KEPRIBADIAN MUSLIM
Muslim
berarti orang islam. Kata “islam”
seakar dengan kata al-salam & al-silm yang
berarti menyerahkan diri, kepasrahan, ketundukan dan kepatuhan; kata “al-silm” dan “al-salm” al-salm” yang
berarti damai dan aman; dan kata “al-salm”
yang berarti bersih dan selamat dari
cacat, baik lahir maupun batin. Orang yang berislam adalah orang menyerah,
tunduk, patuh, dalam melakukan perilaku yang baik, agar hidupnya bersih lahir
dan batin yang pada gilirannya akan mendapatkan keselamatan dan kedamaian hidup
di dunia dan akhirat.
Kepribadian
muslim disini meliputi lima rukun islam, yaitu:
1. Membaca
dua kalimat syahadat, yang melahirkan kepribadian syahadatain;
2. Menunaikan
shalat, yang melahirkan kepribadian mushalli;
3. Mengerjakan
puasa, yang melahirkan kepribadian sha’im;
4. Memabayar
zakat, yang melahirkan kepribadian muzakki;
5. Melaksanaka
n haji, yang melahirkan kepribadian hajji.
A.
Kepribadian
Syahadatain
1. Pengertian
Kepribadian Syahadatain
Syahadatain
berasal dari kata “syahida” yang berarti
bersaksi, menghadiri, melihat, mengetahui, dan bersumpah. Kalimat syahadat terdiri dari dua kesaksian. Kesaksian pertama
berkaitan dengan keyakinan bahwa tiada Tuhan selain Allah SWT, sedangkan
kesaksian kedua berkaitan dengan kepercayaan bahwa Muhammad adalah utusan
Allah. Kedua kesaksian ini tidak boleh diabaikan salah satunya, sebab jika
diabaikan maka menjadikan ketidakbermanaan salah satunya. Bacaan tiada tuhan
selain Allah memiliki arti tiada tuhan (ilah)
yang ada (mawjud) kecuali Allah.
Syahadah pertama merupakan aktualisasi dari tauhid uluhiyyah (ketuhanan). Sedangkan syahadah rasul memiliki arti bahwa
Muhammad Saw. Merupakan Rasul Allah terakhir atau penutup (khatim), yang ajarannya telah disempurnakan (QS Al-Maidah [5]:3).
Apabila terdapat seseorang yang menyebarkan agama Allah Swt. maka kedudukannya
buakn sebagai rasul melainkan sebagai ulama (ilmuwan) yang menjadi pewaris para
rasul.
Kepribadian syahadatain
adalah kepribadian individu yang didapat setelah mengucapkan dua kalimat
syahadat, memahami hakikat dari ucapannya serta menyadari akan segala
konsekuensi persaksiannya tersebut. Kepribadian syahadatain meliputi domain kognitif dengan pengucapan dua kalimat
secara verbal; domain afektif dengan kesadaran hati yang tulus; dan domain
psikomotorik dengan melakukan segala perbuatan sebagai konsekuensi dari
persaksiannya itu.
2. Kerangka
Dasar Kepribadian Syahadatain
Barang siapa yang mati
yang mati dalam usia belum baligh maka matinya dianggap muslim, sebab ia telah
mengikrarkannya di alam perjanjian, meskipun ia berasal dari keturunan
Non-Muslim.Namun, jika telah mencapai usia akil baligh, sementara ia belum
mengikrarkan ketauhidannya kembali di alam perjanjian terakhir maka perjanjian
pertamanya tidak dianggap. Apabila ia mati maka dalam keadaan kafir.
Mengucapkan dua kalimat
syahadat merupakan persyaratan formal untuk memasuki agama islam. Ketika dua
kalimat ini terucapkan maka iamemiliki hak sebagaimana layaknya seorang muslim.
Seluruh miliknya, baik harta benda maupun darahnya, haram diambil atau
ditumpahkan.
3. Bentuk-bentuk
Kepribadian syahadatain
Kesaksian akan
Ketuhanan Allah Swt. akan berimplikasi pada pembentukan kepribadian syahadatain
sebagai berikut:
1. Kepribadian
yang bebas, merdeka dan tidak terbelenggu oleh tuhan-tuhan yang nisbi dan
temporer, untuk menuju pada lindungan dan naungan Tuhan yang Mutlak lagi sempurna.kata tiada tuhan mengandung arti menetapkan (itsbat) pada Tuhan yang Mutlak dan
Sempurna. Penuhanan sesuatu selain Allah sama artinya dengan pembelengguan diri
dan membatasi kebebasan manusia sebagai
makhluk yang mulia.
2. Kepribadian
yang berpengetahuan secara pasti, karena kepercayaan terhadap Tuhan merupakan
sesuatu yang paling hakiki dalam
kehidupan manusia. Jika kepercayaan itu hanya dengan dugaan (zhaan) bukan berdasarkan pengetahuan yang
akurat maka dapat menejerumuskannya ke dalam lembah kehancuran.
3. Kepribadian
yang yakin dan menghilangkan segala bentuk keragu-raguan. Hidup yang penuh
keragu-raguan (syakk) tidak akan maju
dan sering gagal ditengah jalan, sebab ia tidak memiliki motivasi untuk
menggapai harapan dan tujuannya. Dengan keyakinan akan ketuhanan Allah Swt.
maka kehidupan ini dapat ditempuh dengan optimis, bergairah dan berusaha
menempuh sunah-Nya.
4. Kepribadian
ya ng menerima (qabul) segala
konsekuensi akibat dari persaksian dan ucapannya. Perbedaan antara ucapan dan
perilaku menunjukkan adanya kemunafikan (hypocrisy)
dalam diri individu, sebaliknya konsistensi antara ucapan dan perilaku
menunjukkan integritas diri yang baik.
5. Kepribadian
yang tunduk dan patuh (inqiyad) terhadap
penciptanya.Individu yang tunduk dan patuh pada Tuhan tidak berarti memiliki
kepribadian yang rendah, tetapi justru memiliki kematangan jiwa atau kedewasaan
diri, sebab ia dapat menempatkan dirinya pada posisi yang sebenarnya. Hal ini
tentunya berbeda dengan apa yang dinyatakan oleh Erich Fromm bahwa ketundukan
dalam beragama menunjukkan tanda kekanak-kanakan, justru kebebasan yang tak
terkendali merupaka perwujudan dari kepribadian yang tak tahu diri.
6. Kepribadian
yang jujur (shidq), sebab kesaksian
menuntut pada ucapan dan tindakan sesuai apa adanya. Kebohongan dalam kesaksian
akan menjerumuskan diri individu pada kehancuran dan keresahan, sebab hidupnya
dikejar-kejar rasa berdosa atau rasa bersalah.
7. Kepribadian
yang tulus (khlash), dimana ia
berperilaku bukan semata-mata karena pengawasan orang lain atau sekedar mencari
perhatian. Ia bekerja dengan sungguh-sungguh semata-mata karena perintah dan
melaksanakan kewajiban.
8. Kepribadian
yang penuh cinta (mahabbah), dimana
cinta kepada Tuhannya berarti cinta kepada diri sendiri, juga cinta pada orang
yang cinta kepada-Nya. Ada satu pepatah mengatakan man ahabba syai’an fahuwa ‘abduhu (barangsiapa yang cinta pada
sesuatu maka ia menjadi hambanya).
Sedangkan kesaksian akan kerasulan
Muhammad Saw,akan berimplikasi pada pembentukan kepribadian Syahadatain sebagai berikut:
1. Kepribadian
yang seimbang dalam menilai dan mengikuti perilaku seseorang, meskipun
seseorang yang diikuti itu memiliki keistimewaan khusus. Kepribadian itu
disebabkan karena kesaksian akan kerasulan Muhammad tidak boleh
dilebih-lebihkan (ifrath) atau
diremehkan (tafrith). Melebih-lebihkan diri Muhammad diluar semestinya akan
menjadikan keganjilan, seperti kepercayaan terhadap diri Muhammad yang
merupakan jelmaan diri Tuhan dan Muhamma adalah pencipta agama sehingga agama
bawaannya disebut Muhammadanisme. Sedangkan meremehkan diri muhammad akan
menghilangkan sebagian dari Agama Tuhan,sebab diri Muhammad dalam segala hal
merupakan panutan (qudwah) yang patut
diri kepribadiannya.
2. Kepribadian
yang mengikuti atau meniru pribadi yang agung (QS Al-Qalam [68]:4), membenarkan
perkataan yang dapat menyelamatkan,mencintai pribadi yang suci melebihi cinta
pada diri,keluarga,harta, dan manusia lian, dan mendahulukan perkataan atau
pendapat pribadi yang terjaga (ma’shum)
melebihi yang lain.
B.
Kepribadian
Mushalli
1. Pengertian
Kepribadian Mushalli
Mushalli
adalah orang
yang shalat. Shalat secara etimologi berarti memohon (do’a) dengan baik, yaitu permohonan keselamatan, kesejahteraan dan
kedamaian hidup di dunia dan akhirat kepada Allah Swt. Permohonan dalam shalat
tidak sama dengan permohonan di luar, sebab didalam shalat telah diatur dengan tata cara yang baku, yang tidak boleh
dikurangi ataupun ditambah. Menurut istilah, shalat adalah satu perbuatan yang
diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam beserta mengerjakan
syarat-syarat dan rukun-rukunnya.
Kepribadian mushalli adalah kepribadian individu yang didapat
setelah melaksanakan shalat dengan baik, konsisten, tertib dan khusyu’,
sehingga ia mendapatkan hikmah dari apa yang dikerjakan. Pengertian ini
didasarkan atas asumsi bahwa orang yang
tekun shalat memiliki kepribadian lebih saleh ketimbang orang yang tidak
mengerjakannya, sebab ia mendapatkan hikmah dari perbuatannya. Terlebih lagi
dinyatakan dalam hadis bahwa shalat merupakan cermin tingkah laku
individu.karenanya, shalat merupakan amalan yang pertama kali dihisab atau
dihitung diakhirat kelak.
2. Kerangka
Dasar Kepribadian Mushalli
Keimanan individu pada
sesuatu yang gaib atau kepada Tuhan membawa konsekuensi penghambaan,
penyerahan, dan ketundukan yang ketiganya
dirangkai dalam satu kegiatan yang disebut dengan ibadah (ritual prayer). Ibadah merupakan bentuk
aktualisasi diri yang fitri dan hakiki, sebab penciptaan manusia di desain
untuk beribadah kepada Tuhannya (QS A-l-Dzariyat [51]:56). Ibadah dalam islam
banyak jenis dan bentuknya, tetapi ibadah yang mempresentasikan seluruh
kepribadian manusia adalah shalat, karena ia yang membedakan hamba yang Muslim dan yang kafir.
Shalat dinilai sebagai mi'raj
al-salikin, yaitu pendakian diri dari orang-orang yang menempuh jalan
spiritual, sehingga dalam shalat terjadi komunikasi aktif antara hamba dan
Tuhannya. Hamba yang saleh adalah hamba yang selalu rindu bertemu Tuhannya dan
shalat merupakan media pertemuan antara kedua belah pihak. Dalam pertemuan itu
seorang hamba bercengkerama, mengadukan segala problem kehidupan yang dihadapi,
dan memohon kebaikan, keselamatan, kedamaian dan kesejahteraan hidup di dunia
dan akhirat kepada Tuhannya. Tentunya intensitas pertemuan menjadi tolok ukur
kedekatan hamba pada Tuhannya, yang dalam Islam minimal lima kali dalam sehari
semalam.
3. Dimensi-dimensi
Kepribadian Mushalli
Penentuan
dimensi-dimensi kepribadian mushalli dapat dilihat dari beberapa sudut
pandang. Jika dilihat dari domain yang terdapat pada rukun-rukun shalat, maka
kepribadian mushalli memiliki tiga dimensi,yaitu: Pertama, dimensi
afektif (infi'ali), satu kepribadian mushalli yang dibentuk dari
pengalaman afektif (affective experience) shalat, sehingga menimbulkan
perasaan-perasaan dan daya emosi yang khas dan kuat. Kepribadian ini didapat
dari rukun qalbiyyah shalat seperti niat dan kekhusyuan; kedua, dimensi
kognitif (ma'rifi), satu kepribadian mushalli yang dibentuk dari
pengalaman kognitif (cognitive experience) shalat, sehingga menimbulkan
efek pengenalan, pikiran dan daya cipta yang luar biasa. Kepribadian ini
didapat dari rukun qawliyyah shalat, seperti mengucapkan takbir, surat
Al-Fatihah, tasyahud dan shalawat Nabi pada tasyahud akhir, dan salam pertama; ketiga,
dimensi psikomotorik (nafsi haraki), satu kepribadian mushalli yang
dibentuk dari pengalaman psikomotorik (psychomotor experience) shalat,
sehingga menimbulkan kemauan, gerak dan daya karsa yang mantap. Kepribadian ini
didapat dari rukun fi'liyyah shalat, seperti berdirit ruku',
sujud, dan duduk dalam shalat.
Dilihat dari sudut
motivasi shalat maka kepribadian mushalli memiliki dua dimensi, yaitu: pertama,
dimensi intrinsik (jawharl), satu kepribadian mushalli yang
dibentuk atau didorong dari kewajiban shalat sendiri tanpa dikaitkan dengan
kebutuhannya. Inisiatif pelaksanaan shalat didasarkan atas, kewajiban
melaksanakan ajaran agama, baik kewajiban itu relevan atau tidak terhadap
kebutuhannya. Kepribadian ini didapat dari pelaksanaan shalat wajib lima waktu,
yaitu Zhuhur, Ashar, Maghrib, 'Isya' dan Shubuh, termasuk shalat sunat rawatib
(shalat yang dilakukan sebelum atau sesudah shalat wajib). Kedua, dimensi
ekstrinsik ('aradi), satu kepribadian mushalli yang dibentuk atau
didorong oleh kebutuhan orang yang shalat. Seseorang yang memiliki kebutuhan
sesuatu maka kebutuhan itu merangsangnya untuk melaksanakan shalat. Kepribadian
ini didapat dari pelaksanaan shalat sunnat, Misalnya:
1.
Shalat Hajat, didorong
oleh keinginan tercapai hajat atau kebutuhannya.
2.
Shalat Tahajjud,
didorong oleh keinginan memperoleh kedudukan yang tinggi, baik di dunia maupuri
akhirat. Jika ia berdo’a maka dikabulkan, jika ia meminta maka diberi, dan jika
ia minta ampun maka diampuni (HR al-Bukhari dari Abu Hurairah).
3.
Shalat Istikharah,
didorong oleh keinginan memilih salah satu yang terbaik atau menentukan
kepastian sesuatu, seperti memilih jodoh,
tempat kerja, sekolah atau kuhah, dan sebagainya.
4.
Shalat Taubah, didorong
oleh keinginan pengampunan dari Allah atas segala dosa yang diperbuat.
5.
Shalat Dhuha, didorong
oleh keinginan memperoleh rezeki yang banyak, sebab shalat Dhuha dikerjakan
pada saat jam kerja yang efektif. Sembari bekerja, individu senantiasa memohon
kepada Allah Swt melalui shalat, agar diberi rezeki yang banyak, halal dan
berkah.
6.
Shalat Istisqa',
didorong oleh keinginan mendapatkan hujan dari kemarau panjang.
7.
Shalat Tarawih,
didorong oleh keinginan untuk rileks dengan mengendorkan syaraf dan otot yang
ada pada tubuh serta mendapatkan ampunan, sehingga diri seperti baru
dilahirkan.
8.
Shalat 'Idain, didorong
oleh keinginan merayakan dua hari raya yang menyenangkan (Idul Fitri dan Idul
Adha).
Menurut Allport,
kepribadian yang matang adalah kepribadian yang memiliki perluasan diri.
Artinya, hidup ini tidak hanya terikat secara sempit pada sekumpulan
aktivitas-aktivitas yang erat hubungannya dengan kebutuhan-kebutuhan dan
kewajiban-kewajiban pokok. Shalat wajib lima waktu merupakan kewajiban dan
kebutuhan pokok, sementara shalat sunat merupakan perluasan atau
penyempurnaannya.
Dilihat dari
sudut pelaksanaan shalat maka kepribadian mushalli memiliki empat
dimensi, yaitu: pertama, shalat harian (yawmiyyah), seperti
shalat wajib lima waktu; satu kepribadian mushalli yang cara kerjanya
bersifat harian dan rutinitas dalam meraih program kerja jangka pendek.
Kepribadian semacam ini diperlukan untuk memenuhi hajat hidup sehari-hari, baik
untuk memenuhi diri sendiri dengan shalat sendirian (munfarid) maupun
untuk memenuhi kebutuhan keluarga kecil atau besar dengan shalat berjamaah; Kedua,
shalat mingguan (usbu'iyyah), seperti shalat Jum'at; satu
kepribadian mushalli yang cara kerjanya mingguan dalam meraih program
kerja jangka menengah. Kepribadian semacam ini memerlukan konsolidasi
antaranggota masyarakat di suatu perkampungan yang setidak-tidaknya berjumlah
40 orang.; ketiga, shalat tahunan ('amiyyah), seperti shalat dua
hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha); satu kepribadian mushalli yang
cara kerjanya bersifat tahunan dalam meraih program jangka panjang. Kepribadian
semacam ini memerlukan penggalangan massa sebariyak-banyaknya, tanpa membedakan
jenis kelamin dan perbedaan usia, sehingga tempatnya disarankan di lapangan
atau alun-alun. Berbeda dengan khutbah shalat Jum'at, khutbah shalat hari raya
dilakukan setelah shalat. Hal itu mengandung isyarat agar massa lebih banyak
berdiskusi dalam menyusun program jangka panjang; keempat, shalat seumur
hidup sekali, seperti shalat sunat Tasbih yang setidak-tidaknya seumur hidup
sekali; satu kepribadian mushalli yang sese-kali dalam seumur hidup memiliki
prestasi khusus dalam hidup ini.
4. Pola dan Bentuk-bentuk Kepribadian Mushalli
Pola kepribadian
mushalli dapat dilihat dari beberapa sudut pandang: pertama, berdasarkan
isyarat dari ayat-ayat Alquran atau hadis yang berkaitan dengan shalat; kedua,
berdasarkan isyarat pada bagian-bagian shalat seperti pada syarat-syarat,
rukun-rukun, dan sunnah-sunnahnya, baik di dalam maupun di luarnya. Berdasarkan
isyarat ayat-ayat Alquran atau hadis yang berkaitan dengan shalat, indikator
kepribadian mushalli adalah sebagai berikut:
Pertama, kalimat
mendirikan shalat (iqdm al-shalah) diikuti kalimat membayar zakat (ita'
al-zakah) terulang 26 kali dan diikuti kalimat menafkahkan rezeki (yunfiq
al-rizq) terulang delapan kali dan diikuti kalimat berkorban (nahr) terulang
sekali dalam ayat Alquran. Hal itu mengandung arti bahwa kepribadian mushalli
adalah kepribadian yang seimbang antara perilaku vertikal (habl min Allah)
dan perilaku horizontal (habl min al-nas). Individu yang aktif melaksanakan
shalat seharusnya diikuti dengan prestasi sosial,seperti zakat. Artinya,
semakin baik kualitas shalat individu maka semakin baik pula interaksi
sosialnya. Zakat, infaq dan berkorban dalam konteks ini tidak sekadar
menyalurkan harta benda, tetapi 
lebih dari itu, juga berarti pengentasan
problem sosial, seperti melerai konflik antarras, etnik, bahkan agama; membuka
lapangan kerja; memberantas kebodohan; dan berkorban demi kemaslahatan umat.
Berdasarkan konsep ini, perilaku kepribadian mushalli akan berimplikasi
pada pembentukan masyarakat yang rahmatli al-'alamin.


Kedua, perintah
kewajiban shalat menggunakan kata iqamah (menunaikan) bukan 'add (melaksanakan).
Hal itu mengandung arti bahwa kepribadian mushalli tidak hanya dibentuk
secara jadi-jadian atau asal-asalan, melainkan melalui proses yang kontinu (istiqdmah),
sehingga dapat berdiri kokoh dan tegak lurus dalam menjalankan amal saleh.
Kewajiban shalat tidak dapat dibatalkan oleh keadaan atau kepentingan sesaat,
seperti sakit atau darurat perang.Dalam kondisi sakit misalnya harus tetap
shalat meskipun diperbolehkan shalat sambil duduk atau tidur berbaring; dalam
kondisi bepergian diperbolehkan shalat jama' (waktu dua shalat digabung menjadi
satu) dan qashar (meringkas shalat); dalam kondisi perang diperbolehkan shalat khawf,
yang tata caranya agak berbeda dengan shalat biasa, dan seterusnya.
Ketiga, kepribadian
mushalli dapat menjadi acuan pokok dalam rekrutmen pegawai. Institusi
selain melakukan tes-tes kepribadian untuk penempatan atau mengetahui
kemampuan dasar calon pegawai, juga diperlukan penyelidikan apakah yang
bersangkutan aktif menjalankan shalat atau tidak. Penyelidikan ini menjadi
penting, karena shalat merupakan kewajiban pokok yang bersifat individual. Jika
terhadap kewajiban pokok saja tidak aktif menjalankan, bagaimana mungkin calon
pegawai aktif dalam menjalankan kewajiban yang lain. Selain itu, melalui shalat
dapat dilihat juga tingkat dedikasi dan keikhlasan calon pegawai dalam bekerja.
Keempat, shalat
selayaknya dilakukan di masjid, sebab masjid merupakan markas atau pusat
kegiatan peribadatan. Hal itu mengandung isyarat bahwa kepribadian mushalli merupakan
kepribadian yang memiliki markas atau institusi yang kokoh dalam melakukan
aktivitasnya. Markas yang dimaksud berdiri di atas ketakwaan, sehingga tiada
perilaku yang dilakukan kecuali yang bernuansa ibadah. Ibadah shalat, proses
belajar-mengajar, musyawarah antar-umat, dan pemecahan problem sosial-keagamaan
semuanya dapat diselesaikan di masjid. Karena masjid sebagai rumah Allah Swt.
maka tiada keputusan yang diambil kecuali yang mengandung nilai peningkatan
keimanan dan jaminan kemaslahatan umat.
Kelima, sebelum
shalat dilakukan terlebih dahulu membersihkan diri dari segala zat yang
berbahaya, seperti minuman keras, napza dan zat adiktif lainnya. Hal itu
mengandung arti bahwa kepribadian mushalli adalah kepribadian yang dalam
kehidupan sehari-harinya hanya tergantung kepada Allah Swt. dan tidak
tergantung pada yang lain, apalagi tergantung pada minuman keras atau zat
adiktif. Ketergantungan terhadap minuman keras menunjukkan tingkat keimanan
yang lemah, sebab individu yang seharusnya merdeka, bebas dan mampu
mengendalikan diri sendiri justru menjadi budak zat atau benda mati. Penggunaan
zat-zat adiktif, baik di dalam maupun di luar shalat, dapat merusak sistem
jaringan syaraf seseorang. Ketika seseorang menggunakan apalagi ketagihan
terhadap zat-zat tersebut maka: (1) fungsi kalbunya melemah sehingga ia tidak
memiliki rasa belas kasihan, rasa hormat, rasa malu, dan sebagian; (2) fungsi
akalnya menurun sehingga ia tidak mampu bertafakkur dan bertazakkur; (3)
fungsi nafsunya menguat sehingga daya fantasi seksualnya tinggi dan mendorong
seseorang untuk berbuat zina serta dapat mengem-bangkan daya-daya agresif,
seperti egoisme, ingin menguasai dan campur tangan terhadap urusan orang lain.
Keenam, shalat
merupakan wahana berzikir dan berpikir, bahkan zikir terbaik ada di dalam
shalat. Zikir dan pikir dalam shalat merupakan metode meditasi terbaik. Selain
memiliki nilai spiritual-ilahiah, meditasi dalam shalat juga memiliki
pengaturan atau kontrol yang harmonis terhadap seluruh dimensi ragawi manusia,
mulai dari syaraf, otot-otot, peredaran darah, pernapasan, pencernaan,
kelenjar, reproduksi dan sebagainya. Atas dasar itulah maka shalat tidak dapat
digantikan dengan model zikir-zikir yang lain. Boleh jadi zikir di luar shalat
memiliki efektivitas dan efisiensi yang baik, tetapi hal itu tidak dapat
membatalkan atau mengurangi kewajiban shalat sendiri.
Pola berdasarkan
syarat-syarat shalat, citra kepribadian mushalli dapat digambarkan
sebagai berikut.
Pertama, suci
dari hadas, tempat dan pakaian; satu kepribadian mushalli yang bersih
dan suci, baik dalam berpakaian, tempat tinggal maupun keadaan diri. Salah satu
syarat shalat adalah menyucikan diri dari hadas besar dengan mandi dan hadas
kecil derigari wudhu serta kesucian pakaian dan tempat shalat. Bersih berarti
terhindar-nya dari kotoran, sedang suci terhindar dari najis. Kebersihan dan
kesucian tidak hanya pada aspek fisik (jasmani), tetapi juga pada aspek psikis
(ruhani). Kebersihan dan kesucian-fisik mencegah individu berpenyakit fisik
(flu, penyakit kulit, sakit gigi, dan seterus-nya), sedang kebersihan dan
kesucian psikis menghindarkannya dari penyakit ruhani (marah, benci, iri hati,
dendam, penakut, dan seterusnya).
Dalam perspektif kesehatan, wudhu
memiliki makna terapi, baik jasmani maupun ruhani. Terapi jasmani dijelaskan
dalam (1) hydro-therapy, yaitu terapi dengan air. Terapi ini sangat baik
dilaku-kan bagi individu yang memiliki penyakit insomnia (sulit tidur),stress,
dan gampang naik darah (marah);(2) massage-therapy, yaitu terapi dengan
pijatan-pijatan refleksi pada bagian-bagian tertentu di muka, tangan dan kaki.
Pijatan ini selain dapat memiliki makna relaksasi dengan mengehdorkan otot atau
urat' syaraf, juga untuk melancarkan aliran darah yang pada akhirnya dapat
berfungsi sebagai perawatan wajah dan tubuh secara keseluruhan, sebab dalam
teknik pijatan refleksi tangan dan kaki merupakan pusat tusukan, Sedang terapi
ruhani, wudhu dapat mengkikis dan menghapus dosa akibat perilaku maksiat.
Rukun-rukun wudhu dapat menghilangkan dosa yang dilakukan oleh mata.mulut,
hidung, telinga, tangan, dan kaki. Bagian terakhir ini terkait dengan
periyembuhan kelainan kepribadian Islam (character disorder).
Kedua, menghadap
kiblat; satu kepribadian mushalli yang memiliki wawasan dan orientasi
hidup yang menyatu pada satu kiblat, yakni Ka'bah. Ka'bah merupakan titik
sentral orientasi kehidupan manusia, sehingga apabila individu tidak menghadap
padanya berarti dalam hidupnya terjadi disorientasi yang nantinya akan tersesat
ke lembah kenistaan.

Keempat, shalat
pada waktunya; satu kepribadian mushalli yang disiplin waktu,
beraktivitas sesuai jam yang ditentukan, tidak terlambat, apalagi mengurangi
jam kerja
Pola berdasarkan rukun-rukun shalat, citra
kepribadian mushalli dapat digambarkan sebagai berikut.
Pertama, niat;
satu kepribadian mushalli yang dalam bertingkah laku memiliki motivasi
dan bertujuan yang mana motivasi akhirnya tertuju pada motivasi ketuhanan (al-hadtsu
al-IIahiyyah) yang transenden.
Niat dalam
shalat juga memiliki makna auto-sugesti atau self-hipnosis, di mana
dengan kehadiran hati (khudhur al-qalb) yang ditopang oleh pengulangan
ucapan (kata-kata) dan gerakan-gerakan yang ritmis membuat individu terbimbing
untuk meyakini atau berbuat sesuatu. Dalam teori tingkah laku, aktivitas
individu tidak saja tertumpuh pada kemampuan, tetapi juga kemauan, sedangkan
aspek kemauan dapat dijelaskan dengan niat. Al-Ghazali menyatakan bahwa al-khathir
(bentuk tunggal dari al-khawatir) adalah sesuatu yang menggerakkan
hati manusia. Semua perilaku manusia bermula dari al-khathir, dan al-khathir
menggerakkan kecintaan (al-raghbah), dan kecintaan menggerakkan
keinginan yang kuat (al-'azam), dan ke-inginan yang kuat menggerakkan
niat (kesadaran diri dan komitmen untuk melakukan sesuatu), dan niat
menggerakkan anggota tubuh.
Kedua, dimulai
dengan takbir dan diakhiri dengan salam; satu kepribadian mushalli yang
dalam bertingkah laku diawali dengan penyucian diri vertikal melalui bacaan Allah
Akbar (Allah Maha Besar) dan diakhiri dengan realisasi diri horizontal
melalui bacaan al-salam 'alaykum wa rahmat Allah (salam sejahtera untuk
kalian
dan semoga rahmat Allah tetap pada
kalian). Takbir merupakan tingkah laku yang berorientasi teologis dangan
mengangkat kedua tangan sebagai tanda penghormatan, sementara salam merupakan
tingkah laku yang berorientasi sosiologis dengan menengok kanan dan kiri pada
orang sekitar.

Ketiga, berdiri (qiyam),
membungkuk (ruku.'), berdiri tegak kembali (i'tidal), sujud (sujud)
dan duduk (julus); satu kepribadian mushalli yang dinamis,
luwes dan mampu menempatkan diri sesuai dengan situasi dan kondisi di mana ia
bertingkah laku. Secara biogenetik, gerakan-gerakan shalat semacam itu
memberikan respon kinestetik yang ritmis, serasi, indah dan sehat. Sedangkan
secara psikogenetik, sosiogenetik dan teogenetik, gerakan-gerakan shalat
memiliki makna psikologis, sosiologis dan teologis yang khas.
Keempat, membaca
surat al-Fatihah; satu kepribadian mushalli yang menjadi pioner atau
pelopor dalam setiap event kehidupan. Bacaan Al-Fatihah dalam shalat dapat
membentuk pribadi yang senantiasa berkomunikasi (al ittishal) dan
berinteraksi (al-tafa'ul) secara ilahiah. Tuhan tidak membiarkan
hamba-Nya yang menginginkan bercengkrama dengan-Nya, sehingga dalam shalat
terjadi hubungan kebersamaan (ma'iyyah) antara hamba dan Tuhannya.
Kelima,
thuma'ninah; satu
kepribadian yang tenang, rileks, dan santai setelah melakukan jeda sejenak
dalam mengarungi semua dimensi kehidupan.Thuma'ninah selain untuk
kesempurnaan pelaksanaan suatu kewajiban, juga sebagai isyarat agar individu
senantiasa menikmati dan merasa-kan ketenangan dalam setiap momen kehidupannya.
Ketidaktenangan menjadikan hidup stress, depresi dan pada akhirnya menimbulkan
kehampaan dan keterasingan diri dalam menjalankan suatu aktivitas. Pengertian thuma'ninah
tidak berarti diam, statis, dan berhenti, sebab dalam thuma'ninah terdapat
aktivitas yang disertai dengan perasaan tenang
Keenam, tasyahud
akhir; satu kepribadian yang selalu memberi penghormatan pada sesuatu yang
pantas diberi penghormatan. Penghormatan pertama kepada Tuhan, lalu kepada
Nabi-Nya, kepada diri sendiri dan pada hamba-hamba-Nya yang saleh. Penghormatan
diberikan bukan karena kekayaan, kedudukan duniawi, dan status sosial, tetapi
yang terpenting adalah karena kehormatan spiritualnya. Karena itu, penghormatan
dalam shalat ditutup dengan bacaan dua kalimah syahadat.
Ketujuh, shalawat
nabi; satu kepribadian yang tunduk dan patuh serta mengikuti sunnah-sunnah
rasulnya, yang disimbolkan dengan mengucapkan shalawat (doa keselamatan)
kepadanya dalam shalat
Pola berdasarkan sunat-sunat shalat, baik dilakukan
sebelum, di dalam maupun setelah shalat, citra kepribadian mushalli dapat
di-gambarkan sebagai berikut:
Pertama, sebelum
shalat disunnatkan mengumandangkan azan dan iqamah; satu kepribadian
mushalli yang mau diundang, diajak, dan diingatkan untuk mengerjakan
kewajiban shalat.
Kedua, setiap
shalat wajib lima waktu dianjurkan untuk shalat berjamaah, bahkan diwajibkan
untuk shalat Jum'at dan shalat dua hari raya. Keutamaan shalat berjamaah lebih
dari duapuluh tujuh derajat dibanding dengan shalat sendirian.Keutamaan itu
didasarkan atas implikasi positif yang menyertai iiidividu dalam pembentukan
kepribadian mushalli. Di antaranya:
1.
Kepribadian yang senang berorganisasi
yang mana setiap tindak tanduknya terorganisasi dengan baik. Berjamaah
menunjukkan sikap persatuan, kebersamaan, saling cinta kasih, sapa menyapa,
toleransi, dan tolong menolong yang pada akhirnya membentuk team building yang
kokoh.
2.
Kepribadian yang tunduk dan patuh satu
komando pemimpin (imam), sehingga pola hidupnya teratur, sistemik, terkontrol,
dan terbimbing yang didasarkan atas sikap saling percaya dan gotong royong. Kepribadian
yang memiliki keserasian, keselarasan dan keharmonisan antara pemimpin dan
rakyat, baik pada aspek nada suara maupun gerakan..
3.
Kepribadian yang apabila terjadi
pergantian kepemimpinan, maka tidak berarti melupakan jasa, prestasi atau
program yang pernah dicapai atau dijalankan pada kepemimpinan sebelumnya.
Pergantian pemimpin (imam) karena batal (meninggal dunia atau pergantian
antarwaktu) maka makmum yang persis di belakang imam menggantikan posisinya dan
meneruskan program yang belum terlaksana.
4.
Kepribadian yang senantiasa taat pada
pemimpin, sebab pemimpin telah dipilih berdasarkan kompetensinya. Seluruh
perintah pemimpin dilakukan dengan catatan perintah itu diawali dengan bacaan
takbir Allah Akbar (Allah Mahabesar)..
5.
Kepribadian yang mau meluruskan
pemimpinnya yang salah, dan sebaliknya, pemimpin yang mau diperingatkan oleh
peng-anutnya jika melakukan kesalahan. Meskipun sang pemimpin
Ketiga, sebelum
shalat dianjurkan untuk bersiwak atau gosok gigi. Fungsinya untuk membentuk
pribadi yang sehat, yang secara inderawi (hissiyyah) dapait
menghilangkan penyakit yang melekat di gigi, dan secara maknawiyyah dapat
mehghapus dosa akibat salah berbicara.
Keempat, di dalam
shalat disunnatkan (1) gerakan: seperti gerakan mengangkat tangah ketika
takbir; mengacungkan telunjuk ketika membaca syahadat dalam tasyahud; menengok
ke kanan dan" ke kiri ketika salam; (2) pujian: seperti pujian kepada
Allah ketika ruku', i'tidal, dan sujud; dan (3) doa: seperti doa ketika
iftitah, duduk antara dua sujud, dan doa sebelum salam.
C. Kepribadian Shaim
1. Pengertian Kepribadian Shaim
Shaim adalah
orang yang berpuasa. Puasa secara etimologi berarti menahan (al-imsak) terhadap
sesuatu, baik yang bersifat materi maupun non-materi. Menurut istilah, puasa
adalah menahan diri di waktu siang dari segala yang membatalkan yang dilakukan
(makan, minum dan hubungan seksual) dengan niat dimulai terbitnya fajar sampai
terbenamnya matahari. Puasa juga berarti menahan (imsak) diri dari
segala perbuatan yang dapat merusak citra fitri manusia. Dengan demikian, puasa
terbagi dua macam; Pertama, puasa fisik, yaitu menahan lapar, haus, dan
berhubungan seks dari segala makanan, minuman, atau bersetubuh yang diharamkan
(bukan miliknya atau bukan pada tempatnya); kedua, puasa psikis, yaitu
menahan hawa nafsu dari segala perbuatan maksiat, seperti menahan marah (ghadhab),
sombong (takabbur), dusta (kizb), serakah (thama'), sumpah
palsu dan sebagainya.
Kepribadian shaim adalah
kepribadian individu yang didapat setelah melaksanakan puasa dengan penuh
keimanan dan ketakwaan, sehingga ia dapat mengendalikan diri dengan baik.
Pengertian ini didasarkan atas asumsi bahwa orang yang mampu menahan diri dari
sesuatu yang membatalkan puasa memiliki kepribadian lebih kokoh, tahan uji, dan
stabil ketimbang orang yang tidak merigerjakannya, sebab ia mendapatkan hikmah
dari perbuatannya.
2. Kerangka Dasar Kepribadian Sadim
Manusia memiliki
dua potensi yang saling berlawanan dan tarik-menarik, yaitu potensi baik dengan
daya kalbu dan potensi buruk dengan daya nafsu. Agar daya nafsu tidak
berkembang maka diperlukan aturan pertahanannya. Salah satu pertahanan yang
baik adalah dengan puasa, terutama puasa wajib di bulan Ramadhan.
Sepintas, puasa
mengarah pada perilaku negatif, seperti malas bekerja, berkurangnya gairah dan
daya produksi, serta cenderung menuju pada pola hidup kemun-duran (regression).
Namun jika dilihat seeara seksama, puasa ternyata menjadi start bagi
timbulnya motivasi dan daya kreativitas. Mundur tidak berarti kalah dan lemah,
melainkan mengambil momen psiko-logis yang nantinya mampu menstimuli semangat
atau gairah baru. Selain itu, puasa merupakan zakatnya fisik, agar fisik
manusia terbebas dari segala tuntutan.
3.
Dimensi-dimensi Kepribadian Shaim
Dimensi
puasa: Pertama, puasa fisik, yaitu menahan lapar, haus, dan berhubungan
seks. Dimensi puasa ini merupakan dimensi lahiriah, yang verifikasinya dapat
menggunakan indikator lahiriah, seperti menahan makan, minum, dan bersetubuh
mulai dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari. Individu yang mampu
menahan ketiga aspek itu berarti ia telah berkepribadian shaim; Kedua, puasa
psikis, yaitu menahan hawa-nafsu dari segala perbuatan maksiat,seperti menahan
marah (ghadhab), sombong (takabbur), dusta (kizb), serakah
(thama'), dan penyakit hati lainnya. Dimensi kedua ini tidak terbatas
pada waktu-waktu tertentu dalam berpuasa, tetapi juga di luar puasa dan di luar
bulan Ramadhan. Puasa yang sempurna adalah ketika individu mampu menahan fisik
dan psikisnya.
4. Pola dan Bentuk-bentuk Kepribadian Shaim
Pola kepribadian
shaim dapat dilihat dari isyarat ayat-ayat Alquran atau Hadis yang
berkaitan dengan puasa. Indikator kepribadian shaim adalah sebagai
berikut.
Pertama, puasa
sebagai pembentukan kepribadian yang sabar, tabah, tahan uji dan mengendalikan
diri yang baik dalam mengarungi kehidupan, terutama sabar menjalankan perintah
Tuhan.
Kedua, puasa
dapat menyebabkan karakter 'ayd (orang yang kembali ke fitrah asal) dan fa’iz
(orang yang berutung). Dikatakan 'ayd karena ia tidak memiliki dosa, baik
dosa vertikal maupun dosa horizontal. Dosa vertikal dihapus dengan melaksanakan
ibadah puasa, shalat malam dan bermalam-malam mencari Lailatul Qadar. Sedangkan
dosa horizontal ditebus dengan saling memaafkan ketika melakukan halal bi
halal. Karena kepribadian shaim terbebas dari dosa, maka hari pertama
yang ia rasakan adalah 'idul fithri, yang artinya kembali pada fitrah semula,
seperti bayi yang baru dilahirkan dalam keadaan suci tanpa dosa.
Ketiga, puasa
sebagai pembentukan kepribadian yang sehat, baik jasmani maupun ruhani. Secara
jasmani, makna puasa dapat dijelaskan dengan program diet, di mana individu
melakukan 'pantangan' diri terhadap makanan atau minuman tertentu.
Secara ruhani, puasa memiliki empat aspek kesehatan:
1.Pola simptomatis; pola yang berkaitan dengan
gejala (symptoms) dan keluhan (compliants),gangguan atau penyakit
nafsaniah, seperti berpuasa untuk mengendalikan nafsu birahi yang
ber-kelebihan; Menurut al-Ghazali terdapat lima macam fungsi puasa; yaitu:
a. Mata
senantiasa menunduk dan menahan dari pandangan yang dicela dan dibenci
b. Iisan
senantiasa terhindar dari pembicaraan yang sia-sia,dusta, menceritakan
keburukan orang lain, menggunjing; keji, perkataan kasar, pertengkaran dan
perdebatan.
c. Telinga
senantiasa terhindar dari suara-suara yang dibenci.
d. Anggota
tubuh yang lain, seperti tangan dan kaki terhindar dari aktivitas yang buruk
dan perut dari makanan yang syubhat atau haram.
2.Pola penyesuaian diri; kemampuan individu untuk
menyesuaikan diri secara aktif terhadap lingkungan sosialnya, seperti memberi
makanan dan minuman pada orang lain ketika berbuka atau sahur; shalat tarawih
secara berjamaah; semaraknya aktivitas sosial seperti zakat, infaq dan sedekah.
3. Pola pengembangan diri; pola yang berkaitan
dengan kualitas khas insani (human
qualities) seperti kreativitas,produktivitas,kecerdasan, tanggungjawab, dan
sebagainya.
Puasa juga dapat meningkatkan kecerdasan, baik kecerdasan
intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ), kecerdasan moral (MQ) maupun
kecerdasan spiritual (SQ):
a. Secara
intelektual; Puasa dapat merangsang syaraf-syaraf kecerdasan untuk berpikif
aktif, dinamis dan konstruktif.
b. Kecerdasan
emosional; puasa dapat mendorong individu untuk mengenali emosi dan
aktivitas-aktivitasnya dan mengelola serta mengekspresikan jenis-jenis emosi
secara benar.
c. Kecerdasan
moral; puasa memotivasi individu untuk membina hubungan moralitas dengan orang
lain, seperti supel, elegan, ramah, bekerja sama, tolong-menolong, inklusif,
toleransi, dan perilaku positif lainnya.
d. Kecerdasan
spiritual; Puasa mendorong individu untuk lebih dekat dengan Tuhannya dengan
cara menjalankan kewa jiban-kewajiban yang diperintahkan dan menjauhi
larangan-larangan-Nya,
Pola religius; kemampuan individu
untuk melaksanakan ajaran agama secara benar dan baik dengan landasan keimanan
dan ketakwaan. Individu yang berpuasa cenderung mudah melaksanakan ibadah,
seperti shalat malam (apalagi shalat wajib), membaca Alquran, zakat dan
sedekah.
Al-Ghazali mengemukakan bahwa
hikmah lapar dalam berpuasa: (1) menjernihkan kalbu dan mempertajam pandangan,
sehingga ia memiliki kecerdasan intelektual yang tinggi; (2) melembutkan kalbu,
sehingga mampu merasakan kenikmatan batin, seperti ketika melakukan zikir; (3)
menjauhkan perilaku yang hina dan .sombong, yang perilaku ini sering
mengakibatkan kelupaan; (4) mengingatkan jiwa manusia akan cobaan,dan azab
Allah, sehingga ia hati-hati dalam memilih makanan; (5) memperlemah syahwat dan
tertahannya nafsu amarah yang buruk. Jika seseorang kuat karena banyak makan,
ter-utama makan yang haram, maka mudah terjangkit penyakit maksiat dan
perbuatan dosa; (6) mengurangi jam tidur dan memperkuat kon-disi terjaga di
malam hari untuk beribadah; (7) mempermudah seseorang untuk selalu tekun
beribadah; (8) menyehatkan badan dan jiwa serta menolak penyakit. Salah satu
sumber adalah perut yang penuh makanan; (9) menumbuhkan sikap suka membantu
orang lain; (10) menumbuhkan sikap mendahulukan kepentingan orang lain dan
mudah bersedekah.
D. Kepribadian
Muzakki
1. Pengertian Kepribadian Muzakki
Muzakki adalah
orang yang telah membayar zakat. Zakat secara etimologi berarti berkembang (al-namw)
dan bertambah (al-ziyadah), baik secara kuantitas maupun kualitas
(keberkahan). Orang yang membayar zakat, hartanya cenderung bertambah bukan
semakin mengurang. Menurut istilah, zakat adalah mengeluarkan sebagian harta
kepada orang yang berhak menerimanya ketika telah mencapai batasnya (nishab).
Kepribadian muzakki adalah kepribadian individu yang didapat setelah
membayar zakat dengan penuh ke-ikhlasan, sehingga ia mendapatkan hikmah dari
apa yang dilakukan. Pengertian ini didasarkan atas asumsi bahwa orang yang
membayar zakat memiliki kepribadian yang pandai bergaul, dermawan, terbuka,
berani berkurban, tidak arogan, memiliki rasa empati dan kepekaan sosial serta
mudah menyesuaikan diri dengan orang lain, sekahpun pada orang yang berbeda
statusnya.
2. Kerangka Dasar Kepribadian Muzakki
Salah satu
fitrah hidup manusia adalah berkelompok. Ia tidak dapat hidup tanpa
berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain. Dalam kelompok itu tentu
terdapat yang lemah dan ada yang kuat, ada yang miskin dan ada yang kaya, ada
yang sakit dan ada yang sehat dan seterusnya.
Harta adalah
amanah (titipan) yang harus difungsikan sebagaimana yang diperintahkan oleh
yang memberinya. Dengan zakat, infaq dan sedekah, sebagian amanah itu telah
dilaksanakan dengan baik oleh pemiliknya. Muzakki adalah sosok yang
memiliki hati yang lapang dan senang berkorban dengan harta bendanya.
3. Pola dan Bentuk-bentuk Kepribadian Muzakki
Berdasarkan
jenis-jenis zakat, infak dan sedekah, pola kepribadian muzakki dibedakan
atas: (1) wajib, seperti zakat fitrah, zakat harta benda, zakat hasil
perternakan, zakat hasil pertanian, zakat logam mulia, zakat perdagangan, dan
zakat profesi; (2) sunnah, seperti sedekah yang bukan kategori wajib.
Baik yang wajib maupun yang sunnah,
keduanya dapat membentuk kepribadian muzakki sebagai berikut: Pertama, kepribadian yang
suci dan menjadikan muzakki pada citra awalnya (fitrah) yang tanpa dosa.
Kesucian itu diperoleh setelah muzakki mengeluarkan sebagian hartanya
yang bukan miliknya, karena penggunaan harta orang lain mengakibatkan
kekotoran. Kedua, kepribadian
yang seimbang, di mana individu menyelaraskan aktivitas yang berdimensi
vertikal dan horizontal. Orang yang shalat seharusnya berimplikasi pada
karakter dermawan, pemurah dan membantu yang lemah. Sebaliknya, orang yang
zakat seharusnya berimplikasi pada kedekatan dengan Tuhan-nya sebagai rasa
syukur atas pemberian-Nya. Ketiga,
kepribadian yang penuh empati terhadap penderitaan pribadi lain, sehingga
mengakibatkan kepekaan sosial (social sensitivity). Jiwa muzakki merasakan
betapa resahnya orang yang hidup serba kekurangan, betapa bingungnya orang yang
tidak memiliki uang ketika membutuhkan sesuatu, dan betapa sakitnya hati orang
yang hidup termarginalkan. Keempat,
kepribadian yang selamat dari petaka dan fitnah, sebab zakat, infaq dan
sedekah dapat menolak bala. Kelima,
kepribadian yang kreatif dan produktif untuk memperoleh harta benda yang
halal dan mendistribusikannya dengan cara yang halal pula. Muzakki, dituntut
kreatif dan produktif dalam memperoleh harta benda dan membagi-bagikan kepada yang
lain.
E. Kepribadian Haji
1. Pengertian Kepribadian Haji
Haji adalah
orang yang telah melaksanakan haji. Haji secara etimologi berarti menyengaja (al-qashd)
pada sesuatu yang diagungkan. Orang yang melaksanakan haji berarti hatinya
selalu menuju pada Zat yang Mahatinggi. Menurut istilah, haji adalah menyengaja
pergi ke Baitullah (Ka'bah) untuk melaksanakan syarat (Islam, baligh, berakal,
merdeka, dan mampu), rukun (niat ihram dari miqat, wuquf di Arafah, tawaf
ifadhah, sa'i, cukur dan tertib) dan wajibnya (ihram di miqat, menginap di
Muzdalifah, menginap di Mina, melontar jumrah dan tawaf wada) pada bulan yang
ditentu-kan (Syawal, Dzu al-Qa'dah dan Dzu al-Hijjah).
Kepribadian haji adalah
kepribadian individu yang didapat setelah melaksanakan haji yang semata-mata
dilakukan karena Allah Swt., sehingga ia mendapatkan hikmah dari apa yang
dilakukan. Pengertian ini didasarkan atas asumsi bahwa orang yang melaksana kan
haji memiliki kepribadian yang sabar dalam melintasi bahaya dan cobaan; luwes,
egaliter, inklusif dan pandai bergaul dengan sesamanya; berani berkorban atau
menanggalkan status; jabatan dan harta bendanya, demi tercapainya kesamaari dan
kebersamaan (ma'iyyah) dengan sesamanya, agar mendapatkan ridha Allah
Swt.
2. Kerangka Dasar Kepribadian Haji
Haji merupakan
wisata spiritual yang imenuju 'taman ruhani' bagi individu yang merindukan akan
kehadiran Sang Maha Kekasih, yakni Allah Swt.
Nilai dan hikmah
haji sangat tergantung pada kesanggupan bagi orang yang melaksanakannya, mulai
dari pembayaran ongkos naik haji (ONH) yang halal; melaksanakan rukun Islam
yang lain seperti shalat, zakat dan puasa; persiapan mental yang utuh dan
tangguh sampai pada penyerahan nyawa.
Lafal sanggup (istatha'ah) mengandung
arti kesiapan material dan spiritual. Bagi mereka yang datang tanpa membawa
kesanggupan spiritual seperti rasa iman yang benar, maka yang ditemui hanyalah
batu yang keras, tanah yang tandus, panas yang menyengat, dingin yang menyayat
kulit dan egoisme yang tinggi. Namun, bagi mereka yang datang dengan penuh
keikhlasan dan ketawadhuan, tentu akan mendapatkan pengalaman spiritual yang
mungkin tidak dapat dilukiskan di alam material.
3. Pola dan Bentuk-bentuk Kepribadian Haji
Kepribadian haji dapat dibentuk
melalui dua pola: pertama, pola umum, yaitu pola yang diambil dari
ayat-ayat Alquran serta hadis-hadis Nabi Saw. yang membahas tentang haji . Pola
ini bersifat umum yang lazimnya membahas mengenai motivasi dan balasan bagi
orang yang melakukan ibadah haji; kedua, pola khusus, yaitu pola yang
diambil dari hikmah dalam melaksanakan rukun, wajib dan sunah haji.
Bentuk-bentuk kepribadian haji
dari pola umum di antaranya adalah:
1.
Kepribadian Tauhidi, yaitu kepribadian
yang utuh dalam memenuhi panggilan Allah Swt., yang diwujudkan dalam bacaan
talbiyah dan menyengaja menuju ke Ka'bah.
2.
Kepribadian mujahid, yaitu orang yang
berjihad dengan cara berperang dan berkorban secara sungguh-sungguh demi mendapatkan
ridha Allah Swt. Bentuk jihadnya adalah mengeluarkan harta benda untuk biaya
haji; meninggalkan tanah air, keluarga, status dan jabatan; menguras tenaga
fisik dan psikis dalam menjalankan ibadah yang penuh risiko; dan melawan hawa
nafsu dan setan
3.
Kepribadian yang suci dan fitri, karena
dalam ibadah tersebut menghapus nuktah (titik hitam) dalam jiwanya. Dalam
haji dilarang berbicara yang kotor dan kasar, berdebat, marah, egois, dan
sombong. Semua perilaku batin yang buruk tersebut mengakibatkan hilangnya
kesucian jiwa manusia. Haji meru pakan wahana untuk pembersihan semua kotoran
jiwa tersebut.
4.
Kepribadian yang sukses, karena telah
melewati segala rintangan, tantangan dan risiko yang berat dalam mensyiarkan
agama Allah. Kesuksesan dalam haji karena dilandasi oleh ketakwaan hati yang
utuh.
Bentuk-bentuk
kepribadian haji dari pola khusus, yang bersumber dari rukun, wajib dan sunah
haji di antaranya sebagai berikut:
1.
Kepribadian muhrim (yang
ihram),yaitu kepribadian yang mengharamkan atau menahan diri terhadap perilaku
yang dilarang, demi persatuan dan kesamaan derajat antar sesama manusia dan
merendahkan diri (tawadhu') di hadapan Allah. semuanya adalah
makhluk-Nya yang satu sama lain saling membutuhkan. Kepribadian muhrim mengikat
diri untuk tidak melakukan kesalahan dan melanggar larangan dalam masa (miqat
zamani) dan tempat (miqat makani) tertentu. Pada masa-masa tertentu,
misalnya hari Jum'at, kepribadian ini berkomitmen untuk tidak melakukan
kesalahan sama sekali, sehingga disebut dengan Jum'at bersih atau Jum'at
sukses.
2.
Kepribadian Thawuf (yang thawaf),
yaitu kepribadian yang hanya menuju kepada Allah Swt. dengan cara berputar
tujuh kali. Dalam Kepribadian Waqif (yang wuquf),yaitu kepribadian yang menghentikan seluruh kegiatan duniawi
dalam waktu sesaat, kecuali hanya menunaikan shalat, berzikir dan berdoa kepada
Allah, dengan harapan agar mereka terbebas dari belenggu hawa nafsu dan materi.
Kepribadian ini menjadi suci karena dosa-dosanya diampuni dan dibebaskan dari
api neraka (HR. Muslim dari Aisyah).
4.
Kepribadian sa'i (yang sa'i),yaitu
kepribadian yang selalu bekerja keras, dengan lari-lari kecil, dalam mencapai
suatu tujuan, seperti bekerja mencari nafkah (mencari air zamzam untuk diminum
di musim kemarau) dalam menghidupi diri dan keluarga tanpa merasakan kelelahan.
5.
Kepribadian mutahallil (yang
tahallul),yaitu kepribadian yang tidak melakukan sesuatu kecuali
yang dihalalkan melakukannya. Untuk mencapai kehalalan diperlukan adanya
pengorbanan dengan mencukur beberapa helai rambut, sebab rambut merupakan
mahkota seseorang. Tanpa pengorbanan baik berupa harta, pikiran bahkan jabatan-
sesuatu tidak memiliki nilai lebih.
6.
Kepribadian yang mandiri dan siap susah
dengan cara mabit (bermalam), baik di Muzdalifah maupun di Mina.Pada
mabit ini seseorang ditempah pada tempat, keadaan, sarana dan peralatan
seadanya. Cuaca terasa sangat dingin, kekuatan fisik melemah bahkan tempat
tidur dan makan seadanya.
7.
Kepribadian yang selalu membuang dan
memerangi setan, baik setan yang ada dalam dirinya (hawa nafsu) maupun setan
melalui melempar jumrah. Dengan melontar jumrah, diharapkan perilaku
buruk hilang dalam diri seseorang dan dapat digantikan dengan perilaku yang
baik.
8.
Kepribadian yang sadar akan kesalahannya
dengan cara menebusnya dengan mengalirkan darah {dam) kambing, unta atau
sapi di tanah haram, dalam rangka memenuhi ketentuan haji.
9.
Kepribadian yang mengingat dan
berkunjung (ziyarah) pada tempat-tempat suci, yang dapat mendekatkan
diri kepada Allah Swt. Tempat yang dimaksud selain tempat-tempat yang
ditentukan dalam haji, juga tempat-tempat lain yang bersejarah seperti ke:
a. Masjid
Nabawi
b. Gunung
(jabal) Nur dan Gua Hira'
c. Gunung
Tsur, Salah satu kepribadian yang baik adalah hijrah dari perilaku yang
dilarang Allah, menuju pada perilaku yang diperintahkan-Nya.
dilarang Allah, menuju pada perilaku yang diperintahkan-Nya.
d. Gunung Rahmah
e. Masjid Jin
f. Makam
Rasul
g. Rawdhah
(taman rumah) yang letaknya di antara rumah
nabi (sekarang makam) dan mimbar.
nabi (sekarang makam) dan mimbar.
h. Makam Baqi': Tempat pemakaman orang
Madinah
i. Masjid Quba': masjid pertama kali
didirikan oleh Nabi Saw
j. Gunung Uhud.
k. Masjid Qiblatain: disebut juga Masjid Bani
Salamah.
l.
Khandak/Masjid Khamsah: parit pertahanan bekas perang Khandak di mana
Nabi dan Kota Madinah dikepung oleh kafir Quraisy bersama sekutunya Yahudi Bani
Nadhir dan Ghathfa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar