PENGERTIAN
AGRESI
Agresi
adalah tingkah laku yang diarahkan kepada tujuan untuk menyakiti makhluk hidup
lainnya yang ingin menghindari perlakuan semacam itu. Hal ini juga termasuk
dalam agresi manusia yang dimaksud adalah siksaan yang diarahkan secara sengaja
dari berbagai bentuk kekerasan terhadap orang lain. Dalam hal ini, jika
menyakiti orang lain karena unsur ketidaksengajaan, maka perilaku tersebut
bukan dikategorikan perilaku agresi. Rasa sakit akibat tidakan medis misalnya,
walaupun sengaja dilakukan bukan termasuk agresi. Sebaliknya, niat menyakiti
orang lain namun tidak berhasil, hal ini dapat dikatakan sebagai perilaku
agresi.
Dalam
psikologi dan ilmu sosial lainnya, pengertian agresi merujuk pada perilaku yang
dimaksudkan untuk membuat objeknya mengalami bahaya atau kesakitan.Agresi dapat
dilakukan secara verbal atau fisik.Perilaku yang secara tidak sengaja
menyebabkan bahaya atau sakit bukan merupakan agresi.Pengrusakan barang dan
perilaku destruktif lainnya juga termasuk dalam definisi agresi. Agresi tidak
sama dengan ketegasan.
Ada
tiga perbedaan penting.
- Apakah kita mendefinisikan
agresi sebagai perilaku melukai, ataukah mempunyai maksud melukai disebut
juga agresi. Definisi yang paling sederhana dan yang paling disukai oleh
orang yang menggunakan pendekatan behaviorisme, adalah bahwa agresi
merupakan perilaku yang melukai orang lain. Keuntungan definisi ini adalah
bahwa perilaku itu yang menentukan apakah suatu tindakan bisa dikatakan
agresi atau tidak.
- Antara agresi antisosial dan
prososial. Biasanya kita menganggap agresi sebagai sesuatu yang buruk.
Memang, tindakan agresif yang timbul dengan maksud untuk melukai seseorang
adalah hal yang buruk. Tetapi ada perilaku agresi yang baik. Kita
menghargai polisi yang telah menembak seorang teroris. Yang menjadi
masalah apakah tindakan agresif melanggar atau mendukung norma sosial itu
telah disepakati. Tindakan kriminal seperti membunuh, kekerasan dan
pemukulan jelas melanggar norma sosial disebut antisosial. Sedangkan
tindakan prososial adalah yang sesuai dengan hukum, seperti disiplin yang
diterapkan orangtua atau kepatuhan terhadap komandan perang dianggap
penting.
- Antara perilaku agresi dan
perasaan agresi. Misalnya, seperti rasa marah. Perilaku kita yang nampak
belum berarti mencerminkan perasaan internal kita. Bisa saja, seseorang
yang merasa sangat marah, tetapi tidak menampakkan usaha untuk melukai
orang lain.
FAKTOR
PENYEBAB PERILAKU AGRESI
A.
Amarah
Marah
merupakan emosi yang memiliki ciri-ciri aktifitas sistem saraf parasimpatik
yang tinggi dan adanya perasaan tidak suka yang sangat kuat yang biasanya
disebabkan adanya kesalahan, yang mungkin nyata-nyata salah atau mungkin juga
tidak (Davidoff, Psikologi suatu pengantar 1991).Pada saat marah ada perasaan
ingin menyerang, meninju, menghancurkan atau melempar sesuatu dan biasanya
timbul pikiran yang kejam.Bila hal-hal tersebut disalurkan maka terjadilah
perilaku agresi.Jadi tidak dapat dipungkiri bahwa pada kenyataannya agresi
adalah suatu respon terhadap marah.Kekecewaan, sakit fisik, penghinaan, atau
ancaman sering memancing amarah dan akhirnya memancing agresi. Ejekan, hinaan
dan ancaman merupakan pancingan yang jitu terhadap amarah yang akan mengarah
pada agresi.
B.
Faktor Biologis
Ada
beberapa faktor biologis yang mempengaruhi perilaku agresi (Davidoff, 1991):
- Gen tampaknya berpengaruh pada
pembentukan sistem neural otak yang mengatur perilaku agresi. Dari
penelitian yang dilakukan terhadap binatang, mulai dari yang sulit sampai
yang paling mudah dipancing amarahnya, faktor keturunan tampaknya
membuat hewan jantan yang berasal dari berbagai jenis lebih mudah marah
dibandingkan betinanya.
- Sistem otak yang tidak terlibat
dalam agresi ternyata dapat memperkuat atau menghambat sirkuit neural yang
mengendalikan agresi. Pada hewan sederhana marah dapat dihambat atau
ditingkatkan dengan merangsang sistem limbik (daerah yang menimbulkan
kenikmatan pada manusia) sehingga muncul hubungan timbal balik antara
kenikmatan dan kekejaman. Prescott (Davidoff, 1991) menyatakan bahwa orang
yang berorientasi pada kenikmatan akan sedikit melakukan agresi sedangkan
orang yang tidak pernah mengalami kesenangan, kegembiraan atau santai
cenderung untuk melakukan kekejaman dan penghancuran (agresi). Prescott
yakin bahwa keinginan yang kuat untuk menghancurkan disebabkan oleh
ketidakmampuan untuk menikmati sesuatu hal yang disebabkan cedera otak
karena kurang rangsangan sewaktu bayi.
3.
Kimia darah. Kimia darah (khususnya hormon seks yang sebagian ditentukan faktor
keturunan) juga dapat mempengaruhi perilaku agresi. Dalam suatu eksperimen
ilmuwan menyuntikan hormon testosteron pada tikus dan beberapa
hewan lain (testosteron merupakan hormon androgen utama yang memberikan ciri
kelamin jantan) maka tikus-tikus tersebut berkelahi semakin sering dan lebih
kuat. Sewaktu testosteron dikurangi hewan tersebut menjadi lembut. Kenyataan
menunjukkan bahwa anak banteng jantan yang sudah dikebiri (dipotong alat
kelaminnya) akan menjadi jinak. Sedangkan pada wanita yang sedang mengalami
masa haid, kadar hormon kewanitaan yaitu estrogen dan progresteronmenurun
jumlahnya akibatnya banyak wanita melaporkan bahwa perasaan mereka mudah
tersinggung, gelisah, tegang dan bermusuhan. Selain itu banyak wanita yang
melakukan pelanggaran hukum (melakukan tindakan agresi) pada saat
berlangsungnya siklus haid ini.
C.
Kesenjangan Generasi
Adanya
perbedaan atau jurang pemisah (Gap) antara generasi anak dengan orang tuanya
dapat terlihat dalam bentuk hubungan komunikasi yang semakin minimal dan
seringkali tidak nyambung.Kegagalan komunikasi orang tua dan anak diyakini sebagai
salah satu penyebab timbulnya perilaku agresi pada anak.permasalahan generation
gap ini harus diatasi dengan segera, mengingat bahwa selain agresi,
masih banyak permasalahan lain yang dapat muncul seperti masalah ketergantungan
narkotik, kehamilan diluar nikah, seks bebas, dll.
D.
Lingkungan
1)
Kemiskinan
Bila
seorang anak dibesarkan dalam lingkungan kemiskinan, maka perilaku agresi
mereka secara alami mengalami penguatan (Byod McCandless dalam Davidoff,
1991).Hal ini dapat kita lihat dan alami dalam kehidupan sehari-hari di ibukota
Jakarta, di perempatan jalan dalam antrian lampu merah (Traffic Light)
anda biasa didatangi pengamen cilik yang jumlahnya lebih dari satu orang yang
berdatangan silih berganti. Bila anda memberi salah satu dari mereka uang maka
anda siap-siap di serbu anak yang lain untuk meminta pada anda dan resikonya
anda mungkin dicaci maki bahkan ada yang berani memukul pintu mobil anda jika
anda tidak memberi uang, terlebih bila mereka tahu jumlah uang yang diberikan
pada temannya cukup besar. Mereka juga bahkan tidak segan-segan menyerang
temannya yang telah diberi uang dan berusaha merebutnya.Hal ini sudah menjadi
pemandangan yang seolah-olah biasa saja.
2) Anonimitas
Kota
besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya dan kota besar lainnya menyajikan
berbagai suara, cahaya dan bermacam informasi yang besarnya sangat luar biasa.
Orang secara otomatis cenderung berusaha untuk beradaptasi dengan melakukan
penyesuaian diri terhadap rangsangan yang berlebihan tersebut. Terlalu banyak
rangsangan indra dan kognitif membuat dunia menjadi sangat impersonal, artinya
antara satu orang dengan orang lain tidak lagi saling mengenal atau mengetahui
secara baik. Lebih jauh lagi, setiap individu cenderung menjadi
anonim (tidak mempunyai identitas diri). Bila seseorang merasa anonim ia
cenderung berperilaku semaunya sendiri, karena ia merasa tidak lagi terikat
dengan norma masyarakat dan kurang bersimpati pada orang lain.
3) Suhu
udara yang panas
Bila
diperhatikan dengan seksama tawuran yang terjadi di Jakarta seringkali terjadi
pada siang hari di terik panas matahari, tapi bila musim hujan relatif tidak
ada peristiwa tersebut.Begitu juga dengan aksi-aksi demonstrasi yang berujung
pada bentrokan dengan petugas keamanan yang biasa terjadi pada cuaca yang terik
dan panas tapi bila hari diguyur hujan aksi tersebut juga menjadi sepi.Hal ini
sesuai dengan pandangan bahwa suhu suatu lingkungan yang tinggi memiliki dampak
terhadap tingkah laku sosial berupa peningkatan agresivitas. Pada tahun 1968 US
Riot Comisionpernah melaporkan bahwa dalam musim panas, rangkaian kerusuhan
dan agresivitas massa lebih banyak terjadi di Amerika Serikat dibandingkan
dengan musim-musim lainnya (Fisher et al, dalam Sarlito, Psikologi
Lingkungan,1992
E.
Peran Belajar Model Kekerasan
Tidak
dapat dipungkiri bahwa pada saat ini anak-anak dan remaja banyak belajar
menyaksikan adegan kekerasan melalui Televisi dan juga “games” atau pun mainan
yang bertema kekerasan.Acara-acara yang menampilan adegan kekerasan hampir
setiap saat dapat ditemui dalam tontonan yang disajikan di televisi mulai dari
film kartun, sinetron, sampai film laga. Selain itu ada pula acara-acara TV
yang menyajikan acara khusus perkelahian yang sangat populer dikalangan remaja
seperti Smack Down, UFC (Ultimate Fighting Championship)atau
sejenisnya. Walaupun pembawa acara berulang kali mengingatkan penonton untuk
tidak mencontoh apa yang mereka saksikan namun diyakini bahwa tontonan tersebut
akan berpengaruh terhadap perkembangan jiwa penontonnya. Pendapat ini sesuai
dengan yang diutarakan Davidoff (1991) yang mengatakan bahwa menyaksikan
perkelahian dan pembunuhan meskipun sedikit pasti akan menimbulkan rangsangan
dan memungkinkan untuk meniru model kekerasan tersebut.
F.
Frustrasi
Frustrasi
terjadi bila seseorang terhalang oleh sesuatu hal dalam mencapai suatu tujuan,
kebutuhan, keinginan, pengharapan atau tindakan tertentu. Agresi merupakan
salah satu cara berespon terhadap frustrasi. Remaja miskin yang nakal
adalah akibat dari frustrasi yang berhubungan dengan banyaknya waktu
menganggur, keuangan yang pas-pasan dan adanya kebutuhan yang harus segera
terpenuhi tetapi sulit sekali tercapai. Akibatnya mereka menjadi mudah
marah dan berperilaku agresi.
Frustrasi
yang berujung pada perilaku agresi sangat banyak contohnya, beberapa waktu yang
lalu di sebuah sekolah di Jerman terjadi penembakan guru-guru oleh seorang
siswa yang baru di skorsing akibat membuat surat ijin palsu. Hal ini menunjukan
anak tersebut merasa frustrasi dan penyaluran agresi dilakukan dengan cara menembaki
guru-gurunya.
Begitu
pula tawuran pelajar yang terjadi di Jakarta ada kemungkinan faktor frustrasi
ini memberi sumbangan yang cukup berarti pada terjadinya peristiwa tersebut.
Sebagai contoh banyaknya anak-anak sekolah yang bosan dengan waktu luang yang
sangat banyak dengan cara nongkrong-nongkrong di pinggir jalan dan ditambah
lagi saling ejek mengejek yang bermuara pada terjadinya perkelahian. Banyak
juga perkelahian disulut oleh karena frustrasi yang diakibatkan hampir setiap
saat dipalak (diminta uangnya) oleh anak sekolah lain padahal sebenarnya uang
yang di palak adalah untuk kebutuhan dirinya.
G.
Proses Pendisiplinan yang Keliru
Pendidikan
disiplin yang otoriter dengan penerapan yang keras terutama dilakukan dengan
memberikan hukuman fisik, dapat menimbulkan berbagai pengaruh yang buruk bagi
remaja (Sukadji, Keluarga dan Keberhasilan Pendidikan, 1988). Pendidikan
disiplin seperti itu akan membuat remaja menjadi seorang penakut, tidak
ramah dengan orang lain, dan membeci orang yang memberi hukuman,
kehilangan spontanitas serta inisiatif dan pada akhirnya melampiaskan
kemarahannya dalam bentuk agresi kepada orang lain. Hubungan dengan lingkungan
sosial berorientasi kepada kekuasaan dan ketakutan.Siapa yang lebih berkuasa
dapat berbuat sekehendak hatinya.Sedangkan yang tidak berkuasa menjadi tunduk.
Pola pendisiplinan tersebut dapat pula menimbulkan pemberontakan, terutama bila
larangan-larangan yang bersangsi hukuman tidak diimbangi dengan alternatif
(cara) lain yang dapat memenuhi kebutuhan yang mendasar (cth: dilarang untuk
keluar main, tetapi di dalam rumah tidak diperhatikan oleh kedua orang tuanya
karena kesibukan mereka).
PERSPEKTIF
TEORITIS YANG KELIRU
Strickland
(2001) mengemukakan bahwa perilaku agresi adalah setiap tindakan yang diniatkan
untuk melukai, menyebabkan penderitaan, dan merusak orang lain.
Myers (2002) menjelaskan bahwa agresi merupakan perilaku fisik maupun verbal yang diniatkan untuk melukai obyek yang menjadi sasaran agresi. Secara umum, agresi adalah tanggapan yang mampu memberikan stimulus merugikan atau merusak terhadap organisme lain.
Myers (2002) menjelaskan bahwa agresi merupakan perilaku fisik maupun verbal yang diniatkan untuk melukai obyek yang menjadi sasaran agresi. Secara umum, agresi adalah tanggapan yang mampu memberikan stimulus merugikan atau merusak terhadap organisme lain.
1. Teori
Insting
Teori
paling klasik tentang perilaku agresi ini mengemukakan bahwa manusia memilki
insting bawaan secara genetis untuk berperilaku agresi (Baron&Byrne,
1997). Robber Baron menyatakan bahwa agresi merupakan tingkah laku
individu yang ditujukan untuk melukai atau mencelakakan individu lain yang
tidak menginginkan datangnya tingkah laku tersebut.
Dengan
demikian ada 4 unsur dalam agresi :
- Mempunyai tujuan untuk
mencelakakan
- Ada individu yang menjadi
pelaku
- Ada individu yang menjadi
korban
- Ketidakinginan korban untuk
menerima tingkah laku korban
Tokoh
Psikoanalis, Sigmund Freud mengemukakan bahwa perilaku agresi merupakan
gambaran ekspresi yang sangat kuat dari insting untuk mati (thanatos). Dengan
melakukan agresi, maka secara mekanis individu telah berhasil mengeluarkan
energi destruktifnya dalam rangka menstabilkan keseimbangan mental antara
insting mencintai (eros) dan insting kemaitian (thanatos) yang ada dalam
dirinya. Energi destruktif individu dapat dikeluarkan dalam bentuk perilaku
yang tidak merusak, namun yang hanya bersifat sementara.Kemudian aliran
Neufreudian merevisi teori-teori tersebut.Dikemukakan oleh Wrighsman&Deaux
(1981) menyatakan bahwa agresi adalah bagian dari ego yang berorientasi pada
kenyataan sehingga dorongan agresi adalah suatu yang sehat karena bertujuan
untuk menyesuaikan dengan lingkungan yang nyata dari menusia.Sementara menurut
Mc. Dougall, di dalam diri manusia terdapat insting untuk menyerang dan berkelahi.
Hal ini bias disebabkan oleh rasa marah karena terancam atau kebutuhan yang
tidak terpenuhi. Konlard Lorens menyatakan bahwa agresi sebagai pemenuhan
insting yang bersifat alamiah yang lebih mengarah pada perilaku penyesuaian
diri (adaptif) dan bukan karena stimulus atau provokasi dari luar.
2. Teori
Frustasi Agresi
Dikemukakan
oleh John Dollard dan Neal Miller (1930-an).Teori ini berpendapat bahwa agresi
merupakan hasil dari dorongan untuk mengakhiri keadaan frustrasi seseorang
sebagai reaksi terhadap peristiwa yang tidak menyenangkan.Dalam hal ini
frustrasi adalah kendala-kendala eksternal yang menghalangi perilaku
seseorang.Dapat atau tidaknya frustrasi menimbulkan reaksi agresi bergantung
pada pengaruh variabel perantara.Misalnya ketakutan terhadap hukuman karena
melakukan tindakan agresi secara nyata, atau tanda-tanda yang berhubungan
dengan perilaku agresi sebagai faktor-faktor yang memfasilitasi perilaku
agresi.
3. Teori
Belajar Sosial
Teori
ini menjelaskan bahwa perilaku agresi sebagai perilaku yang dipelajari. Albert
Bandura menyatakan bahwa perilaku agresi merupakan hasil dari proses belajar
sosial (Strickland,2001). Belajar sosial adalah belajar melalui mekanisme
belajar pengamatan dalam dunia sosial.
Dalam
memahami perilaku agresi, aliran ini mengemukakan tiga informasi yang perlu
diketahui :
- Cara perilaku agresi diperoleh
- Ganjaran dan hukuman yang
berhubungan dengan suatu perilaku agresi
- Faktor-faktor sosial dan
lingkungan yang memudahkan timbulnya perilaku agresi.
Dari
ketiga informasi tersebut, teori belajar sosial ingin menjelaskan bahwa akar
perilaku agresi tidak sederhana berasal dari satu atau beberapa faktor tapi
hasil dari interaksi banyak faktor, seperti pengalaman masa lalu individu
berkenaan dengan perilaku agresi, jenis-jenis perilaku agresi yang mendapat dan
hukuman, serta variabel lingkungan dan kognitif sosial yang dapat menjadi
penghambat atau fasilitator bagi timbulnya perilaku agresi.
4. Teori
Penilaian Kognitif (Cognitive Appraisal)
Toeri
ini menjelaskan bahwa reaksi individu terhadap stimulus agresi sangat
bergantung pada cara stimulus itu diinterpretasikan oleh individu. Zillman,
sebagai pelopor model transfer eksitasi menyatakan bahwa agresi dapat dipicu
oleh rangsangan fisiologis (physicological arousal) yang berasal dari
sumber-sember yang netral atau sumber-sumber yang sama sekali tidak berhubungan
dengan atribusi rangsangan agresi itu (Krahe,1997).
PENCEGAHAN
DAN PENGENDALIAN AGRESI
A. Hukuman
Hukuman
(punishment) yaitu pemberian konsekuensi yang menyakitkan untuk mengurangi
perilaku tertentu.Dalam hal ini yaitu sebagai suatu teknik untuk mengurangi
agresi.
Pertama-tama,
kita harus perhatikan bahwa, dilihat secara keseluruhan, bukti-bukti yang ada
menunjukkan bahwa hukuman dapat berhasil dalam mencegah individu untuk terlibat
di banyak bentuk perilaku.Namun, dampak seperti ini tidak pasti dan tidak
otomatis.Bila hukuman yang diberikan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip dasar,
maka hukuman dapat menjadi tidak efektif untuk tujuan ini. Kondisi-kondisi apa
yang harus dipenuhi sehingga hukuman dapat berhasil ? Empat hal yang penting
adalah: (1) Harus segera-harus mengikuti tindakan agresif secepat mungkin. (2)
Harus pasti-probabilitas bahwa hukuman akan menyertai agresi haruslah sangat
tinggi. (3) Harus kuat- cukup kuat untuk dirasa sangat tidak menyenangkan bagi
penerimanya. Dan (4) harus dipersepsikan oleh penerimanya sebagai justifikasi atau
layak diterima.
B. Katarsis
Hipotesis
katarsis (chatarsis hypothesis) adalah pandangan bahwa jika individu
mengekspresikan kemarahan dan hostilitymereka dalam cara yang
relatif tidak berbahaya, tendensi mereka untuk terlibat dalam tipe agresi yang
lebih berbahaya akan berkurang (Dollard dkk., 1939). dalam berbagai aktivitas
yang tidak berbahaya untuk orang lain (misalnya, aktivitas olahraga keras,
berteriak-teriak dalam ruangan kosong) dapat mengurangi keterangsangan
emosional yang berasal dari frustasi atau provokasi (Zilmann, 1979). Sayangnya
ternyata, efek seperti ini hanya sementara.Keterangsangan emosi yang berasal
dari provokasi dapat segera muncul kembali ketika individu mengingat kejadian
yang membuat mereka marah (Caprara dkk, 1994). Dengan kata lain, faktor-faktor
kognitif seringkali membuat dampak katarsis, jika ada hanya berumur pendek.
Agresi terbuka tampaknya tidak berkurang dengan (1) melihat adegan kekerasan di
media (Geen, 1998), (2) menyerang objek mati (Bushman, Baumeister, & Stack,
1999; Mallick & McCandless, 1966), atau (3) melakukan agresi verbal
terhadap orang lain, bahkan beberapa temuan menyatakan bahwa agresi dapat
ditingkatkan oleh aktivitas ini.
C. Intervensi
kognitif : Permintaan Maaf dan Mengatasi Defisit Kognitif
pengakuan
kesalahan-kesalahan yang meliputi permintaan ampun/maaf sesungguhnya seringkali
sangat bermanfaat untuk mengurangi agresi (Kameda, Ohbuchi & Agarie, 1989).
Sama halnya, alasan-alasan yang baik (good excuses) yang merujuk pada
faktor-faktor di luar kontrol pemberi alasan - juga dapat efektif
mengurangi marah dan agresi terbuka dari orang-orang yang telah diprovokasi
dalam kadar tertentu (Baron, 1989b; Weiner dkk., 1987). Jadi jika Anda merasa
bahwa Anda membuat orang lain marah, segeralah minta maaf. Masalah yang dapat
Anda hindari membuat ucapan “saya menyesal” menjadi berharga.
D. Pemaparan
terhadap model nonagresif: Pertahanan yang menular
Jika
pemaparan terhadap tindakan agresif yang dilakukan orang lain di media atau
secara langsung dapat meningkatkan agresi, tampaklah memungkinkan bahwa
pemaparan terhadap perilaku nonagresif menghasilkan dampak yang
sebaliknya. Bahkan, hasil dari beberapa penelitian, menunujukkan bahwa hal ini
memang benar (misalnya, Baron, 1972b; Donnerstein & Donnerstein, 1976).
E. Pelatihan
dalam keterampilan sosial: Belajar untuk memiliki hubungan baik dengan orang
lain
Salah
satu alasan mengapa banyak orang yang terlibat dalam tanggapan agresif adalah
karena mereka tidak memiliki keterampilan sosial dasar. Mereka tidak mengetahui
bagaimana merespons provokasi dari orang lain dalam cara yang akan menenangkan
orang lain ini alih-alih mengganggu mereka. Mereka tidak tahu bagaimana caranya
untuk membuat permintaan atau bagaimana caranya untuk menolak permintaan orang
lain tanpa membuat orang lain tersebut marah. Oarang-orang yang tidak memiliki
keterampilan sosial dasar tampak terlibat dalam kekerasan dengan proporsi yang
cukup tinggi di banyak masyarakat (Toch, 1985), jadi membekali orang-orang ini
dengan keterampilan sosial yang lebih baik dapat sangat bermanfaat untuk
mengurangi agresi.
F. Respons
yang tidak tepat. Sulit Untuk Tetap Marah Jika Anda Tersenyum
Bayangkan
Anda berada dalam situasi dimana Anda merasa diri Anda marah dan kemudian
seseorang menceritakan sebuah lelucon yang membuat Anda tertawa. Apakah Anda
akan tetap marah ?Mungkin tidak. Kemungkinannya besar bahwa ketika Anda
tertawa, Anda akan merasa kemarahan Anda berkurang. Mengapa ?Karena tertawa dan
afek positif yang dibawanya tidak sesuai dengan perasaan marah dan tindakan
agresi. Hal ini merupakan dasar dari pendekatan lain untuk mengurangi agresi,
yang dikenal sebagai teknik respons yang tidak tepat (incompatible
response techniques) (misalnya. Baron, 1993b). Teknik menyatakan bahwa
agresi akan berkurang jika individu dipaparkan pada kejadian atau stimulus yang
menyebabkan mereka mengalami keadaan afeksi yang tidak tepat dengan kemarahan
atau agresi.
CONTOH
PERILAKU AGRESI
Kondisi
ruangan kelas yang memiliki kapasitas kecil biasanya hanya terdiri dari satu
kelas dengan jumlah mahasiswa rata-rata 40 orang.Hal ini terjadi supaya
kegiatan belajar dan mengajar di dalam ruangan tersebut menjadi lebih efektif.Namun
kadang-kadang dalam situasi tertentu ruang kelas yang biasa digunakan untuk
satu kelas bertambah jumlahnya menjadi dua kelas sehingga kondisi tersebut
mempengaruhi perilaku baik dosen maupun mahasiswa. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Stokol dalam teori kendala Perilaku ( Behavioral Constrain
Theory ) yaitu kenyataan atau perasaan serta kesan yang terbatas dari
manusia oleh lingkungannya, seperti misalnya ruangan dengan kapasitas kecil
dengan jumlah mahasiswa yang banyak merasa terganggu dengan adanya suara-suara
yang berasal dari internal maupun eksternal kelas, sehingga membuat mahasiswa
dan dosen sulit untuk berkonsentrasi pada kegiatan tersebut Jumlah mahasiswa
yang tidak sesuai dengan kapasitas ruangan tersebut juga dapat menimbulkan
kepadatan.
Kepadatan
yang terjadi dalam ruang kelas tersebut memiliki dampak yang cukup
berpengaruh.Jika kepadatan menurun, kondisi fisik maupun perilaku pada manusia
dapat dikatakan normal.Sedangkan jika kepadatan meningkat, menimbulkan
penurunan kondisi fisik, misalnya lelah, serta terjadinya penyimpangan
perilaku, misalnya mahasiswa yang menganggu mahasiswa lainnya yang sedang
memperhatikan dosen.
Akibat
dari kepadatan yang terjadi didalam ruang tersebut yaitu dari segi sosial,
timbulnya kenakalan pada mahasiswa. Sedangkan dari segi psikologis mahasiswa
maupun dosen menjadi stress, berubahnya suasana hati, menurunnya kepedulian
pada orang sekitar,menurunnya kemampuan individu untuk mengerjakan tugas-tugas,
serta meningkatnya emosi yang dapat mengakibatkan tindak agresi.
Seperti
yang telah dikemukakan oleh Heimstra dan Mc. Farling, yaitu :
- Akibat fisik, peningkatan
denyut jantung, tekanan darah, dan lain-lain.
- Akibat sosial, meningkatnya
kriminalitas dan kenakalan remaja.
- Akibat psikis,
- timbulnya stress &
perubahan suasana hati,
- menurunnya perilaku menolong,
- kurang mau berinteraksi dengan
lingkungan sosial,
- menurunkan kemampuan individu
dalam mengerjakan tugas-tugasnya,
- menumbuhkan frustasi,
kemarahan dan dapat menyebabkan tindak agresi.
Kesesakan
yang terjadi dalam ruang kelas tersebut menimbulkan persepsi individu terhadap
keterbatasan ruang dan lebih bersifat psikis.Rasa sesak datang karena jumlah
mahasiswa yang terlalu banyak. Sesuai dengan salah satu jenis kesesakan yang
dikemukakan oleh Stokols yaitu Kesesakan Sosial ( Social Crowding ), perasaan
sesak yang mula-mula dating dari kehadiran orang lain yang terlalu banyak.
Mahasiswa maupun dosen dalam ruang tersebut
banyak menerima stimulus yang mempengaruhi proses kognitifnya. Misalnya pada
saat temperatur meningkat atau panas, mahasiswa maupun dosen berusaha membuat
temperatur dalam ruangan menurun atau lebih sejuk namun ia tidak dapat
melakukannya. Hal ini sesuai dengan teori Beban stimulus yaitu kesesakan
terjadi bila stimulus yang diterima individu terlalu banyak ( melebihi
kapasitas kognitif ) sehingga timbul kegagalan dalam memproses stimulus atau
info dari lingkungannya. Seperti yang dikemukakan oleh Cohen yaitu manusia
memiliki kapasitas yang terbatas dalam memproses informasi. Ketika individu
melebihi kapasitas, orang cenderung mengabaikan beberapa masukan dan
mencurahkan pada hal-hal yang lain.