Social Icons

Minggu, 01 September 2013

Kepribadian Muslimin (Dalam Psikologi Islam)

KEPRIBADIAN MUSLIM

Muslim berarti orang islam. Kata “islam” seakar dengan kata  al-salam & al-silm yang berarti menyerahkan diri, kepasrahan, ketundukan dan kepatuhan; kata “al-silm” dan “al-salm” al-salm”  yang berarti damai dan aman; dan kata “al-salm”  yang berarti bersih dan selamat dari cacat, baik lahir maupun batin. Orang yang berislam adalah orang menyerah, tunduk, patuh, dalam melakukan perilaku yang baik, agar hidupnya bersih lahir dan batin yang pada gilirannya akan mendapatkan keselamatan dan kedamaian hidup di dunia dan akhirat.
Kepribadian muslim disini meliputi lima rukun islam, yaitu:
1.    Membaca dua kalimat syahadat, yang melahirkan kepribadian syahadatain;
2.    Menunaikan shalat, yang melahirkan kepribadian mushalli;
3.    Mengerjakan puasa, yang melahirkan kepribadian sha’im;
4.    Memabayar zakat, yang melahirkan kepribadian muzakki;
5.    Melaksanaka n haji, yang melahirkan kepribadian hajji.

A.  Kepribadian Syahadatain
1.    Pengertian Kepribadian Syahadatain
Syahadatain berasal dari kata “syahida”  yang berarti bersaksi, menghadiri, melihat, mengetahui, dan bersumpah. Kalimat syahadat terdiri dari dua kesaksian. Kesaksian pertama berkaitan dengan keyakinan bahwa tiada Tuhan selain Allah SWT, sedangkan kesaksian kedua berkaitan dengan kepercayaan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Kedua kesaksian ini tidak boleh diabaikan salah satunya, sebab jika diabaikan maka menjadikan ketidakbermanaan salah satunya. Bacaan tiada tuhan selain Allah memiliki arti tiada tuhan (ilah) yang ada (mawjud) kecuali Allah. Syahadah pertama merupakan aktualisasi dari tauhid uluhiyyah (ketuhanan). Sedangkan syahadah rasul memiliki arti bahwa Muhammad Saw. Merupakan Rasul Allah terakhir atau penutup (khatim), yang ajarannya telah disempurnakan (QS Al-Maidah [5]:3). Apabila terdapat seseorang yang menyebarkan agama Allah Swt. maka kedudukannya buakn sebagai rasul melainkan sebagai ulama (ilmuwan) yang menjadi pewaris para rasul.
Kepribadian syahadatain adalah kepribadian individu yang didapat setelah mengucapkan dua kalimat syahadat, memahami hakikat dari ucapannya serta menyadari akan segala konsekuensi persaksiannya tersebut. Kepribadian syahadatain meliputi domain kognitif dengan pengucapan dua kalimat secara verbal; domain afektif dengan kesadaran hati yang tulus; dan domain psikomotorik dengan melakukan segala perbuatan sebagai konsekuensi dari persaksiannya itu.

2.    Kerangka Dasar Kepribadian Syahadatain
Barang siapa yang mati yang mati dalam usia belum baligh maka matinya dianggap muslim, sebab ia telah mengikrarkannya di alam perjanjian, meskipun ia berasal dari keturunan Non-Muslim.Namun, jika telah mencapai usia akil baligh, sementara ia belum mengikrarkan ketauhidannya kembali di alam perjanjian terakhir maka perjanjian pertamanya tidak dianggap. Apabila ia mati maka dalam keadaan kafir.
Mengucapkan dua kalimat syahadat merupakan persyaratan formal untuk memasuki agama islam. Ketika dua kalimat ini terucapkan maka iamemiliki hak sebagaimana layaknya seorang muslim. Seluruh miliknya, baik harta benda maupun darahnya, haram diambil atau ditumpahkan.


3.    Bentuk-bentuk Kepribadian syahadatain
Kesaksian akan Ketuhanan Allah Swt. akan berimplikasi pada pembentukan kepribadian syahadatain sebagai berikut:
1.    Kepribadian yang bebas, merdeka dan tidak terbelenggu oleh tuhan-tuhan yang nisbi dan temporer, untuk menuju pada lindungan dan naungan Tuhan  yang Mutlak lagi sempurna.kata tiada tuhan mengandung arti menetapkan (itsbat) pada Tuhan yang Mutlak dan Sempurna. Penuhanan sesuatu selain Allah sama artinya dengan pembelengguan diri dan membatasi  kebebasan manusia sebagai makhluk yang mulia.
2.    Kepribadian yang berpengetahuan secara pasti, karena kepercayaan terhadap Tuhan merupakan sesuatu yang paling  hakiki dalam kehidupan manusia. Jika kepercayaan itu hanya dengan dugaan (zhaan) bukan berdasarkan pengetahuan yang akurat maka dapat menejerumuskannya ke dalam lembah kehancuran.
3.    Kepribadian yang yakin dan menghilangkan segala bentuk keragu-raguan. Hidup yang penuh keragu-raguan (syakk) tidak akan maju dan sering gagal ditengah jalan, sebab ia tidak memiliki motivasi untuk menggapai harapan dan tujuannya. Dengan keyakinan akan ketuhanan Allah Swt. maka kehidupan ini dapat ditempuh dengan optimis, bergairah dan berusaha menempuh sunah-Nya.
4.    Kepribadian ya ng menerima (qabul) segala konsekuensi akibat dari persaksian dan ucapannya. Perbedaan antara ucapan dan perilaku menunjukkan adanya kemunafikan (hypocrisy) dalam diri individu, sebaliknya konsistensi antara ucapan dan perilaku menunjukkan integritas diri yang baik.
5.    Kepribadian yang tunduk dan patuh (inqiyad) terhadap penciptanya.Individu yang tunduk dan patuh pada Tuhan tidak berarti memiliki kepribadian yang rendah, tetapi justru memiliki kematangan jiwa atau kedewasaan diri, sebab ia dapat menempatkan dirinya pada posisi yang sebenarnya. Hal ini tentunya berbeda dengan apa yang dinyatakan oleh Erich Fromm bahwa ketundukan dalam beragama menunjukkan tanda kekanak-kanakan, justru kebebasan yang tak terkendali merupaka perwujudan dari kepribadian yang tak tahu diri.
6.    Kepribadian yang jujur (shidq), sebab kesaksian menuntut pada ucapan dan tindakan sesuai apa adanya. Kebohongan dalam kesaksian akan menjerumuskan diri individu pada kehancuran dan keresahan, sebab hidupnya dikejar-kejar rasa berdosa atau rasa bersalah.
7.    Kepribadian yang tulus (khlash), dimana ia berperilaku bukan semata-mata karena pengawasan orang lain atau sekedar mencari perhatian. Ia bekerja dengan sungguh-sungguh semata-mata karena perintah dan melaksanakan kewajiban.
8.    Kepribadian yang penuh cinta (mahabbah), dimana cinta kepada Tuhannya berarti cinta kepada diri sendiri, juga cinta pada orang yang cinta kepada-Nya. Ada satu pepatah mengatakan man ahabba syai’an fahuwa ‘abduhu (barangsiapa yang cinta pada sesuatu maka ia menjadi hambanya).
Sedangkan kesaksian akan kerasulan Muhammad Saw,akan berimplikasi pada pembentukan kepribadian Syahadatain sebagai berikut:
1.    Kepribadian yang seimbang dalam menilai dan mengikuti perilaku seseorang, meskipun seseorang yang diikuti itu memiliki keistimewaan khusus. Kepribadian itu disebabkan karena kesaksian akan kerasulan Muhammad tidak boleh dilebih-lebihkan (ifrath) atau diremehkan (tafrith). Melebih-lebihkan diri Muhammad diluar semestinya akan menjadikan keganjilan, seperti kepercayaan terhadap diri Muhammad yang merupakan jelmaan diri Tuhan dan Muhamma adalah pencipta agama sehingga agama bawaannya disebut Muhammadanisme. Sedangkan meremehkan diri muhammad akan menghilangkan sebagian dari Agama Tuhan,sebab diri Muhammad dalam segala hal merupakan panutan (qudwah) yang patut diri kepribadiannya.
2.    Kepribadian yang mengikuti atau meniru pribadi yang agung (QS Al-Qalam [68]:4), membenarkan perkataan yang dapat menyelamatkan,mencintai pribadi yang suci melebihi cinta pada diri,keluarga,harta, dan manusia lian, dan mendahulukan perkataan atau pendapat pribadi yang terjaga (ma’shum) melebihi yang lain.

B.  Kepribadian Mushalli
1.    Pengertian Kepribadian Mushalli
Mushalli  adalah orang yang shalat. Shalat secara etimologi berarti memohon (do’a) dengan baik, yaitu permohonan keselamatan, kesejahteraan dan kedamaian hidup di dunia dan akhirat kepada Allah Swt. Permohonan dalam shalat tidak sama dengan permohonan di luar, sebab didalam shalat telah diatur  dengan tata cara yang baku, yang tidak boleh dikurangi ataupun ditambah. Menurut istilah, shalat adalah satu perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam beserta mengerjakan syarat-syarat dan rukun-rukunnya.
Kepribadian mushalli  adalah kepribadian individu yang didapat setelah melaksanakan shalat dengan baik, konsisten, tertib dan khusyu’, sehingga ia mendapatkan hikmah dari apa yang dikerjakan. Pengertian ini didasarkan atas asumsi  bahwa orang yang tekun shalat memiliki kepribadian lebih saleh ketimbang orang yang tidak mengerjakannya, sebab ia mendapatkan hikmah dari perbuatannya. Terlebih lagi dinyatakan dalam hadis bahwa shalat merupakan cermin tingkah laku individu.karenanya, shalat merupakan amalan yang pertama kali dihisab atau dihitung diakhirat kelak.

2.    Kerangka Dasar Kepribadian Mushalli
Keimanan individu pada sesuatu yang gaib atau kepada Tuhan membawa konsekuensi penghambaan, penyerahan, dan ketundukan yang ketiganya  dirangkai dalam satu kegiatan yang disebut dengan ibadah (ritual prayer). Ibadah merupakan bentuk aktualisasi diri yang fitri dan hakiki, sebab penciptaan manusia di desain untuk beribadah kepada Tuhannya (QS A-l-Dzariyat [51]:56). Ibadah dalam islam banyak jenis dan bentuknya, tetapi ibadah yang mempresentasikan seluruh kepribadian manusia adalah shalat, karena ia yang membedakan  hamba yang Muslim dan yang kafir.
Shalat dinilai sebagai mi'raj al-salikin, yaitu pendakian diri dari orang-orang yang menempuh jalan spiritual, sehingga dalam shalat terjadi komunikasi aktif antara hamba dan Tuhannya. Hamba yang saleh adalah hamba yang selalu rindu bertemu Tuhannya dan shalat merupakan media pertemuan antara kedua belah pihak. Dalam pertemuan itu seorang hamba bercengkerama, mengadukan segala problem kehidupan yang dihadapi, dan memohon kebaikan, keselamatan, kedamaian dan kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat kepada Tuhannya. Tentunya intensitas pertemuan menjadi tolok ukur kedekatan hamba pada Tuhannya, yang dalam Islam minimal lima kali dalam sehari semalam.

3.    Dimensi-dimensi Kepribadian Mushalli
Penentuan dimensi-dimensi kepribadian mushalli dapat dilihat dari beberapa sudut pandang. Jika dilihat dari domain yang terdapat pada rukun-rukun shalat, maka kepribadian mushalli memiliki tiga dimensi,yaitu: Pertama, dimensi afektif (infi'ali), satu kepribadian mushalli yang dibentuk dari pengalaman afektif (affective experience) shalat, sehingga menimbulkan perasaan-perasaan dan daya emosi yang khas dan kuat. Kepribadian ini didapat dari rukun qalbiyyah shalat seperti niat dan kekhusyuan; kedua, dimensi kognitif (ma'rifi), satu kepribadian mushalli yang dibentuk dari pengalaman kognitif (cog­nitive experience) shalat, sehingga menimbulkan efek pengenalan, pikiran dan daya cipta yang luar biasa. Kepribadian ini didapat dari rukun qawliyyah shalat, seperti mengucapkan takbir, surat Al-Fatihah, tasyahud dan shalawat Nabi pada tasyahud akhir, dan salam pertama; ketiga, dimensi psikomotorik (nafsi haraki), satu kepribadian mushalli yang dibentuk dari pengalaman psikomotorik (psychomotor experience) shalat, sehingga menimbulkan kemauan, gerak dan daya karsa yang mantap. Kepribadian ini didapat dari rukun fi'liyyah shalat, seperti berdirit ruku', sujud, dan duduk dalam shalat.
Dilihat dari sudut motivasi shalat maka kepribadian mushalli memiliki dua dimensi, yaitu: pertama, dimensi intrinsik (jawharl), satu kepribadian mushalli yang dibentuk atau didorong dari kewa­jiban shalat sendiri tanpa dikaitkan dengan kebutuhannya. Inisiatif pelaksanaan shalat didasarkan atas, kewajiban melaksanakan ajaran agama, baik kewajiban itu relevan atau tidak terhadap kebutuhan­nya. Kepribadian ini didapat dari pelaksanaan shalat wajib lima waktu, yaitu Zhuhur, Ashar, Maghrib, 'Isya' dan Shubuh, termasuk shalat sunat rawatib (shalat yang dilakukan sebelum atau sesudah shalat wajib). Kedua, dimensi ekstrinsik ('aradi), satu kepribadian mushalli yang dibentuk atau didorong oleh kebutuhan orang yang shalat. Seseorang yang memiliki kebutuhan sesuatu maka kebutuhan itu merangsangnya untuk melaksanakan shalat. Kepribadian ini didapat dari pelaksanaan shalat sunnat, Misalnya:
1.        Shalat Hajat, didorong oleh keinginan tercapai hajat atau kebu­tuhannya.
2.        Shalat Tahajjud, didorong oleh keinginan memperoleh kedudukan yang tinggi, baik di dunia maupuri akhirat. Jika ia berdo’a maka dikabulkan, jika ia meminta maka diberi, dan jika ia minta ampun maka diampuni (HR al-Bukhari dari Abu Hurairah).
3.        Shalat Istikharah, didorong oleh keinginan memilih salah satu yang terbaik atau menentukan kepastian sesuatu, seperti memilih jodoh, tempat kerja, sekolah atau kuhah, dan sebagainya.
4.        Shalat Taubah, didorong oleh keinginan pengampunan dari Allah atas segala dosa yang diperbuat.
5.        Shalat Dhuha, didorong oleh keinginan memperoleh rezeki yang banyak, sebab shalat Dhuha dikerjakan pada saat jam kerja yang efektif. Sembari bekerja, individu senantiasa memohon kepada Allah Swt melalui shalat, agar diberi rezeki yang banyak, halal dan berkah.
6.        Shalat Istisqa', didorong oleh keinginan mendapatkan hujan dari kemarau panjang.
7.        Shalat Tarawih, didorong oleh keinginan untuk rileks dengan mengendorkan syaraf dan otot yang ada pada tubuh serta menda­patkan ampunan, sehingga diri seperti baru dilahirkan.
8.        Shalat 'Idain, didorong oleh keinginan merayakan dua hari raya yang menyenangkan (Idul Fitri dan Idul Adha).
Menurut Allport, kepribadian yang matang adalah kepribadian yang memiliki perluasan diri. Artinya, hidup ini tidak hanya terikat secara sempit pada sekumpulan aktivitas-aktivitas yang erat hubungannya dengan kebutuhan-kebutuhan dan kewajiban-kewajiban pokok. Shalat wajib lima waktu merupakan kewajiban dan kebutuhan pokok, sementara shalat sunat merupakan perluasan atau penyempurnaannya.
Dilihat dari sudut pelaksanaan shalat maka kepribadian mushalli memiliki empat dimensi, yaitu: pertama, shalat harian (yawmiyyah), seperti shalat wajib lima waktu; satu kepribadian mushalli yang cara kerjanya bersifat harian dan rutinitas dalam meraih program kerja jangka pendek. Kepribadian semacam ini diperlukan untuk memenuhi hajat hidup sehari-hari, baik untuk memenuhi diri sendiri dengan shalat sendirian (munfarid) maupun untuk memenuhi kebutuhan keluarga kecil atau besar dengan shalat berjamaah; Kedua, shalat mingguan (usbu'iyyah), seperti shalat Jum'at; satu kepribadian mushalli yang cara kerjanya mingguan dalam meraih program kerja jangka menengah. Kepribadian semacam ini memerlukan konsolidasi antaranggota masyarakat di suatu perkampungan yang setidak-tidaknya berjumlah 40 orang.; ketiga, shalat tahunan ('amiyyah), seperti shalat dua hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha); satu kepribadian mushalli yang cara kerjanya bersifat tahunan dalam meraih program jangka panjang. Kepriba­dian semacam ini memerlukan penggalangan massa sebariyak-banyaknya, tanpa membedakan jenis kelamin dan perbedaan usia, sehingga tempatnya disarankan di lapangan atau alun-alun. Berbeda dengan khutbah shalat Jum'at, khutbah shalat hari raya dilakukan setelah shalat. Hal itu mengandung isyarat agar massa lebih banyak berdiskusi dalam menyusun program jangka panjang; keempat, shalat seumur hidup sekali, seperti shalat sunat Tasbih yang setidak-tidaknya seumur hidup sekali; satu kepribadian mushalli yang sese-kali dalam seumur hidup memiliki prestasi khusus dalam hidup ini.


4.   Pola dan Bentuk-bentuk Kepribadian Mushalli
Pola kepribadian mushalli dapat dilihat dari beberapa sudut pandang: pertama, berdasarkan isyarat dari ayat-ayat Alquran atau hadis yang berkaitan dengan shalat; kedua, berdasarkan isyarat pada bagian-bagian shalat seperti pada syarat-syarat, rukun-rukun, dan sunnah-sunnahnya, baik di dalam maupun di luarnya. Berdasar­kan isyarat ayat-ayat Alquran atau hadis yang berkaitan dengan shalat, indikator kepribadian mushalli adalah sebagai berikut:
Pertama, kalimat mendirikan shalat (iqdm al-shalah) diikuti kalimat membayar zakat (ita' al-zakah) terulang 26 kali dan diikuti kalimat menafkahkan rezeki (yunfiq al-rizq) terulang delapan kali dan diikuti kalimat berkorban (nahr) terulang sekali dalam ayat Alquran. Hal itu mengandung arti bahwa kepribadian mushalli adalah kepribadian yang seimbang antara perilaku vertikal (habl min Allah) dan perilaku horizontal (habl min al-nas). Individu yang aktif melaksanakan shalat seharusnya diikuti dengan prestasi sosial,seperti zakat. Artinya, semakin baik kualitas shalat individu maka semakin baik pula interaksi sosialnya. Zakat, infaq dan berkorban dalam konteks ini tidak sekadar menyalurkan harta benda, tetapi lebih dari itu, juga berarti pengentasan problem sosial, seperti melerai konflik antarras, etnik, bahkan agama; membuka lapangan kerja; memberantas kebodohan; dan berkorban demi kemaslahatan umat. Berdasarkan konsep ini, perilaku kepribadian mushalli akan berimplikasi pada pembentukan masyarakat yang rahmatli al-'alamin.
Kedua, perintah kewajiban shalat menggunakan kata iqamah (menunaikan) bukan 'add (melaksanakan). Hal itu mengandung arti bahwa kepribadian mushalli tidak hanya dibentuk secara jadi-jadian atau asal-asalan, melainkan melalui proses yang kontinu (istiqdmah), sehingga dapat berdiri kokoh dan tegak lurus dalam menjalankan amal saleh. Kewajiban shalat tidak dapat dibatalkan oleh keadaan atau kepentingan sesaat, seperti sakit atau darurat perang.Dalam kondisi sakit misalnya harus tetap shalat meskipun diperbolehkan shalat sambil duduk atau tidur berbaring; dalam kondisi bepergian diperbolehkan shalat jama' (waktu dua shalat digabung menjadi satu) dan qashar (meringkas shalat); dalam kondisi perang diperbolehkan shalat khawf, yang tata caranya agak berbeda dengan shalat biasa, dan seterusnya.
Ketiga, kepribadian mushalli dapat menjadi acuan pokok dalam rekrutmen pegawai. Institusi selain melakukan tes-tes kepriba­dian untuk penempatan atau mengetahui kemampuan dasar calon pegawai, juga diperlukan penyelidikan apakah yang bersangkutan aktif menjalankan shalat atau tidak. Penyelidikan ini menjadi penting, karena shalat merupakan kewajiban pokok yang bersifat individual. Jika terhadap kewajiban pokok saja tidak aktif menjalankan, bagai­mana mungkin calon pegawai aktif dalam menjalankan kewajiban yang lain. Selain itu, melalui shalat dapat dilihat juga tingkat dedikasi dan keikhlasan calon pegawai dalam bekerja.
Keempat, shalat selayaknya dilakukan di masjid, sebab masjid merupakan markas atau pusat kegiatan peribadatan. Hal itu mengandung isyarat bahwa kepribadian mushalli merupakan kepribadian yang memiliki markas atau institusi yang kokoh dalam melakukan aktivitasnya. Markas yang dimaksud berdiri di atas ketakwaan, sehingga tiada perilaku yang dilakukan kecuali yang bernuansa ibadah. Ibadah shalat, proses belajar-mengajar, musyawarah antar-umat, dan pemecahan problem sosial-keagamaan semuanya dapat diselesaikan di masjid. Karena masjid sebagai rumah Allah Swt. maka tiada keputusan yang diambil kecuali yang mengandung nilai peningkatan keimanan dan jaminan kemaslahatan umat.
Kelima, sebelum shalat dilakukan terlebih dahulu membersihkan diri dari segala zat yang berbahaya, seperti minuman keras, napza dan zat adiktif lainnya. Hal itu mengandung arti bahwa kepribadian mushalli adalah kepribadian yang dalam kehidupan sehari-harinya hanya tergantung kepada Allah Swt. dan tidak tergantung pada yang lain, apalagi tergantung pada minuman keras atau zat adiktif. Ketergantungan terhadap minuman keras menunjukkan tingkat keimanan yang lemah, sebab individu yang seharusnya merdeka, bebas dan mampu mengendalikan diri sendiri justru menjadi budak zat atau benda mati. Penggunaan zat-zat adiktif, baik di dalam maupun di luar shalat, dapat merusak sistem jaringan syaraf seseorang. Ketika seseorang menggunakan apalagi ketagihan terhadap zat-zat tersebut maka: (1) fungsi kalbunya melemah sehingga ia tidak memiliki rasa belas kasihan, rasa hormat, rasa malu, dan sebagian; (2) fungsi akalnya menurun sehingga ia tidak mampu bertafakkur dan bertazakkur; (3) fungsi nafsunya menguat sehingga daya fantasi seksualnya tinggi dan mendorong seseorang untuk berbuat zina serta dapat mengem-bangkan daya-daya agresif, seperti egoisme, ingin menguasai dan campur tangan terhadap urusan orang lain.
Keenam, shalat merupakan wahana berzikir dan berpikir, bahkan zikir terbaik ada di dalam shalat. Zikir dan pikir dalam shalat merupakan metode meditasi terbaik. Selain memiliki nilai spiritual-ilahiah, meditasi dalam shalat juga memiliki pengaturan atau kontrol yang harmonis terhadap seluruh dimensi ragawi manusia, mulai dari syaraf, otot-otot, peredaran darah, pernapasan, pencernaan, kelenjar, reproduksi dan sebagainya. Atas dasar itulah maka shalat tidak dapat digantikan dengan model zikir-zikir yang lain. Boleh jadi zikir di luar shalat memiliki efektivitas dan efisiensi yang baik, tetapi hal itu tidak dapat membatalkan atau mengurangi kewajiban shalat sendiri.
Pola berdasarkan syarat-syarat shalat, citra kepribadian mushalli dapat digambarkan sebagai berikut.
Pertama, suci dari hadas, tempat dan pakaian; satu kepribadian mushalli yang bersih dan suci, baik dalam berpakaian, tempat tinggal maupun keadaan diri. Salah satu syarat shalat adalah menyucikan diri dari hadas besar dengan mandi dan hadas kecil derigari wudhu serta kesucian pakaian dan tempat shalat. Bersih berarti terhindar-nya dari kotoran, sedang suci terhindar dari najis. Kebersihan dan kesucian tidak hanya pada aspek fisik (jasmani), tetapi juga pada aspek psikis (ruhani). Kebersihan dan kesucian-fisik mencegah individu berpenyakit fisik (flu, penyakit kulit, sakit gigi, dan seterus-nya), sedang kebersihan dan kesucian psikis menghindarkannya dari penyakit ruhani (marah, benci, iri hati, dendam, penakut, dan seterusnya).
Dalam perspektif kesehatan, wudhu memiliki makna terapi, baik jasmani maupun ruhani. Terapi jasmani dijelaskan dalam (1) hydro-therapy, yaitu terapi dengan air. Terapi ini sangat baik dilaku-kan bagi individu yang memiliki penyakit insomnia (sulit tidur),stress, dan gampang naik darah (marah);(2) massage-therapy, yaitu terapi dengan pijatan-pijatan refleksi pada bagian-bagian tertentu di muka, tangan dan kaki. Pijatan ini selain dapat memiliki makna relaksasi dengan mengehdorkan otot atau urat' syaraf, juga untuk melancarkan aliran darah yang pada akhirnya dapat berfungsi sebagai perawatan wajah dan tubuh secara keseluruhan, sebab dalam teknik pijatan refleksi tangan dan kaki merupakan pusat tusukan, Sedang terapi ruhani, wudhu dapat mengkikis dan menghapus dosa akibat perilaku maksiat. Rukun-rukun wudhu dapat menghilangkan dosa yang dilakukan oleh mata.mulut, hidung, telinga, tangan, dan kaki. Bagian terakhir ini terkait dengan periyembuhan kelainan kepribadian Islam (character disorder).
Kedua, menghadap kiblat; satu kepribadian mushalli yang me­miliki wawasan dan orientasi hidup yang menyatu pada satu kiblat, yakni Ka'bah. Ka'bah merupakan titik sentral orientasi kehidupan manusia, sehingga apabila individu tidak menghadap padanya berarti dalam hidupnya terjadi disorientasi yang nantinya akan tersesat ke lembah kenistaan.
Ketiga, menutup aurat; satu kepribadian mushalli yang menjaga kehormatan diri dengan menutup aurat melalui kain penutup. Aurat berarti kekurangan (al-naqsh) dan aib atau cacat. Menutup aurat ber­arti menutup aib dari lahir, jika aib terbuka maka kehormatannya hilang, atau paling tidak mengundang nafsu orang lain yang dapat mengancam kehormatan. Citra batin individu dapat dilihat dari citra lahirnya.
Keempat, shalat pada waktunya; satu kepribadian mushalli yang disiplin waktu, beraktivitas sesuai jam yang ditentukan, tidak terlambat, apalagi mengurangi jam kerja
Pola berdasarkan rukun-rukun shalat, citra kepribadian mushalli dapat digambarkan sebagai berikut.
Pertama, niat; satu kepribadian mushalli yang dalam bertingkah laku memiliki motivasi dan bertujuan yang mana motivasi akhirnya tertuju pada motivasi ketuhanan (al-hadtsu al-IIahiyyah) yang transenden. 
Niat dalam shalat juga memiliki makna auto-sugesti atau self-hipnosis, di mana dengan kehadiran hati (khudhur al-qalb) yang ditopang oleh pengulangan ucapan (kata-kata) dan gerakan-gerakan yang ritmis membuat individu terbimbing untuk meyakini atau berbuat sesuatu. Dalam teori tingkah laku, aktivitas individu tidak saja tertumpuh pada kemampuan, tetapi juga kemauan, sedangkan aspek kemauan dapat dijelaskan dengan niat. Al-Ghazali menyatakan bahwa al-khathir (bentuk tunggal dari al-khawatir) adalah sesuatu yang menggerakkan hati manusia. Semua perilaku manusia bermula dari al-khathir, dan al-khathir menggerakkan kecintaan (al-raghbah), dan kecintaan menggerakkan keinginan yang kuat (al-'azam), dan ke-inginan yang kuat menggerakkan niat (kesadaran diri dan komitmen untuk melakukan sesuatu), dan niat menggerakkan anggota tubuh.
Kedua, dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam; satu kepribadian mushalli yang dalam bertingkah laku diawali dengan penyucian diri vertikal melalui bacaan Allah Akbar (Allah Maha Besar) dan diakhiri dengan realisasi diri horizontal melalui bacaan al-salam 'alaykum wa rahmat Allah (salam sejahtera untuk kalian dan semoga rahmat Allah tetap pada kalian). Takbir merupakan tingkah laku yang berorientasi teologis dangan mengangkat kedua tangan sebagai tanda penghormatan, sementara salam merupakan tingkah laku yang berorientasi sosiologis dengan menengok kanan dan kiri pada orang sekitar.
Ketiga, berdiri (qiyam), membungkuk (ruku.'), berdiri tegak kembali (i'tidal), sujud (sujud) dan duduk (julus); satu kepribadian mushalli yang dinamis, luwes dan mampu menempatkan diri sesuai dengan situasi dan kondisi di mana ia bertingkah laku. Secara biogenetik, gerakan-gerakan shalat semacam itu memberikan respon kinestetik yang ritmis, serasi, indah dan sehat. Sedangkan secara psikogenetik, sosiogenetik dan teogenetik, gerakan-gerakan shalat memiliki makna psikologis, sosiologis dan teologis yang khas.
Keempat, membaca surat al-Fatihah; satu kepribadian mushalli yang menjadi pioner atau pelopor dalam setiap event kehidupan. Bacaan Al-Fatihah dalam shalat dapat membentuk pribadi yang senantiasa berkomunikasi (al ittishal) dan berinteraksi (al-tafa'ul) secara ilahiah. Tuhan tidak membiarkan hamba-Nya yang menginginkan bercengkrama dengan-Nya, sehingga dalam shalat terjadi hubungan kebersamaan (ma'iyyah) antara hamba dan Tuhannya.
Kelima, thuma'ninah; satu kepribadian yang tenang, rileks, dan santai setelah melakukan jeda sejenak dalam mengarungi semua dimensi kehidupan.Thu­ma'ninah selain untuk kesempurnaan pelaksanaan suatu kewajiban, juga sebagai isyarat agar individu senantiasa menikmati dan merasa-kan ketenangan dalam setiap momen kehidupannya. Ketidaktenangan menjadikan hidup stress, depresi dan pada akhirnya menimbulkan kehampaan dan keterasingan diri dalam menjalankan suatu aktivitas. Pengertian thuma'ninah tidak berarti diam, statis, dan berhenti, sebab dalam thuma'ninah terdapat aktivitas yang disertai dengan perasaan tenang
Keenam, tasyahud akhir; satu kepribadian yang selalu memberi penghormatan pada sesuatu yang pantas diberi penghormatan. Penghormatan pertama kepada Tuhan, lalu kepada Nabi-Nya, kepada diri sendiri dan pada hamba-hamba-Nya yang saleh. Penghormatan diberikan bukan karena kekayaan, kedudukan duniawi, dan status sosial, tetapi yang terpenting adalah karena kehormatan spiritualnya. Karena itu, penghormatan dalam shalat ditutup dengan bacaan dua kalimah syahadat.
Ketujuh, shalawat nabi; satu kepribadian yang tunduk dan patuh serta mengikuti sunnah-sunnah rasulnya, yang disimbolkan dengan mengucapkan shalawat (doa keselamatan) kepadanya dalam shalat
Pola berdasarkan sunat-sunat shalat, baik dilakukan sebelum, di dalam maupun setelah shalat, citra kepribadian mushalli dapat di-gambarkan sebagai berikut:
Pertama, sebelum shalat disunnatkan mengumandangkan azan dan iqamah; satu kepribadian mushalli yang mau diundang, diajak, dan diingatkan untuk mengerjakan kewajiban shalat.
Kedua, setiap shalat wajib lima waktu dianjurkan untuk shalat berjamaah, bahkan diwajibkan untuk shalat Jum'at dan shalat dua hari raya. Keutamaan shalat berjamaah lebih dari duapuluh tujuh derajat dibanding dengan shalat sendirian.Keutamaan itu didasarkan atas implikasi positif yang menyertai iiidividu dalam pembentukan kepribadian mushalli. Di antaranya:
1.                  Kepribadian yang senang berorganisasi yang mana setiap tindak tanduknya terorganisasi dengan baik. Berjamaah menunjukkan sikap persatuan, kebersamaan, saling cinta kasih, sapa menyapa, toleransi, dan tolong menolong yang pada akhirnya membentuk team building yang kokoh.
2.        Kepribadian yang tunduk dan patuh satu komando pemimpin (imam), sehingga pola hidupnya teratur, sistemik, terkontrol, dan terbimbing yang didasarkan atas sikap saling percaya dan gotong royong. Kepribadian yang memiliki keserasian, keselarasan dan keharmonisan antara pemimpin dan rakyat, baik pada aspek nada suara maupun gerakan..
3.        Kepribadian yang apabila terjadi pergantian kepemimpinan, maka tidak berarti melupakan jasa, prestasi atau program yang pernah dicapai atau dijalankan pada kepemimpinan sebelumnya. Pergantian pemimpin (imam) karena batal (meninggal dunia atau pergantian antarwaktu) maka makmum yang persis di belakang imam menggantikan posisinya dan meneruskan program yang belum terlaksana.
4.        Kepribadian yang senantiasa taat pada pemimpin, sebab pemim­pin telah dipilih berdasarkan kompetensinya. Seluruh perintah pemimpin dilakukan dengan catatan perintah itu diawali de­ngan bacaan takbir Allah Akbar (Allah Mahabesar)..
5.        Kepribadian yang mau meluruskan pemimpinnya yang salah, dan sebaliknya, pemimpin yang mau diperingatkan oleh peng-anutnya jika melakukan kesalahan. Meskipun sang pemimpin
Ketiga, sebelum shalat dianjurkan untuk bersiwak atau gosok gigi. Fungsinya untuk membentuk pribadi yang sehat, yang secara inderawi (hissiyyah) dapait menghilangkan penyakit yang melekat di gigi, dan secara maknawiyyah dapat mehghapus dosa akibat salah berbicara.
Keempat, di dalam shalat disunnatkan (1) gerakan: seperti gerakan mengangkat tangah ketika takbir; mengacungkan telunjuk ketika membaca syahadat dalam tasyahud; menengok ke kanan dan" ke kiri ketika salam; (2) pujian: seperti pujian kepada Allah ketika ruku', i'tidal, dan sujud; dan (3) doa: seperti doa ketika iftitah, duduk antara dua sujud, dan doa sebelum salam.
C. Kepribadian Shaim
1.   Pengertian Kepribadian Shaim
Shaim adalah orang yang berpuasa. Puasa secara etimologi berarti menahan (al-imsak) terhadap sesuatu, baik yang bersifat materi maupun non-materi. Menurut istilah, puasa adalah menahan diri di waktu siang dari segala yang membatalkan yang dilakukan (makan, minum dan hubungan seksual) dengan niat dimulai terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari. Puasa juga berarti menahan (imsak) diri dari segala perbuatan yang dapat merusak citra fitri manusia. Dengan demikian, puasa terbagi dua macam; Pertama, puasa fisik, yaitu menahan lapar, haus, dan berhubungan seks dari segala makanan, minuman, atau bersetubuh yang diharamkan (bukan miliknya atau bukan pada tempatnya); kedua, puasa psikis, yaitu menahan hawa nafsu dari segala perbuatan maksiat, seperti menahan marah (ghadhab), sombong (takabbur), dusta (kizb), serakah (thama'), sumpah palsu dan sebagainya.
Kepribadian shaim adalah kepribadian individu yang didapat setelah melaksanakan puasa dengan penuh keimanan dan ketakwaan, sehingga ia dapat mengendalikan diri dengan baik. Pengertian ini didasarkan atas asumsi bahwa orang yang mampu menahan diri dari sesuatu yang membatalkan puasa memiliki kepribadian lebih kokoh, tahan uji, dan stabil ketimbang orang yang tidak merigerjakannya, sebab ia mendapatkan hikmah dari perbuatannya.
2.   Kerangka Dasar Kepribadian Sadim
Manusia memiliki dua potensi yang saling berlawanan dan tarik-menarik, yaitu potensi baik dengan daya kalbu dan potensi buruk dengan daya nafsu. Agar daya nafsu tidak berkembang maka diperlukan aturan pertahanannya. Salah satu pertahanan yang baik adalah dengan puasa, terutama puasa wajib di bulan Ramadhan.
Sepintas, puasa mengarah pada perilaku negatif, seperti malas bekerja, berkurangnya gairah dan daya produksi, serta cenderung menuju pada pola hidup kemun-duran (regression). Namun jika dilihat seeara seksama, puasa ternyata menjadi start bagi timbulnya motivasi dan daya kreativitas. Mundur tidak berarti kalah dan lemah, melainkan mengambil momen psiko-logis yang nantinya mampu menstimuli semangat atau gairah baru. Selain itu, puasa merupakan zakatnya fisik, agar fisik manusia terbebas dari segala tuntutan.


3.   Dimensi-dimensi Kepribadian Shaim
Dimensi puasa: Pertama, puasa fisik, yaitu menahan lapar, haus, dan berhubungan seks. Dimensi puasa ini merupakan dimensi lahiriah, yang verifikasinya dapat menggunakan indikator lahiriah, seperti menahan makan, minum, dan bersetubuh mulai dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari. Individu yang mampu menahan ketiga aspek itu berarti ia telah berkepribadian shaim; Kedua, puasa psikis, yaitu menahan hawa-nafsu dari segala perbuatan maksiat,seperti menahan marah (ghadhab), sombong (takabbur), dusta (kizb), serakah (thama'), dan penyakit hati lainnya. Dimensi kedua ini tidak terbatas pada waktu-waktu tertentu dalam berpuasa, tetapi juga di luar puasa dan di luar bulan Ramadhan. Puasa yang sempurna adalah ketika individu mampu menahan fisik dan psikisnya.
4.   Pola dan Bentuk-bentuk Kepribadian Shaim
Pola kepribadian shaim dapat dilihat dari isyarat ayat-ayat Alquran atau Hadis yang berkaitan dengan puasa. Indikator kepribadian shaim adalah sebagai berikut.
Pertama, puasa sebagai pembentukan kepribadian yang sabar, tabah, tahan uji dan mengendalikan diri yang baik dalam mengarungi kehidupan, terutama sabar menjalankan perintah Tuhan.
Kedua, puasa dapat menyebabkan karakter 'ayd (orang yang kembali ke fitrah asal) dan fa’iz (orang yang berutung). Dikatakan 'ayd karena ia tidak memiliki dosa, baik dosa vertikal maupun dosa horizontal. Dosa vertikal dihapus dengan melaksanakan ibadah puasa, shalat malam dan bermalam-malam mencari Lailatul Qadar. Sedangkan dosa horizontal ditebus dengan saling memaafkan ketika melakukan halal bi halal. Karena kepribadian shaim terbebas dari dosa, maka hari pertama yang ia rasakan adalah 'idul fithri, yang artinya kembali pada fitrah semula, seperti bayi yang baru dilahirkan dalam keadaan suci tanpa dosa.
Ketiga, puasa sebagai pembentukan kepribadian yang sehat, baik jasmani maupun ruhani. Secara jasmani, makna puasa dapat dijelaskan dengan program diet, di mana individu melakukan 'pantangan' diri terhadap makanan atau minuman tertentu.
Secara ruhani, puasa memiliki empat aspek kesehatan:
1.Pola simptomatis; pola yang berkaitan dengan gejala (symptoms) dan keluhan (compliants),gangguan atau penyakit nafsaniah, seperti berpuasa untuk mengendalikan nafsu birahi yang ber-kelebihan; Menurut al-Ghazali terdapat lima macam fungsi puasa; yaitu:
a.       Mata senantiasa menunduk dan menahan dari pandangan yang dicela dan dibenci
b.      Iisan senantiasa terhindar dari pembicaraan yang sia-sia,dusta, menceritakan keburukan orang lain, menggunjing; keji, perkataan kasar, pertengkaran dan perdebatan.
c.       Telinga senantiasa terhindar dari suara-suara yang dibenci.
d.      Anggota tubuh yang lain, seperti tangan dan kaki terhindar dari aktivitas yang buruk dan perut dari makanan yang syubhat atau haram.
2.Pola penyesuaian diri; kemampuan individu untuk menyesuaikan diri secara aktif terhadap lingkungan sosialnya, seperti memberi makanan dan minuman pada orang lain ketika berbuka atau sahur; shalat tarawih secara berjamaah; semaraknya aktivitas sosial seperti zakat, infaq dan sedekah.
3. Pola pengembangan diri; pola yang berkaitan dengan kualitas khas insani (human qualities) seperti kreativitas,produktivitas,kecerdasan, tanggungjawab, dan sebagainya.
Puasa juga dapat meningkatkan kecerdasan, baik kecer­dasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ), kecerdasan moral (MQ) maupun kecerdasan spiritual (SQ):
a.    Secara intelektual; Puasa dapat merangsang syaraf-syaraf kecerdasan untuk berpikif aktif, dinamis dan konstruktif.
b.    Kecerdasan emosional; puasa dapat mendorong individu untuk mengenali emosi dan aktivitas-aktivitasnya dan mengelola serta mengekspresikan jenis-jenis emosi secara benar.
c.    Kecerdasan moral; puasa memotivasi individu untuk membina hubungan moralitas dengan orang lain, seperti supel, elegan, ramah, bekerja sama, tolong-menolong, inklusif, toleransi, dan perilaku positif lainnya.
d.   Kecerdasan spiritual; Puasa mendorong individu untuk lebih dekat dengan Tuhannya dengan cara menjalankan kewa jiban-kewajiban yang diperintahkan dan menjauhi larangan-larangan-Nya,
Pola religius; kemampuan individu untuk melaksanakan ajaran agama secara benar dan baik dengan landasan keimanan dan ketakwaan. Individu yang berpuasa cenderung mudah melak­sanakan ibadah, seperti shalat malam (apalagi shalat wajib), membaca Alquran, zakat dan sedekah.
Al-Ghazali mengemukakan bahwa hikmah lapar dalam berpua­sa: (1) menjernihkan kalbu dan mempertajam pandangan, sehingga ia memiliki kecerdasan intelektual yang tinggi; (2) melembutkan kalbu, sehingga mampu merasakan kenikmatan batin, seperti ketika melakukan zikir; (3) menjauhkan perilaku yang hina dan .sombong, yang perilaku ini sering mengakibatkan kelupaan; (4) mengingatkan jiwa manusia akan cobaan,dan azab Allah, sehingga ia hati-hati dalam memilih makanan; (5) memperlemah syahwat dan tertahannya nafsu amarah yang buruk. Jika seseorang kuat karena banyak makan, ter-utama makan yang haram, maka mudah terjangkit penyakit maksiat dan perbuatan dosa; (6) mengurangi jam tidur dan memperkuat kon-disi terjaga di malam hari untuk beribadah; (7) mempermudah sese­orang untuk selalu tekun beribadah; (8) menyehatkan badan dan jiwa serta menolak penyakit. Salah satu sumber adalah perut yang penuh makanan; (9) menumbuhkan sikap suka membantu orang lain; (10) menumbuhkan sikap mendahulukan kepentingan orang lain dan mudah bersedekah.
D. Kepribadian Muzakki
1.   Pengertian Kepribadian Muzakki
Muzakki adalah orang yang telah membayar zakat. Zakat secara etimologi berarti berkembang (al-namw) dan bertambah (al-ziyadah), baik secara kuantitas maupun kualitas (keberkahan). Orang yang membayar zakat, hartanya cenderung bertambah bukan semakin mengurang. Menurut istilah, zakat adalah mengeluarkan sebagian harta kepada orang yang berhak menerimanya ketika telah mencapai batasnya (nishab). Kepribadian muzakki adalah kepribadian individu yang didapat setelah membayar zakat dengan penuh ke-ikhlasan, sehingga ia mendapatkan hikmah dari apa yang dilakukan. Pengertian ini didasarkan atas asumsi bahwa orang yang membayar zakat memiliki kepribadian yang pandai bergaul, dermawan, terbuka, berani berkurban, tidak arogan, memiliki rasa empati dan kepekaan sosial serta mudah menyesuaikan diri dengan orang lain, sekahpun pada orang yang berbeda statusnya.
2.   Kerangka Dasar Kepribadian Muzakki
Salah satu fitrah hidup manusia adalah berkelompok. Ia tidak dapat hidup tanpa berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain. Dalam kelompok itu tentu terdapat yang lemah dan ada yang kuat, ada yang miskin dan ada yang kaya, ada yang sakit dan ada yang sehat dan seterusnya.
Harta adalah amanah (titipan) yang harus difungsikan sebagaimana yang diperintahkan oleh yang memberinya. Dengan zakat, infaq dan sedekah, sebagian amanah itu telah dilaksanakan dengan baik oleh pemiliknya. Muzakki adalah sosok yang memiliki hati yang lapang dan senang berkorban dengan harta bendanya.
3.   Pola dan Bentuk-bentuk Kepribadian Muzakki
Berdasarkan jenis-jenis zakat, infak dan sedekah, pola kepribadian muzakki dibedakan atas: (1) wajib, seperti zakat fitrah, zakat harta benda, zakat hasil perternakan, zakat hasil pertanian, zakat logam mulia, zakat perdagangan, dan zakat profesi; (2) sunnah, seperti sedekah yang bukan kategori wajib.
Baik yang wajib maupun yang sunnah, keduanya dapat membentuk kepribadian muzakki sebagai berikut: Pertama, kepribadian yang suci dan menjadikan muzakki pada citra awalnya (fitrah) yang tanpa dosa. Kesucian itu diperoleh setelah muzakki mengeluarkan sebagian hartanya yang bukan miliknya, karena penggunaan harta orang lain mengakibatkan kekotoran. Kedua, kepribadian yang seimbang, di mana individu menyelaraskan aktivitas yang berdimensi vertikal dan horizontal. Orang yang shalat seharusnya berimplikasi pada karakter dermawan, pemurah dan membantu yang lemah. Sebaliknya, orang yang zakat seharusnya berimplikasi pada kedekatan dengan Tuhan-nya sebagai rasa syukur atas pemberian-Nya. Ketiga, kepribadian yang penuh empati terhadap penderitaan pribadi lain, sehingga mengakibatkan kepekaan sosial (social sensi­tivity). Jiwa muzakki merasakan betapa resahnya orang yang hidup serba kekurangan, betapa bingungnya orang yang tidak memiliki uang ketika membutuhkan sesuatu, dan betapa sakitnya hati orang yang hidup termarginalkan. Keempat, kepribadian yang selamat dari petaka dan fitnah, sebab zakat, infaq dan sedekah dapat menolak bala. Kelima, kepribadian yang kreatif dan produktif untuk memper­oleh harta benda yang halal dan mendistribusikannya dengan cara yang halal pula. Muzakki, dituntut kreatif dan produktif dalam memperoleh harta benda dan membagi-bagikan kepada yang lain.
E. Kepribadian Haji
1.   Pengertian Kepribadian Haji
Haji adalah orang yang telah melaksanakan haji. Haji secara etimologi berarti menyengaja (al-qashd) pada sesuatu yang diagungkan. Orang yang melaksanakan haji berarti hatinya selalu menuju pada Zat yang Mahatinggi. Menurut istilah, haji adalah menyengaja pergi ke Baitullah (Ka'bah) untuk melaksanakan syarat (Islam, baligh, berakal, merdeka, dan mampu), rukun (niat ihram dari miqat, wuquf di Arafah, tawaf ifadhah, sa'i, cukur dan tertib) dan wajibnya (ihram di miqat, menginap di Muzdalifah, menginap di Mina, melontar jumrah dan tawaf wada) pada bulan yang ditentu-kan (Syawal, Dzu al-Qa'dah dan Dzu al-Hijjah).
Kepribadian haji adalah kepribadian individu yang didapat setelah melaksanakan haji yang semata-mata dilakukan karena Allah Swt., sehingga ia mendapatkan hikmah dari apa yang dilakukan. Pengertian ini didasarkan atas asumsi bahwa orang yang melaksana kan haji memiliki kepribadian yang sabar dalam melintasi bahaya dan cobaan; luwes, egaliter, inklusif dan pandai bergaul dengan sesamanya; berani berkorban atau menanggalkan status; jabatan dan harta bendanya, demi tercapainya kesamaari dan kebersamaan (ma'iyyah) dengan sesamanya, agar mendapatkan ridha Allah Swt.
2.   Kerangka Dasar Kepribadian Haji
Haji merupakan wisata spiritual yang imenuju 'taman ruhani' bagi individu yang merindukan akan kehadiran Sang Maha Kekasih, yakni Allah Swt.
Nilai dan hikmah haji sangat tergantung pada kesanggupan bagi orang yang melaksanakannya, mulai dari pembayaran ongkos naik haji (ONH) yang halal; melaksanakan rukun Islam yang lain seperti shalat, zakat dan puasa; persiapan mental yang utuh dan tangguh sampai pada penyerahan nyawa.
Lafal sanggup (istatha'ah) mengandung arti kesiapan material dan spiritual. Bagi mereka yang datang tanpa membawa kesanggupan spiritual seperti rasa iman yang benar, maka yang ditemui hanyalah batu yang keras, tanah yang tandus, panas yang menyengat, dingin yang menyayat kulit dan egoisme yang tinggi. Namun, bagi mereka yang datang dengan penuh keikhlasan dan ketawadhuan, tentu akan mendapatkan pengalaman spiritual yang mungkin tidak dapat dilukiskan di alam material.
3.   Pola dan Bentuk-bentuk Kepribadian Haji
Kepribadian haji dapat dibentuk melalui dua pola: pertama, pola umum, yaitu pola yang diambil dari ayat-ayat Alquran serta hadis-hadis Nabi Saw. yang membahas tentang haji . Pola ini bersifat umum yang lazimnya membahas mengenai motivasi dan balasan bagi orang yang melakukan ibadah haji; kedua, pola khusus, yaitu pola yang diambil dari hikmah dalam melaksanakan rukun, wajib dan sunah haji.

Bentuk-bentuk kepribadian haji dari pola umum di antaranya adalah:
1.                  Kepribadian Tauhidi, yaitu kepribadian yang utuh dalam memenuhi panggilan Allah Swt., yang diwujudkan dalam bacaan talbiyah dan menyengaja menuju ke Ka'bah.
2.        Kepribadian mujahid, yaitu orang yang berjihad dengan cara berperang dan berkorban secara sungguh-sungguh demi menda­patkan ridha Allah Swt. Bentuk jihadnya adalah mengeluarkan harta benda untuk biaya haji; meninggalkan tanah air, keluarga, status dan jabatan; menguras tenaga fisik dan psikis dalam menjalankan ibadah yang penuh risiko; dan melawan hawa nafsu dan setan
3.        Kepribadian yang suci dan fitri, karena dalam ibadah tersebut menghapus nuktah (titik hitam) dalam jiwanya. Dalam haji dilarang berbicara yang kotor dan kasar, berdebat, marah, egois, dan sombong. Semua perilaku batin yang buruk tersebut mengakibatkan hilangnya kesucian jiwa manusia. Haji meru pakan wahana untuk pembersihan semua kotoran jiwa tersebut.
4.        Kepribadian yang sukses, karena telah melewati segala rintangan, tantangan dan risiko yang berat dalam mensyiarkan agama Allah. Kesuksesan dalam haji karena dilandasi oleh ketakwaan hati yang utuh.

Bentuk-bentuk kepribadian haji dari pola khusus, yang bersumber dari rukun, wajib dan sunah haji di antaranya sebagai berikut:
1.        Kepribadian muhrim (yang ihram),yaitu kepribadian yang mengharamkan atau menahan diri terhadap perilaku yang dilarang, demi persatuan dan kesamaan derajat antar sesama manusia dan merendahkan diri (tawadhu') di hadapan Allah. semuanya adalah makhluk-Nya yang satu sama lain saling membutuhkan. Kepribadian muhrim mengikat diri untuk tidak melakukan kesalahan dan melanggar larangan dalam masa (miqat zamani) dan tempat (miqat makani) tertentu. Pada masa-masa tertentu, misalnya hari Jum'at, kepribadian ini berkomitmen untuk tidak melakukan kesalahan sama sekali, sehingga disebut dengan Jum'at bersih atau Jum'at sukses.
2.        Kepribadian Thawuf (yang thawaf), yaitu kepribadian yang hanya menuju kepada Allah Swt. dengan cara berputar tujuh kali. Dalam Kepribadian Waqif (yang wuquf),yaitu kepribadian yang menghentikan seluruh kegiatan duniawi dalam waktu sesaat, kecuali hanya menunaikan shalat, berzikir dan berdoa kepada Allah, dengan harapan agar mereka terbebas dari belenggu hawa nafsu dan materi. Kepribadian ini menjadi suci karena dosa-dosanya diampuni dan dibebaskan dari api neraka (HR. Muslim dari Aisyah).
4.        Kepribadian sa'i (yang sa'i),yaitu kepribadian yang selalu bekerja keras, dengan lari-lari kecil, dalam mencapai suatu tujuan, seperti bekerja mencari nafkah (mencari air zamzam untuk diminum di musim kemarau) dalam menghidupi diri dan keluarga tanpa merasakan kelelahan.
5.        Kepribadian mutahallil (yang tahallul),yaitu kepribadian yang tidak melakukan sesuatu kecuali yang dihalalkan melakukannya. Untuk mencapai kehalalan diperlukan adanya pengorbanan dengan mencukur beberapa helai rambut, sebab rambut merupakan mahkota seseorang. Tanpa pengorbanan baik berupa harta, pikiran bahkan jabatan- sesuatu tidak memiliki nilai lebih.
6.        Kepribadian yang mandiri dan siap susah dengan cara mabit (bermalam), baik di Muzdalifah maupun di Mina.Pada mabit ini seseorang ditempah pada tempat, keadaan, sarana dan peralatan seadanya. Cuaca terasa sangat dingin, kekuatan fisik melemah bahkan tempat tidur dan makan seadanya.
7.        Kepribadian yang selalu membuang dan memerangi setan, baik setan yang ada dalam dirinya (hawa nafsu) maupun setan melalui melempar jumrah. Dengan melontar jumrah, diharapkan perilaku buruk hilang dalam diri seseorang dan dapat digantikan dengan perilaku yang baik.
8.                  Kepribadian yang sadar akan kesalahannya dengan cara menebusnya dengan mengalirkan darah {dam) kambing, unta atau sapi di tanah haram, dalam rangka memenuhi ketentuan haji.
9.                  Kepribadian yang mengingat dan berkunjung (ziyarah) pada tempat-tempat suci, yang dapat mendekatkan diri kepada Allah Swt. Tempat yang dimaksud selain tempat-tempat yang ditentukan dalam haji, juga tempat-tempat lain yang bersejarah seperti ke:
a.    Masjid Nabawi
b.    Gunung (jabal) Nur dan Gua Hira'
c.    Gunung Tsur, Salah satu kepribadian yang baik adalah hijrah dari perilaku yang
dilarang Allah, menuju pada perilaku yang diperintahkan-Nya.
d.    Gunung Rahmah
e.    Masjid Jin
f.     Makam Rasul
g.    Rawdhah (taman rumah) yang letaknya di antara rumah
nabi (sekarang makam) dan mimbar.
h.     Makam Baqi': Tempat pemakaman orang Madinah
i.      Masjid Quba': masjid pertama kali didirikan oleh Nabi Saw
j.     Gunung Uhud.
k.    Masjid Qiblatain: disebut juga Masjid Bani Salamah.
l.     Khandak/Masjid Khamsah: parit pertahanan bekas perang Khandak di mana Nabi dan Kota Madinah dikepung oleh kafir Quraisy bersama sekutunya Yahudi Bani Nadhir dan Ghathfa



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Blogger Templates