

I.       Definisi
Gangguan disosiatif adalah gangguan yang ditandai dengan adanya perubahan perasaan individu tentang identitas, memori, atau kesadarannya. Individu yang mengalami gangguan ini memperoleh kesulitan untuk mengingat peristiwa-peristiwa penting yang pernah terjadi pada dirinya, melupakan identitas dirinya bahkan membentuk identitas baru (Davidson&Neale,2001).
Disosiasi psikologis adalah perubahan kesadaran mendadak yang mempengaruhi memori dan identitas. Para individu yang menderita gangguan disosiatif tidak mampu mengingat berbagai peristiwa pribadi penting atau selama beberapa saat lupa akan identitasnya atau bahkan membentuk identitas baru.
Secara umum gangguan disosiatif (dissociative disorders) bisa didefinisikan sebagai adanya kehilangan (sebagian atau seluruh) dari integrasi normal (di bawah kendali sadar) yang meliputi ingatan masa lalu, kesadaran identitas dan penginderaanan segera (awareness of identity and immediate sensations), serta control terhadap gerak tubuh.
Dalam penegakan diagnosis Gangguan Disosiatif harus ada gangguan yang menyebabkan kegagalan mengoordinasikan identitas, memori persepsi ataupun kesadaran, dan menyebabkan gangguan yang bermakna dalam fungsi sosial, pekerjaan dan memanfaatkan waktu senggang.
Gejala utama gangguan ini adalah adanya kehilangan (sebagian atau seluruh dari integrasi normal (dibawah kendali kesadaran) antara lain:
  • ingatan masa lalu
  • kesadaran identitas dan penginderaan (awareness of identity and immediate sensations) 
  • kontrol terhadap gerakan tubuh




II.                Etilogi
           
Gangguan Disosiatif  belum dapat diketahui penyebab pastinya, namun biasanya terjadi akibat trauma masa lalu yang berat, namun tidak ada gangguan organik yang dialami. Gangguan ini terjadi pertama pada saat anak-anak namun tidak khas dan belum bisa teridentifikasikan, Dalam perjalanan penyakitnya gangguan disosiatif ini bisa terjadi sewaktu-waktu dan trauma masa lalu pernah terjadi kembali, dan berulang-ulang sehingga terjadinya gejala gangguan disosiatif.

Dalam beberapa referensi menyebutkan bahwa trauma yang terjadi berupa : 
·         Kepribadian yang labil 
·         Pelecehan seksual 
·         Pelecehan fisik 
·         Kekerasan dalam rumah tangga (ayah dan ibu cerai) 
·         Lingkungan social yang sering memperlihatkan kekerasan


III.             Tanda dan Gejala

Pada Gangguan disosiatif, kemampuan kendali dibawah kesadaran dan kendali selektif tersebut terganggu sampai taraf yang dapat berlangsung dari hari kehari atau bahkan jam ke jam.
Gejala umum untuk seluruh tipe gangguan disosiatif, meliputi :
·         Hilang ingatan (amnesia) terhadap periode waktu tertentu, kejadian dan orang
·         Masalah gangguan mental, meliputi depresi dan kecemasan
·         Persepsi terhadap orang dan benda di sekitarnya tidak nyata (derealisasi)
·         Identitas yang buram
·         Depersonalisasi
           
Gangguan disosiatif selalu dihubungkan dengan penyulit yang signifikan. Orang-orang
dengan kondisi seperti ini sering tidak dapat mengelola emosi dan stress dengan baik. Dan reaksi disosiatifnya dapat menyebabkan teman-temannya mengaggap dirinya aneh.

FAKTOR RESIKO
Orang-orang dengan pengalaman gangguan psikis kronik, seksual ataupun emosional semasa kecil sangat berisko besar mengalami gangguan disosiatif. Anak-anak dan dewasa yang juga memiliki pengalaman kejadian yang traumatic, semisalnya perang, bencana, penculikan, dan prosedur medis yang infasif juga dapat menjadi faktor resiko terjadinya gangguan disosiatif ini.


IV.             Jenis Gangguan Disosiatif
Gangguan disosiatif mencakup 4 gangguan yakni;
  • Amnesia Disosiatif 
  • Fugue Disosiatif 
  • Gangguan Depersonalisasi
  • Gangguan Identitas Disosiatif

  1. Amnesia Disosiatif
Amnesia disosiatif dipercaya sebagai tipe yang paling umum dari gangguan disosiatif. Amnesia diambil dari akar kata Yunani a-, berarti “tanpa”, dan mnasthai, berarti ”untuk mengingat”. Seseorang yang menderita amnesia disosiatif tidak mampu mengingat informasi pribadi yang penting, biasanya setelah suatu episode yang penuh stress. Informasi-informasi itu tidak hilang secara permanen, namun tidak dapat diingat kembali saat episode amnesia. Ingatan yang hilang dalam amnesia disosiatif dapat kembali, meski gangguan ini bisa berlangsung selama beberapa hari, minggu, atau bahkan tahun. Mengingat kembali dalam amnesia disosiatif dapat terjadi secara bertahap tetapi seringkali muncul secara tiba-tiba dan spontan, seperti saat seorang tentara tidak dapat mengingat pertarungan, beberapa hari setelahnya tiba-tiba dapat mengingat pengalamannya setelah pindah ke rumah sakit yang jauh dari medan perang. Sering kali memori yang hilang mencakup semua peristiwa selama kurun waktu tertentu setelah suatu kejadian traumatic. Sangat jarang amnesia hanya mencakup beberapa peristiwa tertentu dalam periode penderitaan tertentu, berlangsung secara terus-menerus sejak terjadinya peristiwa traumatic hingga saat ini, atau secara menyeluruh, mencakup seluruh kehidupan seseorang (Coons & Milstein, 1992).

  1. Fugue Disosiatif
Dalam Fugue Disosiatif (berasal dari bahasa latin fugere, yang berarti melarikan diri) hilangnya memori lebih besar disbanding dalam amnesia disosiatif. Orang yang bersangkutan tidak hanya mengalami amnesia total, namun tiba-tiba meninggalkan rumah dan bekerja dengan menggunakan identitas baru. Kadangkala orang tersebut mempunyai nama baru, rumah baru, pekerjaan baru, dan bahkan serangkaian karakteristik kepribadian baru. Fugue umumnya terjadi setelah seseorang mengalami stress berat, sepert pertengkaran dengan sumai/istri, penolakan diri, masalah keuangan atau pekerjaan, bertugas dalam peperangan, atau bencana alam. Walaupun memerlukan waktu yang lamanya bervariasi, namun biasanya individu dapat pulih secara total; individu yang bersangkutan tidak dapat mengingat apa yang terjadi selama ia mengalami amnesia.
Ciri-ciri Dissociative Fugue antara lain:
·         Pergi jauh dari rumah atau tempat kerja secara tiba-tiba dan tidak mampu mengingat masa lalunya.
·         Secara mendadak dan tidak terduga, individu pergi meninggalkan rumah dan pekerjaannya. Gejala ini muncul bersamaan dengan ketidakmampuannya mengingat masa lalu.
·         Bingung terhadap identitas pribadi atau mendapatkan identitas baru secara persial atau total.
·         Gangguan tidak terjadi secara eksklusif selama berlangsungnya gangguan identitas dissosiative, dan bukan disebabkan oleh substansi tertentu atau kondisi medis secara umum
·         Gangguan menyebabkan distress atau daya ingat significant untuk berfungsi secara normal.

  1. Gangguan Depersonalisasi
Gangguan Depersonalisasi, dimana persepsi atau pengalaman seseorang terhadap diri sendiri berubah secara menyedihkan dan mengganggu, juga tercantum salam DSM-IV-TR sebagai gangguan disosiatif. Dalam episode depersonalisasi, yang umum dipicu oleh stress, individu secara mendadak kehilangan rasa diri mereka. Mereka mengalami pengalaman sensori yang tidak biasa; contohnya, ukuran tangan dan kaki mereka tampak berubah secara drastic atau suara mereka terdengar asing bagi mereka sendiri. Mereka merasa berada diluar tubuh mereka, menatap diri mereka sendiri dari kejauhan. Kadangkala mereka merasa seperti mesin, seolah-olah mereka dan orang-orang lain adalah robot, atau mereka seolah bergerak didunia yang tidak nyata. Gangguan depersonalisasi  biasanya berawal pada masa remaja dan perjalanannya bersifat kronis, yaitu, dialami dalam waktu yang lama. Komorbiditas dengan gangguan kepribadian sering terjadi, juga gangguan anxietas dan depresi (Simeon dkk., 1997).
a. Pengalaman yang berulang-ulang atau persisten dari depersonalisasi, yang ditandai oleh perasaan terpisah dari proses mental atau tubuh seseorang, seolah-olah seseorang menjadi pengamat luar dari dirinya sendiri. Pengalaman ini dapat memiliki karakteristik seperti mimpi.
b. Individu tersebut mampu mempertahankan pengujian realitas (contohnya, membedakan kenyataan dan ketidaknyataan) saat keadaan depersonalisasi.
c. Pengalaman depersonalisasi menyebabkan distres atau hendaya pribadi yang signifikan pada satu atau lebih area fungsi yang penting, seperti fungsi sosial dan pekerjaan.
d. Merasa dirinya bukanlah dirinya yang sesungguhnya. Pengalaman bahwa diri sendiri telah berubah.
e. Perasaan yang berulang ataupun menetap tentang adanya pemisahan diri dari fisik ataupun pikiran. Merasa bahwa fisik atau pikirannya bukanlah miliknya lagi (Davidson & Neale, 2001).
  1. Gangguan Identitas Disosiatif
Menurut DSM-IV-TR, diagnosis gangguan identitas disosiatif (GID) dapat ditegakkan bila seseorang memiliki sekurang-kurangnya dua kondisi ego yang terpisah, atau berubah-moda yang berbeda dalam keberadaan, perasaan, dan tindakan yang satu sama lain tidak saling mempengaruhi dan yang muncul serta memegang kendali pada waktu yang berbeda. Umumnya terdapat dua hingga empat kepribadian pada saat diagnosis ditegakkan, namun selama berlangsungnya terapi sering kali muncul beberapa kepribadian baru. Gangguan identitas disosiatif biasanya berawal pada masa kanak-kanak, namun jarang didiagnosis hingga usia dewasa. GID umumnya disertai sakit kepala, penyalahgunaan zat, fobia, halusinasi, upaya bunuh diri, disfungsi seksual, perilaku  melukai diri sendiri, dan juga simtom-simtom disosiatif lain seperti amnesia dan depersonalisasi (Scrappo dkk., 1998).
Kriteria DSM-IV-TR untuk DID, diantaranya :
1)    Harus ada dua atau lebih identitas atau kesadaran yang berbeda di dalam diri orang tersebut.
2)  Kepribadian-kepribadian ini secara berulang mengambil alih perilaku orang tersebut (Switching).
3)    Ada ketidakmampuan untuk mengingat informasi penting yang berkenaan dengan dirinya yang terlalu luar biasa untuk dianggap hanya sebagai lupa biasa.
4)   Gangguan-gangguan yang terjadi ini tidak terjadi karena efek psikologis dari substansi seperti alkohol atau obat-obatan atau karena kondisi medis seperti demam.


V.                Terapi

Gangguan disosiatif menunjukan, mungkin lebih baik dibanding semua gangguan lain, kemungkinan teori psikoanalisis. Dalam tiga gangguan disosiatif-amnesia, fugue, dan gangguan identitas disosiatif- para penderita menunjukan perilaku yang secara sangat meyakinkan menunjukan bahwa mereka tidak dapat mengakses berbagai bagian kehidupan pada masa lalu yang terlupakan. Dan karena pada saat yang sama mereka tidak menyadari bahwa mereka lupa akan bagian dari masa lalu mereka, hipotesis bahwa terdapat bagian besar dalam kehidupan mereka yang direpres atau didisosiasi merupakan hipotesis yang meyakinkan (MacGregor, 1996).
Konsekuensinya, terapi psikoanalisis mungkin lebih banyak dipilih untuk gangguan disosiatif disbanding masalah-masalah psikologis lain. Tujuan untuk mengangkat represi menjadi hokum sehari-hari, dicapai melalui penggunaan berbagai teknik psikoanalitik dasar.
Para pasien GID sangat mudah dihipnotis, dan diyakini bahwa mudahnya mereka dihipnotis dimanfaatkan oleh mereka (tanpa disadari) untuk mengatasi stress dengan menciptakan kondisi disosiatif yang mirip dengan trance untuk mencegah munculnya ingatan yang menakutkan tentang berbagai macam kejadian traumatis (Butler dkk., 1996).



BAB 3
KESIMPULAN


 
Blogger Templates